- Muhammad Syaiful Rohman (39) merupakan pria paruh baya asal Kabupaten Trenggalek. Kini, ia melakoni profesi sebagai petani yang menetap di Kabupaten Nganjuk
- Selama hidupnya, Syaiful mengalami beragam kisah kehidupan. Berjuang hidup menempuh pendidikan di perantauan, hingga hidup bergelimang harta sebagai jajaran direksi perusahaan bank di Jakarta sudah pernah ia lakoni.
- Pada Kabar Trenggalek, Syaiful menceritakan kisah hidup dan alasannya memilih profesi petani. Ia juga membagikan pandangan dan pendapatnya soal pertanian.
Dini hari, Selasa, 5 Desember 2023. Suasana begitu puitis kala itu. Udara dingin mulai merasuki ruangan, namun kopi dan tuturan cerita di sana tetaplah hangat. Seorang pria paruh baya khusyuk menghisap lintingan tembakau sembari menceritakan bait demi bait kisah hidupnya. Ia merupakan lulusan magister asal Kabupaten Trenggalek yang kini menjadi petani.Pria itu bernama
Muhammad Syaiful Rohman. Tanah kelahirannya berada di Kelurahan Sumbergedong, Kabupaten Trenggalek. Penampilannya pria berusia 39 tahun itu begitu sederhana: mengenakan kaos oblong Muhammadiyah berwarna putih dan celana olahraga panjang.Sedemikian sederhananya hingga aku tak mengira bahwa pria di depanku itu jebolan pascasarjana jurusan antropologi Universitas Gajah Mada (UGM). Ia pernah melakoni profesi sebagai dosen Universitas Brawijaya Malang. Pernah juga menjabat pada jajaran direksi sebuah perusahaan bank di Jakarta.Memenggal kisah magister lulusan UGM asal Trenggalek, Syaiful hidup berlimpah harta di Jakarta sebagai Manajer Perencanaan, Komunikasi dan Standarisasi. Hal itu ia rasakan 11 tahun silam, di tahun 2012. Namun, Syaiful merasa bahwa harta bukanlah sesuatu yang dapat memuaskan batinnya. Kini, dirinya lebih memilih menapak jejaki hayat sebagai seorang petani.
Anak Cengeng yang Menjelma Seorang Pemberani
Masa kecil Syaiful dekat dengan dunia pendidikan. Ibunya merupakan seorang guru Taman Kanak-Kanak (TK). Syaiful yang lahir di bulan Januari 1984 sudah sering dibawa ibunya melawat ke TK sejak sangat belia.Syaiful memulai pendidikan Sekolah Dasar satu tahun lebih awal dibandingkan anak pada umumnya. Pada tahun 1990, saat usianya masih enam tahun. Syaiful menjadi anak termuda di kelas kala itu.Syaiful kecil telah dihadapkan pada rintangan hidup. Ia yang baru saja mengenyam pendidikan di SDN 1 Sumbergedong harus menerima kenyataan bahwa ibunya berpulang ke haribaan Tuhan.Padaku ia bercerita, "SD kelas 1 enggak punya ibu. Ibuku meninggal. Dan aku cacat. Kecacatanku ini dihina temen-temenku sejak kecil."Mendengarnya, aku bergeming. Aku terus saja menanti bait demi bait cerita yang pria itu katakan."[Ketika] Main dengan teman-teman sebaya, selalu jadi 'kalah kalahan'. Dipukul, didorong-dorong, kalau enggak kepalaku dipukul. Karena masa kecilku kalau nggak salah kepalaku itu 'peyang' itu lho," lanjut Syaiful.Hari-harinya sepulang bermain seringkali diisi tangisan. Syaiful sendiri menyadari bahwa dulu ia merupakan anak yang cengeng. Namun ayahnya, Rohmat Santoso, merupakan seorang yang tegas.Suatu ketika saat Syaiful pulang dalam keadaan menangis, ayahnya bertutur:"Laki-laki tidak boleh menangis! Kalau pulang nangis malah tak hajar. Siapa tadi yang mukul? Kalau ada yang mukul tapi kamu nggak salah apa-apa, ganti pukul!".Itu adalah cara ayahnya membentuk Syaiful agar menjadi seorang yang tegar dan pemberani. Ayah Syaiful merupakan seorang pegawai Departemen Agama Kabupaten Trenggalek. Tak ayal, sifat religius juga melekat pada diri Syaiful.Di tengah-tengah cerita, Syaiful termenung menyadari sesuatu. Tak lama ia kemudian berujar, "Bapakku gualak ae [selalu galak]. Mungkin di situ kemudian muncul sifat pemberani dan pemberontak."Saat duduk di bangku kelas 3 SD di tahun 1993, Syaiful diikutkan perguruan silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah oleh ayahnya. Memang, proses hidupnya kental berada di lingkungan Muhammadiyah. Sejak belajar pencak silat, sifat pemberani lambat laun kian tumbuh ajek dalam diri Syaiful.
