KBRT — Pengrajin parut kayu di RT 26, RW 04, Desa Jatiprahu, Kecamatan Karangan, masih mempertahankan produksi alat dapur tradisional ini meskipun peminatnya terus tergerus oleh parut pabrikan dan parut mesin. Aktivitas para perajin berjalan dalam skala kecil, dengan produksi yang bergantung musim dan pesanan.
Siti Kalimah (46), salah satu produsen setempat, menyampaikan bahwa ia sudah membuat parut kayu selama lebih dari dua dekade.
Dalam kesehariannya, Kalimah mampu menghasilkan beberapa unit parut sesuai kondisi pekerjaan rumah.
"Sehari bisa dapat 5 sampai 7 buah parut tergantung repot atau tidak. Satu parut biasa dari saya harganya Rp 5.500, kalau yang super yang bahannya beda bisa Rp 6.500 lebih," ujarnya.
Parut-parut buatannya dijual kepada pemesan langsung atau diserahkan ke pengepul di lingkungan RT. Proses produksi dilakukan bersama warga lain: perajin lain membentuk balok kayu, sementara Kalimah memasang kawat sebagai mata parut.
"Sekali jual bisa sampai 50 buah, seminggu atau dua minggu sekali," kata Kalimah.
Imam Kusaeri (55), pengepul yang menampung produksi warga, menyampaikan bahwa usaha parut kayu sudah berlangsung turun-temurun di wilayah tersebut.
Menurut dia, dulu hampir seluruh warga RT ikut memproduksi parut yang dipasarkan dengan merek Parut Sido Mulyo.
"Sebulan sekali saya kirimkan parut ke pasar-pasar di Tugu, Kampak, Bendo, biasanya 200–500. Itu kalau dibandingkan dengan dulu waktu tidak ada parut dinamo dari pabrik tidak sampai 10 persennya," ujar Kusaeri.
Ia mengenang masa ketika parut pabrikan belum marak pada akhir 1990-an. Saat itu, setiap pasaran Pon ia mengirim sekitar 400 parut ke Pasar Bandung, Tulungagung, belum termasuk pasar di Trenggalek.
Parut kayu Jatiprahu bahkan pernah memiliki pelanggan rutin dari luar Jawa.
"Parut kayu buatan warga Jatiprahu pernah rutin mendapatkan pesanan dari Sumatera sebanyak 1.500 buah setiap bulan," ucapnya.
Namun kini kondisi pasar jauh berbeda. Ia mengaku masih mengirim barang, tetapi penjualannya tidak seramai dulu.
"Kadang sebulan sekali saja sekarang barang yang di pasar masih belum habis," tuturnya.
Pendapatan dari penjualan parut kini berkisar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per bulan, membuat Kusaeri perlu pekerjaan tambahan.
"Dulu ya fokus berjualan parut saja, tapi sekarang sudah cari tambahan, ya ke sawah atau jadi buruh tanam kalau ada tetangga yang butuh," kata dia.
Harga parut dari Kusaeri dipatok Rp 7.000 untuk jenis biasa dan Rp 9.000 untuk jenis super. Para pengrajin pun tidak seaktif dulu karena sebagian memilih bekerja di sawah, terutama saat musim tanam.
"Dapatnya itu ya tinggal rajin atau tidaknya, sehari biasanya bisa dapat 6–7 buah. Karena ibu-ibu baru bisa buat setelah urusan rumah selesai," katanya.
Meski permintaan menurun, parut kayu masih memiliki pembeli setia. Mereka memilihnya karena kualitas hasil parutan dianggap lebih baik untuk masakan tertentu.
"Alasannya saya dengar dari konsumen itu tetap bertahan pakai parutan kayu karena rasanya lebih enak, hasil parutannya beda dengan parut mesin, apalagi kalau dibuat bothok," ujarnya.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor: Zamz















