KBRT – Pada era 1990-an, para pengrajin perkakas besi di Desa Kedungsigit, Kecamatan Karangan, dikenal mampu mengirim ribuan gergaji dan peralatan lainnya ke berbagai daerah. Namun memasuki tahun 2000-an, banyak bengkel terpaksa gulung tikar karena bahan baku semakin sulit didapatkan.
Ridwan (38), pande besi yang pernah membuat gergaji dan berbagai peralatan di bengkel milik pamannya di Dusun Jeruk RT 16 RW 03, mengingat masa ketika produksi masih tinggi.
“Dulu tahun 90 satu hari 200 gergaji di bengkel milik paman saya ini bisa jadi mulai dari nol,” kata dia.
Ridwan bercerita, bengkel yang dulu mempekerjakan hingga 12 orang kini ia jalankan sendiri setelah pamannya, Sukiyo, meninggal pada 2019. Sebelum wafat, pamannya meminta agar usaha keluarga tetap diteruskan meski tak lagi mampu memproduksi sebanyak dulu.
“Mulai kelas 4 SD saya sudah diajak paman saya Almarhum Sukiyo itu membuat pegangan gergaji disini. Tapi di tahun 2003 itu paman memutuskan berhenti bikin gergaji karena bahan bakunya semakin sulit didapat,” katanya.
Seiring waktu, Ridwan mempelajari teknik menempa besi menjadi peralatan seperti sabit, cangkul, hingga berbagai jenis pisau. Setelah sempat merantau beberapa tahun, ia diminta kembali pada 2012 untuk menggantikan pamannya melayani pelanggan selama sang paman menunaikan ibadah haji.
“Insyaallah, paman sama bibi itu berangkat haji pakai penghasilan produksi gergaji yang saya ingat harganya Rp 120 satu bijinya,” kata dia.
Sejak itu, Ridwan memilih tidak merantau lagi. Ia membantu pamannya mengelola bengkel dan melayani pesanan sabit maupun peralatan lain.
Ridwan menceritakan, tanpa dukungan mesin dinamo untuk menghidupkan bara api, ia dan pamannya mampu menghasilkan sekitar 60 sabit per minggu. Pesanan datang dari berbagai daerah.
“Dulu itu menerima pesanan pedagang dari daerah seperti Lamongan, Gorontalo yang pesannya per kodi. Jadi setiap hari harus dapat satu kodi lebih biar tidak rugi,” kata dia.
Setelah Sukiyo meninggal pada 2019, Ridwan mengelola bengkel sendirian. Saat ini, ia melayani perbaikan perkakas dan pembuatan sabit untuk warga sekitar. Dalam sebulan, omzetnya berkisar Rp 2 juta.
“Sabit yang kecil buat merumput itu Rp 40.000, kalau yang besar itu buat motong kayu itu Rp 70.000,” katanya.
Sebelum pamannya wafat, sempat muncul rencana membentuk paguyuban pengrajin besi bernama Mpu Gandring, namun rencana itu belum berjalan hingga kini.
Situasi serupa dialami Muhsin (58) dari RT 17 RW 03, pengrajin gergaji yang masih aktif memproduksi hingga sekarang. Ia mengingat masa ketika permintaan sangat tinggi.
“Kalau sekitar tahun 1997 itu bisa kirim 3000–5000 gergaji ke Lamongan sampai Ponorogo, sebelum diteruskan ke luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan,” katanya.
Kini, Muhsin hanya mampu membuat 1000–3000 gergaji per bulan, bergantung ketersediaan bahan baku. Pendapatannya berkisar Rp 3 juta per bulan, yang menurutnya pernah menyokong kebutuhan keluarga hingga dua anaknya menikah.
Dalam proses produksi, ia menggunakan bekas mata gergaji mesin pemotong kayu yang dulu mudah diperoleh dari Kalimantan. Saat ini, ia bersama sekitar sembilan pengrajin lain mengandalkan pasokan dari bengkel mesin gergaji di Trenggalek.
“Sekarang untuk harga gergaji itu dari Rp 7.000 yang paling kecil, lalu yang sedang Rp 12.000 dan yang paling besar Rp 17.000,” katanya.
Muhsin mengungkapkan bahwa wacana pembentukan paguyuban pengrajin perkakas sempat muncul, namun tidak pernah berlanjut.
“Dulu ada Paguyuban Mpu Gandring itu, tapi belum sempat jalan. Arisannya saja juga tidak jadi,” kata dia.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor: Zamz















