KBRT – Bagi Solekan (50), warga Desa Gembleb, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September belum bisa dirasakan seperti perayaan hari besar lainnya.
“Ya petani gini-gini saja,” ujarnya sambil tersenyum pahit. Ia menuturkan, mayoritas warga di desanya bekerja di sawah sebagai buruh tani, bukan pemilik lahan.
“Kalau di persawahan Desa Gembleb ini, yang punya sawah kurang dari separuh warga. Sisanya buruh tani. Itu pun sawahnya di sini lebih sempit daripada desa lain,” katanya.
Pria yang akrab disapa Kalik itu menyebut, sebagian besar pemilik sawah hanya mengelola sebidang kecil, termasuk dirinya yang memiliki sekitar 125 ru.
Meski menyadari pentingnya peran petani sebagai penyangga pangan negeri, Kalik mengaku kondisi ekonomi petani kerap terguncang. Pada musim lalu, ia kehilangan separuh hasil panen akibat serangan hama wereng.
“Biasanya sawah 125 ru bisa menghasilkan 8 kwintal, kemarin cuma dapat setengahnya,” jelasnya.
Kalik menambahkan, harga gabah kering memang naik pada musim lalu, bahkan mencapai Rp7.700 per kilogram—lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya yang berkisar Rp5.000. Namun, kenaikan harga itu tidak otomatis membuat petani lebih sejahtera.
“Yang punya sawah 125 ru, kalau jual setengah hasil panen paling dapat sekitar 3 juta. Itu pun panennya empat bulan sekali,” katanya.
Pendapatan tersebut masih harus dipotong biaya pupuk, pestisida, hingga ongkos bajak. Itulah sebabnya, menurut Kalik, kehidupan petani kecil tetap sulit.
Sambil menata pipa irigasi untuk mengaliri benih padinya yang kekurangan air, Kalik berharap harga kebutuhan pertanian bisa lebih terjangkau.
“Harapannya ya pupuk sama obat itu dimurahkan lagi. Walaupun harga gabah naik, penghasilan petani tetap belum cukup, apalagi kalau panen rusak kena wereng,” ungkapnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz