Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Catatan Kejanggalan Sidang Tiga Petani Pakel Banyuwangi, Hakim Diduga Langgar Etik

Sidang tiga petani Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, sudah memasuki putaran ke 8 pada Senin, (17/07/2023). Ketiga petani itu adalah Mulyadi (Kades Pakel) Suwarno (Kasun Durenan), dan Untung (Kasun Taman Glugoh). Mereka diduga menyiarkan berita bohong terkait kepemilikan lahan di Desa Pakel.

Tim hukum tiga petani Pakel menegaskan bahwa akar kasus ini berasal dari konflik agraria di Desa Pakel sejak 1925 (sebelum Indonesia merdeka). Konflik yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah ini berujung pada berbagai tindak kriminalisasi kepada warga Pakel hingga hari ini.

Sayangnya, proses persidangan tak berjalan dengan lancar. Warga bersama tim hukum mengungkapkan berbagai kejanggalan sidang tiga petani Pakel Banyuwangi. Mulai dari pembatasan akses publik untuk memasuki persidangan, serta tidak efektifnya pola sidang hybrid (online sekaligus offline).

Selain itu, ada anggota polisi yang beberapa kali masuk sidang. Hingga, agenda sidang pemeriksaan saksi mendadak (setelag putusan sela) yang membuat sidang berlangsung hingga tengah malam.

12 Jam Bertahan Menunggu Sidang Selesai

Warga Pakel Banyuwangi menunggu sidang 12 jam hingga tengah malam/Foto: @rukunpakel (Instagram)

Sri Mariyati, warga Pakel dan salah satu keluarga terdakwa, menceritakan berbagai kejanggalan sidang tersebut. Seperti yang terjadi pada sidang putusan sela pada Selasa (04/07/2023).

Setelah eksepsi dari tim hukum ditolak majelis hakim, puluhan warga Pakel yang bersolidaritas mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi dikagetkan oleh agenda pemeriksaan saksi yang mendadak.

"Awalnya agendanya hanya putusan sela, lha kok dilanjutkan pemeriksaan saksi dari jaksa. Kaget lah kami, lha agendanya cuma satu, kok dilanjutkan seperti itu. Mau gak mau kami harus ngikuti hakim," ujar Mariyati saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.

Kabar mendadak agenda pemeriksaan saksi itu didengar warga sekitar pukul 14.00 WIB. Saat itu, Mariyati bersama perwakilan warga Pakel berada di dalam ruang sidang. Sedangkan puluhan warga yang menunggu di luar PN Banyuwangi melakukan orasi secara bergantian dan membaca sholawat.

"Warga sholawatan, istighosah. Bapak-bapak juga menari untuk menghilangkan letih. Hampir jam 12 malam baru pulang. Kami kan gak punya bayangan sidang sampai malam, jadi kami juga gak ada perlengkapan untuk itu [sholat, makan]," ucap Maryati.

Akhirnya, warga Pakel yang tak membawa bekal makanan banyak mendapat kiriman makanan dari keluarga di desa. Selain itu, warga juga membeli makanan. Sedangkan untuk sholat, warga menuju masjid di di sekitar PN Banyuwangi.

Selama persidangan berlangsung, Maryati merasa aneh dan tidak nyaman. Banyak polisi yang mengawal sidang. Bahkan, beberapa anjing polisi juga ditempatkan di dalam kawasan PN Banyuwangi. Anjing-anjing polisi itu menggonggong setiap Maryati bersama perwakilan warga Pakel masuk ke ruang sidang.

Warga Pakel yang memasuki ruang sidang juga dibatasi. Hakim hanya membolehkan tujuh orang per terdakwa untuk masuk ke ruang sidang. Apalagi, sidang putusan sela dan pemeriksaan saksi mendadak dilakukan secara hybrid dan terpisah.

"Pas pemeriksaan saksi-saksi, saya keluar. Gak kuat dingin di dalam [ruang sidang]. Pas keluar, saya gak orasi. Lapar," ungkap Mariyati.

Para terdakwa menjalani sidang secara online via zoom dari Lapas Banyuwangi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga online dari Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi. Sementara Penasihat Hukum (PH) dan Majelis Hakim sidang offline di PN Banyuwangi.

Ditambah, tiga saksi yang diperiksa mendadak itu tidak dihadirkan di ruang sidang. Mereka memberi kesaksian dari Kejari Banyuwangi. Hal itu menimbulkan indikasi kesusahan hakim untuk menemukan kebenaran materiil. Tanpa pantauan langsung majelis hakim dan PH, dikhawatirkan keterangan para saksi dibisiki oleh JPU disampingnya.

"Pemeriksaan saksi di jaksa, online juga. Walaupun bisa lihat di YouTube, tapi kan cuma satu arah itu. Ada apa dan kenapanya itu kami gak bisa lihat secara pasti," terang Maryati.

Sidang pembacaan putusan sela ditambah pemeriksaan saksi mendadak itu berlangsung selama 12 jam lebih. Beralaskan terpal plastik, beberapa warga tidur di depan PN Banyuwangi. Sidang selesai hingga tengah malam. Pukul 23.40 WIB, warga Pakel baru beranjak pulang ke rumah.

Dipaksa Sidang Online Meski Banyak Kekurangan

Tangkapan layar tiga petani Pakel Banyuwangi menjalani sidang online/Foto: TeKAD Garuda

Sepulang dari sidang 12 jam yang melelahkan, rasa penasaran berseliweran di kepala Maryati. Sebab, saat di dalam ruang sidang, ia melihat para terdakwa sering mendekatkan telinga ke layar zoom.