Mengejar Mimpi dengan Tekad dan Nekat
[caption id="attachment_58295" align=aligncenter width=1280]
Syaiful menikmati jagung bakar/Foto: Dok Syaiful[/caption]"Pengen apik dadi sak apik-apik e wong, neng o Yogya. Pengin dadi rusak sak rusak-rusak e wong, ya neng o Yogya."[Ingin menjadi baik, sebaik-baik manusia, pergilah ke Yogyakarta. Ingin jadi buruk, seburuk-buruk manusia, pergilah juga ke Yogyakarta].Begitulah kira-kira tutur Mbah Yunus kepada Syaiful. Kakeknya itu sempat memegang amanah sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Trenggalek. Saat itu, Syaiful melawat pada kakeknya setelah ia dinyatakan tak lolos seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri di bulan Juli 2002.Awalnya ia berniat melanjutkan pendidikan tinggi di UGM. Nahas, usaha pertamanya itu tak berbuah manis."Sempat pulang ke Trenggalek dengan wajah kuyu dan sayu. Udah terlanjur jual sepeda [untuk ongkos berangkat seleksi] ternyata [hasilnya] nggak keterima. Kecewa berat, stress. Sekitar 6 bulan di Trenggalek setelah lulus SMA nggak ngapa-ngapain," cerita Syaiful.Setelahnya, ia berniat mencoba untuk kedua kalinya dengan bergeser haluan. Syaiful meminta restu ke kediaman kakeknya untuk menjajaki Bumi Reog Ponorogo dalam rangka meneruskan pendidikan. Kebetulan saat itu Universitas Darussalam Gontor membuka ruang pada jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.Kakeknya, Mbah Yunus, berkata lain setelah mendengar keinginan Syaiful. Kakeknya bertutur, "Coba belajar tentang manusia." Mbah Yunus pun setelahnya menyarankan Syaiful untuk pergi ke Yogyakarta. Hal itu membuat Syaiful semakin penasaran dengan
Yogyakarta.Setelah 6 bulan tanpa aktivitas, Syaiful kembali meneguhkan tekadnya. Kali ini ia coba menjajaki tes Ujian Masuk Universitas Gajah Mada (UM-UGM) di bulan Januari 2003. Lagi-lagi, ia menjual sepedanya seharga Rp20 ribu di Pasar Burung, tak jauh dari terminal Trenggalek. Uang itu ia gunakan sebagai ongkos berangkat ke Yogyakarta.Terdapat tiga mata pelajaran yang diujikan: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika. Seingat Syaiful, masing-masing berjumlah 90 soal. Ia menyelesaikan dengan cepat soal Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Ia berambisi mendapatkan nilai sempurna di dua mata pelajaran itu.Sisanya, yakni Matematika, ia biarkan kosong. Sebab, apabila peserta ujian salah menjawab maka akan dikenakan pengurangan poin -1. Jika berhasil menjawab dengan benar, nilainya +4."Dari 90 pertanyaan itu, seingatku aku hanya mengisi dua dari soal Matematika itu yang ku yakini benar," cerita Syaiful mengingat perjalanannya.Usai berusaha, tinggallah doa orang tuanya. Pengumuman kelulusan akan disebar 4 bulan yang akan datang. Di sela-sela waktu itu, Syaiful memutuskan untuk mengikuti kursus bahasa Inggris di Kota Pelajar Yogyakarta.Syaiful tinggal di kos-kosan yang terletak di Kelurahan Condongcatur, Yogyakarta. Di sana ia tinggal bersama seorang kawan yang sama-sama berasal dari Trenggalek, namun berbeda nasib. 