Kecam Kekerasan Seksual, Aliansi Mahasiswa Trenggalek Tuntut Pesantren Jalankan Peraturan Menteri Agama
Aliansi Mahasiswa Trenggalek melakukan aksi longmarch dari Stadion Menak Sopal menuju Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Trenggalek. Dalam aksi itu, mereka menuntut penanganan atas kekerasan seksual yang dilakukan kiai dan gus di salah satu pondok pesantren Kecamatan Karangan, Kamis (21/03/2024).Mamik Wahyuningtyas, salah satu massa aksi menyampaikan kecaman terhadap kekerasan seksual itu didasari oleh penghargaan Kabupaten Layak Anak yang didapatkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek. Ia menilai, pemerintah tak pantas mendapatkan penghargaan itu karena masih terus terjadi kekerasan seksual di lingkungan pesantren."Kabupaten Trenggalek sudah mendapatkan penghargaan layak anak. Sebenarnya yang menjadi pertanyaan kami semua itu ramah anak yang bagaimana? Di Kabupaten Trenggalek tidak sedikit korban kekerasan seksual," ujar Mamik saat diwawancarai awak media.Puluhan massa aksi itu merupakan gabungan dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Menurut Mamik, ada potensi korban yang tidak berani berbicara mengenai kekerasan seksual yang dialami."Untuk itu, kami mendesak Kemenag Kabupaten Trenggalek untuk berkomitmen agar membersamai korban beserta tim pendampingnya dalam mengawal proses penyelesaian kasus kekerasan seksual di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Trenggalek," ucap Ketua Sarinah GMNI Trenggalek itu.Dalam menangani kasus kekerasan seksual, Mamik juga mendesak seluruh pesantren di Trenggalek untuk menjalankan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.[caption id="attachment_70938" align=aligncenter width=1280] Mamik Wahyuningtyas, salah satu massa aksi Aliansi Mahasiswa Trenggalek sedang berorasi/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)[/caption]"Mendesak pondok pesantren yang ada di Kabupaten Trenggalek untuk menerapkan PMA Nomor 73 Tahun 2022," kata Mamik.Mamik menyampaikan, Aliansi Mahasiswa Trenggalek perlu mempertanyakan bagaimana implementasi dari peraturan tersebut. Dalam PMA Nomor 73 ini ada aturan bagi satuan pendidikan untuk mewujudkan ruang aman di pesantren."Dengan adanya kasus pelecehan seksual yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Trenggalek, maka implementasi dan juga integritasnya patut dipertanyakan," terang Mamik.Perlu diketahui, sepekan terakhir, masyarakat dihebohkan dengan kasus pencabulan di ponpes Trenggalek yang dilakukan kiai dan anaknya kepada 12 santri. Pada Jumat, 15 Maret 2024, Polres Trenggalek menahan dan menetapkan kiai serta anaknya sebagai tersangka kasus pencabulan.Kapolres Trenggalek, AKBP Gathut Bowo Supriyono mengatakan, kedua tersangka melakukan tindakan pencabulan kepada 12 santri dengan cara bujuk rayu lalu memegang bagian vital dari tubuh korban. Mirisnya, kedua tersangka mengakui perbuatan cabulnya sudah dilakukan sejak tahun 2021.Modus kiai M (77) memberikan iming-iming sejumlah uang kepada korban, saat melakukan tindakan bejat. Pada saat memberi uang tersebut, M (77) menyentuh bagian vital dari santri. Sedangkan modus Gus F (37) melakukan tindakan menyuruh korban untuk melakukan bersih-bersih di ruangan tertentu. Lalu Gus F (37) melakukan tindakan bejat tersebut.Atas perbuatannya, kedua pelaku dijerat UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun. Kemudian UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman maksimal 12 tahun. Serta UU KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *