Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Kisah Irfan Sanjaya, Mantan Guru Asal Trenggalek yang Hidup dari Kesenian Jaranan

  • 16 Jun 2025 20:00 WIB
  • Google News

    KBRT – Irfan Sanjaya (36), pria asal RT 25 RW 08, Kelurahan Surodakan, Kecamatan Trenggalek, tak menyangka kesenian yang ditekuninya sejak kecil justru menjadi jalan kesuksesannya saat ini. Ia kini dikenal sebagai produsen perlengkapan kesenian jaranan dan properti tari, dengan omzet bulanan belasan hingga puluhan juta rupiah.

    Dibantu 20 karyawan, Irfan memproduksi beragam perlengkapan seni, mulai dari barongan, kostum tokoh jaranan, hingga properti tari seperti mahkota dan senjata gadha. Produknya telah menjangkau pasar luar Trenggalek, bahkan hingga ke luar negeri.

    “Dulu saat awal meledak, saya bisa menjual 200 lebih barongan anak dalam sebulan, 25 juta lebih omzetnya. Tapi sekarang sudah agak turun di sekitar 15 juta,” ujar Irfan.

    Perjalanan Irfan hingga mencapai titik ini bukan tanpa rintangan. Ia sempat menjadi guru sekolah dasar selama sepuluh tahun. Namun, gaji minim sebagai tenaga pengajar membuatnya mencari jalan lain. Saat itu, ia digaji Rp250.000 per bulan dan baru bisa diambil tiga bulan sekali.

    “Tahun 2008, saya masih mahasiswa semester awal sudah dapat lowongan guru di salah satu sekolah dasar. Sepuluh tahun kemudian saya dapat saran dari istri untuk fokus berjualan perlengkapan jaranan, meninggalkan profesi di sekolah,” kenangnya.

    koleksi-barongan-irfan-sanjaya.jpg
    Koleksi barongan irfan sanjaya. KBRT/Nandika

    Sejak 2013, Irfan mulai menyewakan perlengkapan jaranan untuk keperluan karnaval dan acara sekolah. Ia kemudian belajar memproduksi perlengkapan sendiri. Puncak penjualannya terjadi pada 2021, terutama sejak tren belanja daring mulai populer pada 2016.

    “Mulai maraknya online shopping pada tahun 2016, membuat produk saya laku keras hingga mencapai puncaknya di tahun 2021,” jelasnya.

    Dalam sekali produksi, Irfan bisa membuat hingga 750 barongan anak. Tak jarang ia mendapat pesanan dalam jumlah besar, baik dari pengusaha mainan maupun proyek pengadaan.

    Kini ia memiliki lima lokasi produksi di berbagai titik di Trenggalek. Tiap tempat memiliki fungsi khusus: dari pemotongan kayu, pemahatan, penghalusan, hingga pengecatan. Rumah Irfan difungsikan sebagai lokasi finishing dan pengemasan.

    “Setiap hari, saya berkeliling ke tempat produksi untuk melakukan kontrol kualitas, dan mengecek pekerjaan mereka,” ungkapnya.

    Irfan juga menyeleksi karyawannya lewat pelatihan, menempatkan mereka sesuai keahlian masing-masing. Meski sempat berhenti total selama tiga bulan akibat pandemi Covid-19, usahanya tetap bertahan.

    Kesuksesan ini diraih Irfan lewat proses panjang. Ia mengaku kerap diremehkan di awal karena kualitas produknya dianggap kurang baik. Namun, ia tak menyerah dan memilih belajar ke tempat produksi di Ponorogo dan Tulungagung.

    “Alhamdulillah, berkat menekuni kesenian jaranan ini, sampai sekarang penjualan perlengkapan seni ini bisa sampai ke luar Trenggalek seperti Kalimantan dan Sumatra, bahkan sampai ke luar negeri,” katanya sambil tersenyum.

    Kini, Irfan juga aktif membentuk paguyuban kesenian di lingkungannya. Ia melibatkan anak-anak, termasuk anaknya sendiri, untuk mengenal dan mencintai kesenian jaranan. Peralatan dan pelatihan diberikan secara cuma-cuma.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    “Kalau bukan mereka, siapa lagi yang mau meneruskan? Beruntung lingkungan di sekitar sini kebanyakan memang penggiat kesenian,” tandasnya. Terancam Putus Warisan Budaya

    KBRT – Sumiran (78), seorang seniman wayang kulit asal Dusun Brongkah, Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, masih setia menggambar sketsa tokoh pewayangan di atas kulit kambing. Namun, di tengah ketekunannya berkarya, ia menyimpan kegelisahan mendalam: tak satu pun anaknya menunjukkan minat untuk meneruskan keterampilan yang ia warisi dari leluhurnya.

    “Tua-tua begini saya itu punya gelar Drs, Dari Rumah Saja. Setiap hari cuma duduk sambil gambar di sini,” ujar Sumiran sembari menggambar sketsa Werkudoro, Jumat (13 Juni 2025).

    Sumiran telah menekuni seni membuat wayang kulit sejak muda, keahlian yang ia pelajari dari ayahnya, yang juga mendapat ilmu serupa dari kakeknya. Seni ini sudah diwariskan lintas generasi dalam keluarganya yang berasal dari Solo. Namun kini, ia menjadi satu-satunya penerus di keluarganya yang masih aktif membuat wayang.

    “Saya dulu yang mengajarkan buat wayang itu almarhum ayah, lalu ayah juga diajarkan oleh simbah (kakek),” terangnya.

    Ia memiliki enam anak—empat laki-laki dan dua perempuan—yang semuanya diberi nama bernafaskan pewayangan. Namun, belum satu pun di antara mereka yang benar-benar menekuni seni pembuatan wayang.

    “Yang pertama Eko, lalu Dwi, Tri, Siti, Sundari dan yang kelima Kanthi. Kalau sekarang yang sudah pernah saya ajari cuma Dwi sama Tri, tapi belum pernah mau tekun bikin wayangnya karena sekarang juga masih kerja di pabrik gula,” jelasnya.

    Di usia senjanya, Sumiran tak hanya menghadapi kendala fisik seperti penglihatan yang mulai kabur, tapi juga kekhawatiran terhadap masa depan keterampilan yang telah ia tekuni puluhan tahun. Ia khawatir, jika tak ada yang mewarisi, keterampilan membuat wayang akan punah dari keluarganya.

    “Banyak orang yang beli wayang di sini bilang, ‘Pak Sumiran ini harus punya penerus’, tapi anak-anak saya belum ada yang tertarik betul,” ujarnya lirih.

    Meski tidak bergabung dalam komunitas atau paguyuban seniman, Sumiran dikenal konsisten mengikuti pakem penggambaran wayang. Ia masih menyimpan buku panduan lama meskipun sebagian koleksinya pernah dibawa orang dan tak kembali.

    “Pernah dulu satu lukisan wayang Pandawa Lima juga dibawa kabur oleh orang yang hanya meninggalkan jam tangannya sebagai jaminan. Tapi tak pernah kembali sampai sekarang,” kenangnya.

    Menurut Sumiran, membuat wayang bukan pekerjaan yang bisa dikuasai dalam waktu singkat. Banyaknya karakter dan detail membutuhkan kesabaran dan ketelatenan tinggi.

    “Nguri-nguri budoyo Jowo asli, tinggalane nenek moyang kito suwargi (Melestarikan budaya Jawa asli, peninggalan nenek moyang kita yang sudah wafat),” tuturnya, mengutip pesan sang ayah.

    Kabar Trenggalek - Sosial

    Editor:Zamz