2002 silam ia berhasil masuk ke perguruan tinggi (Amikom Yogyakarta), sedangkan Syaiful tidak.Tanggal 30 Mei 2003 ialah hari yang mendebarkan bagi Syaiful. Ia bahkan tak dapat memejamkan mata untuk tidur. Sebab, di hari itu merupakan hari penentuan bagi masa depannya: lolos atau tidak lolos kembali. Keduanya sama-sama mengandung tantangan. Jika kali ini Syaiful lolos masuk UGM, ia tak punya uang untuk berkuliah. Namun jika ia tak lolos, ia harus memutar otak menyusun rencana alternatif untuk jalan hidupnya.Malam hari, sekitar pukul 19.30 WIB. Kawan satu kamar Syaiful membawa sebuah koran. Tiba-tiba, ia memeluk Syaiful."Selamat yo, Kek," ujar kawan Syaiful.Tak percaya, Syaiful berujar, "Wah, ra mungkin aku keterimo [tak mungkin aku diterima]. Ngapusi kowe [kamu berbohong].""Rasah koyo ngono kuwi, nek mu ngenyek kenemenen [tak usah seperti itu, ejekanmu keterlaluan]," lanjut Syaiful tak percaya.Sampai akhirnya, kawan Syaiful menunjukkan koran yang ia bawa. Di sebuah daftar nama yang cukup panjang, terdapat satu nama yang telah dilingkari."Nomor sekian, Muhammad Syaiful Rohman, Antropologi Budaya, UGM," Syaiful bergeming.Setelah mendapat banyak ucapan selamat dari keluarga via telepon umum yang berada tak jauh dari kos-kosan, barulah Syaiful percaya. Kali ini, tekadnya untuk menjadi individu berpendidikan menemui secercah cahaya.Namun, rasa gundah dalam dirinya tak hilang begitu saja. Ia masih harus bertanya, bagaimana caranya lolos registrasi, sedangkan dirinya tak punya uang? Tak juga sanggup orang tuanya membiayai. Syaiful sejak awal memang hanya bermodalkan tekad yang kuat seraya memohon doa dari orang tua. Tanpa pernah meminta biaya.Masih di bulan Mei 2003, tak lama dari pengumuman seleksi, Syaiful berangkat pagi-pagi ke kampus UGM. Dari tujuh pos registrasi pendaftaran ulang, ia tertahan sejak pos pertama. Alasannya jelas, dirinya tak punya uang. Untuk satu semester, dikenakan biaya sebesar Rp1.050.000 kala itu.Syaiful lagi-lagi terancam gagal berkuliah. Akhirnya, ia nekat mendatangi Kantor Rektorat UGM. Ia berhasil menemui Asisten Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UGM saat itu, yakni Eddy Hiariej (Wamenkumham RI tahun 2020-2023, sekarang tersangka korupsi gratifikasi Rp8 miliar).Di hadapan Eddy, Syaiful menceritakan tekadnya berkuliah. Syaiful menawarkan dirinya untuk bekerja sebagai penjaga keamanan di kampus sebagai ganti agar dapat berkuliah. Sebab, kemampuan bela diri yang ia pelajari sejak bangku SD kini tak dapat diragukan lagi.Eddy tak langsung mengiyakan. Menurut Syaiful, Eddy memang sengaja menguji tekadnya. Proses lobi-melobi terjadi hingga berjam-jam. Hari kian berlalu, hingga pos registrasi hampir usai."Sampai jam 3 [sore] itu baru bisa melanjutkan, kurang satu jam [pos registrasi ditutup]. Tinggal beberapa anak saja yang bermasalah secara keuangan terutama," jelas Syaiful.Di detik-detik akhir seperti itu, nasib baik menunjukkan jalannya. Syaiful berhasil meluluhkan hati Asisten Wakil Rektor dan mendapatkan pinjaman biaya selama satu semester.Beberapa bulan hingga beberapa tahun setelahnya, Syaiful menjalani status sebagai seorang mahasiswa aktif. Sembari menjalani kehidupan akademik, Syaiful membuka jasa pengetikan dan berjualan buku. Hal itu ia lakukan untuk bertahan hidup dan membiayai kebutuhan kuliahnya. Buku-buku ia ambil dari beberapa penerbit di Yogyakarta yang berhasil ia hubungi.Bahkan di tahun 2006, Syaiful berhasil memenangkan kontestasi Pemilihan Raya Mahasiswa sebagai Presiden Mahasiswa (Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa) UGM. Pelantikannya sebagai Presiden Mahasiswa UGM tak jauh setelah peristiwa Gempa Bumi Yogyakarta, 27 Mei 2006.
Sahabat, Cinta dan Uang
Syaiful berhasil menyandang gelar Sarjana Antropologi (S.Ant.) pada tahun 2008. Skripsinya membahas tentang pengorganisiran gerakan mahasiswa. Setelahnya, Syaiful fokus pada aktivitas di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Aktivitas itu telah ia ikuti sejak masih menjabat sebagai Presiden Mahasiswa.Hingga tahun 2010, dirinya berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Syaiful mengambil program pascasarjana, tepatnya di program studi Magister Antropologi. Syaiful meniti kembali pendidikannya di perguruan tinggi yang sama.Syaiful menulis tesis tentang pengorganisiran masyarakat adat menghadapi perubahan iklim. Singkat cerita, ia mendapatkan gelar Master of Arts (M. A.) di tahun 2012. Kehidupan Syaiful kian moncer saat itu. Ia telah menapaki hidup pada babak yang baru.Sampailah kita pada cerita kondisi hidup yang kontras dengan kondisi sebelumnya. Syaiful melanjutkan ceritanya padaku dengan nada yang mulai lirih. Barangkali, selain sebab dini hari yang kian menuju pagi, cerita ini mungkin memiliki tempat tersendiri baginya.Tak lama semenjak lulus pascasarjana, Syaiful mendapat dua profesi di dua tempat yang berbeda. Di satu sisi menjadi Manajer Perencanaan, Komunikasi dan Standarisasi sebuah perusahaan bank di Jakarta, sekaligus menjadi dosen Universitas Brawijaya Malang di sisi yang lain. Dua profesi itu ia lakoni sejak tahun 2012.Di tahun itu, pulang-pergi antara Jakarta dan Malang menjadi keseharian Syaiful. Sebagai dosen, dirinya mengajar di jurusan Antropologi. Ia mengampu 4 Mata Kuliah: Organisasi Sosial, Etnografi Indonesia Timur, Antropologi Pedesaan dan Antropologi Pemberdayaan Masyarakat.Aktivitas melawat antara barat dan timur Pulau Jawa Syaiful lakoni selama dua tahun. Kehidupan karirnya moncer, tak lagi khawatir soal uang dan harta. Bagi orang yang mendengar kisah ini, barangkali banyak yang akan menganggap hidup Syaiful telah sempurna: berada di puncak karir dan berkecukupan harta. Aku pun menganggapnya begitu. Namun tidak begitu bagi seorang Syaiful.Entah bagaimana, dirinya menemukan kegundahan baru. Di saat-saat seperti itu, Syaiful merasa sulit bertemu dengan sejawat untuk sekedar berbincang santai. Syaiful bercerita, tak sedikit orang yang akhirnya tak menyukai dirinya.Di sisi lain, batinnya tak lega atau terpuaskan dengan kondisi yang dialaminya itu. Bahkan, Syaiful menyebut kondisi itu dengan "kekosongan batin". Hingga pada tahun 2014, Syaiful memutuskan berhijrah. Ia juga menyudahi posisinya sebagai manajer maupun dosen.Tahun 2014 Syaiful memutuskan untuk beralih ke Bogor. Di daerah yang baru ini ia juga memulai aktivitas baru: mengorganisir para petani dan mengajak para pemuda untuk bertani. Di waktu yang sama, Syaiful juga mengerjakan program hibah kemitraan strategis antara Indonesia dan Amerika.Syaiful turut mengerjakan program ini selama 17 bulan yang berfokus pada kesehatan dan gizi berbasis masyarakat di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Aktivitas bolak-balik masih ia lakoni, kali ini antara Bogor dan Kapuas Hulu.Setelah tuntas, di tahun 2018 Syaiful kembali beralih. Bulan Oktober tahun itu, ia memutuskan untuk menikah. Sosok yang ia nikahi merupakan perempuan asal Kabupaten Nganjuk. Istrinya merupakan mahasiswa yang pernah Syaiful ajar semasa menjadi dosen di Universitas Brawijaya."Memutuskan selesai semuanya, memutuskan untuk mengurus diriku sendiri, meninggalkan semua karir. Menikah," ujar Syaiful dengan singkat.Diriku yang dipenuhi rasa heran tak dapat menahan untuk melontarkan pertanyaan. "Jika bisa dirangkum, apa alasan di balik menyudahi karir di sana?" tanyaku.Syaiful menjawab dengan hemat, "Kekosongan batin," ujarnya sembari tertawa."Kekosongan jiwa," lanjutnya.Aku kembali melontarkan pertanyaan, "Apakah sebab dihadapkan pada...""Sahabat, cinta, dan uang," jawab Syaiful menyela pertanyaanku yang belum usai.Suasana menjadi hening. Untuk beberapa saat, semuanya terdiam. Aku sendiri merenungi apa yang baru saja disampaikan olehnya."Lalu, di antara itu, Panjenengan lebih memilih cinta?," aku kembali menimpali Syaiful dengan pertanyaan. Ia hanya menjawab dengan anggukan kepala.Tak juga merasa puas, akhirnya aku bertanya, "Seperti apa panjenengan memaknai 'cinta'?""Cinta menurutku itu adalah keberanian untuk memilih dan memutuskan," jawabnya.Syaiful memutuskan untuk menikahi gadis asal Nganjuk, menetap di sana, dan memulai segalanya dari nol. Baginya, pekerjaan terbesar yang patut ia pilih bukanlah profesi 'berbaju rapih', memimpin di sebuah perusahaan. Melainkan, bertani.
Bertani: Menjadi Manusia Merdeka!
"Menjadi petani, [artinya] melakukan bunuh diri kelas yang sangat ekstrem. Dan hasil pembacaan dari berbagai literatur, menjadi petani dan bertani itu berarti menjadi manusia merdeka!," tutur Syaiful.Syaiful memaknai kegiatan bertani sebagai 'jalan menuju kemenangan'. Ia terinspirasi dari seruan adzan pada lafadz "hayya 'alalfalaah" (حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ). Lafadz itu bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti "marilah menuju kemenangan".Dalam pemaknaan lain, kata "fallah" merujuk pada golongan petani atau pekerja di bidang agrikultura. Pemaknaan ini khususnya merujuk pada petani di daerah Asia Timur Tengah dan Afrika Utara."Maka, untuk menuju kemenangan, jadilah petani. Petani seperti apa?
Petani organik. Agroekologi, agroekosistem yang tidak menggunakan pupuk sintetis, pestisida sintetis, maupun obat-obatan sintetis lainnya. Murni kembali ke alam," jelas Syaiful.Penjelasan itu bagiku penuh pemaknaan. Mengurai lebih jauh soal pemaknaan bagi Syaiful, bertani erat kaitannya dengan istilah khalifah fil ardhi. Dalam Islam, hal itu diabadikan dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 30."Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'" (terjemahan QS. Al-Baqarah: 30).Dalam konteks ini, bagi Syaiful, salah satu kewajiban yang harus dilakukan seorang manusia sebagai pemimpin di muka bumi ialah menjaga alam. Menjalankan kewajiban ini berarti meraih kemenangan: puncak tertinggi bagi eksistensi manusia. Dengan menjalankan kewajiban ini, bermakna pula sebagai upaya mencukupi kebutuhan batin yang tak Syaiful dapatkan dari profesi sebelumnya.Setelah bertani, ia mengaku lebih merasa tentram dan damai. Ia dapat menjalani hidup dengan arif dan damai di tanah kelahiran istrinya, Kabupaten Nganjuk. Sehari-hari, Syaiful tekun menggarap dan menjaga lahan miliknya sendiri. Tentu dengan metode organik yang ia pegang teguh."Bertani untuk menuju kemenangan prinsipnya adalah 'menanam apa yang kamu makan dan memakan apa yang kamu tanam'," ucap Syaiful.
Jangan Pernah Sekali-Kali Merusak Ibu Pertiwi
"Jangan pernah sekali-kali merusak ibu [pertiwi] dengan memberinya racun [seperti] pestisida sintetis, maupun pupuk sintetis buatan pabrikan," tegas Syaiful.Tanah ia analogikan seperti halnya ibu. Ibu yang menjadi rahim bagi jutaan flora yang beragam rupa. Menurut pengamatannya, sejak tahun 1970 pasca Revolusi Hijau digalakkan, modernisasi pertanian dan mekanisasi pertanian dilakukan secara masif. Begitu juga dengan penggunaan pupuk dan pestisida sintetis.Faktor itulah yang menurut Syaiful menjadi penyebab tanah pertanian saat ini menjadi alot dan keras."Dulu sawah kita itu masih punya 'mbalong'. 'mbalong' itu salah satu sawah yang kedalamannya bisa sampai dada. Jika sekarang ente ke sawah, mungkin kedalaman sawah itu [bahkan] tidak ada yang [dalamnya] sedengkul, mungkin semata kaki saja," tukas Syaiful.Penggunaan pestisida sintetis bagi Syaiful merupakan hal yang menyebabkan kemampuan tanah dalam menyerap air menjadi berkurang. Akibatnya, saat musim hujan tiba, tanah tak dapat menyerap air. Sedangkan saat musim kemarau, penggunaan pestisida sintetis dan pupuk kimia membuat tanah menjadi 'mekar'."[Apakah] Pernah berhasil? Ya, pernah berhasil tahun '84. Indonesia mengalami Swasembada beras. Itu pun tidak berlangsung lama. Setahun berikutnya, tahun '85, Indonesia terpaksa menjual pesawat Garuda. PT DI [Dirgantara Indonesia] berhasil membuat Boeing saat itu, lalu dijual ke Vietnam untuk ditukar dengan beras," lanjut Syaiful."Sampai sekarang proyek-proyek pangan ini selalu gagal total. Mulai food estate, [hingga] intensifikasi pertanian, itu gagal total," tambahnya.Menurut Syaiful, terdapat aspek-aspek yang perlu didahulukan saat akan memanfaatkan sumber daya. Pertama, yakni aspek keselamatan lingkungan atau bumi (planet). Kedua, aspek keselamatan masyarakat (people). Ketiga, barulah kalkulasi pada aspek keuntungan (profit). Syaiful menyebut konsep ini sebagai 3P."Ini termasuk in line, nyambung dengan gerakan
anti tambang kita," ujar Syaiful.Sebab bagi Syaiful, "Hidup adalah untuk menghidupkan yang lain. Siapa yang lain itu? Ya alam beserta isinya meliputi manusia, hewan, tumbuhan dan lain sebagainya," tandasnya.