Lantas, Maryati melihat ulang proses sidang putusan sela di YouTube PN Banyuwangi. Dalam tayangan itu, Maryati juga melihat Mulyadi sering mengatakan instruksi kepada majelis hakim. Selain itu, Suwarno juga terlihat beberapa kali memanggil petugas lapas.

Pada sidang berikutnya, Senin (10/07/2023), Maryati menyempatkan untuk membesuk para terdakwa pukul 08.30 WIB, sebelum sidang dimulai. Ia menanyakan kepada para terdakwa untuk menjawab rasa penasarannya.

"Ketika aku besuk terdakwa di lapas, aku tanya Pak Mulyadi kemarin kenapa kok instruksi di tengah-tengah putusan sela?" tanya Maryati. "Lha gimana, wong suaranya gak terdengar," ujar Maryati menirukan jawaban Mulyadi.

Begitu juga dengan Suwarno yang beberapa kali memanggil petugas lapas. "Gak denger apa-apa. Denger tiba-tiba ilang, denger tiba-tiba ilang suaranya. Tiba-tiba selesai sidangnya," ucap Maryati mengulang keterangan Suwarno.

Maryati mengungkapkan satu hal lagi yang mengganggu jalannya sidang. Akun JPU terlihat sering terlempar keluar dari zoom. Berbagai kekurangan sidang online ini sangat memberatkan bagi warga Pakel.

Warga Pakel sudah bolak-balik meminta kepada majelis hakim supaya sidang dilakukan secara offline saja. Sayangnya, hakim tetap ngotot dengan sidang online di putaran berikutnya, Rabu (12/07/2023).

"Alasan hakim terus sidang online katanya jaringan sudah sesuai. Tapi sebenernya disayangkan banget sih kalau masih online gini, karena kan mengganggu. Pengennya kami itu sidang jangan online, tapi bisa dihadirkan langsung. Kalau hadir langsung kan kami bisa lihat. Terdakwa bisa komunikasi langsung dengan hakim," jelas Maryati.

Sidang Kacau, Hakim Diduga Langgar Kode Etik

Poster aksi solidaritas pembebasan tiga petani Pakel Banyuwangi/Foto: @rukunpakel (Instagram)

Taufiqurochim, pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, salah satu tim hukum tiga petani Pakel, menduga majelis hakim melanggar kode etik. Sebab, muncul kejanggalan mulai dari sidang pemeriksaan saksi secara mendadak (setelah putusan sela), hingga sidang online yang dipaksakan meski ada banyak kekurangan.

Perlu diketahui, persidangan tiga petani Pakel dipimpin oleh Hakim Ketua, Moehammad Pandji Santoso (Ketua PN Banyuwangi). Kemudian, Hakim anggota 1, I Made Trisna Jaya Susila. Serta, Hakim anggota 2, Ni Iluh Putu Partiwi.

Taufiq menjelaskan, berdasarkan pasal 11 ayat 3 Perma 4/2020 jelas dan tegas mengatakan "Pemeriksaan Saksi dan/atau Ahli dilakukan dalam ruang sidang Pengadilan meskipun persidangan dilakukan secara elektronik."

"Sidang online kacau dari awal. Seolah-olah tidak ada gunanya adanya gedung Pengadilan Negeri Banyuwangi. Kalau dari awal sampai akhir dilakukan sidang online, lebih baik gedung PN Banyuwangi itu dijual saja. Gak ada gunanya bagi kami," tegas Taufiq.

Menurut keterangan Taufiq, tidak ada argumentasi yang jelas dan logika yang kuat dari majelis hakim terkait pemeriksaan saksi dari JPU ditempatkan di kejaksaan. Padahal, sidang terbuka memiliki makna secara filosofis bahwa ada pintu yang harus dibuka. Supaya ruang sidang tidak samar-samar dan tidak gelap, tapi bisa dipantau oleh publik.

"Dalam kasus ini kami menilai ada semacam pelanggaran etik, dan secara prinsip juga ada pelanggaran yang dilakukan majelis hakim. Maka dari Komisi Yudisial [KY] itu harus turun tangan, bahwa kasus ini menjadi atensi publik dan KY harus benar-benar mengikuti satu proses persidangan yang penuh kejanggalan ini," terang Taufiq.

Taufiq menyampaikan, kekacauan dalam sidang tiga petani Pakel erat kaitannya dengan kuasa pihak yang memiliki modal besar, dalam hal ini perusahaan perkebunan PT Bumi Sari. Bahkan, dari beberapa pengalaman LBH Surabaya, kasus yang melibatkan pemilik modal besar, bisa memengaruhi hasil putusan sidang.

"Hakim pun dalam kasus ini tidak berani berpikir dan memberi pertimbangannya melampaui hukum yang sifatnya normatif saja. Ada pertimbangan tidak adil yang diberikan majelis hakim," tandas Taufiq.

Konflik Agraria Tak Diseriusi, Kriminalisasi Terus Menghantui

Warga bentangkan poster pembebasan tiga petani Pakel Banyuwangi/Foto: @rukunpakel (Instagram)

Menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik oleh majelis hakim dalam sidang tiga petani Pakel, tim hukum mendatangi Penghubung Komisi Yudisial (KY) Jawa Timur. Pada Senin (10/07/2023), tim hukum yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur dan LBH Surabaya, menemui Dizar Al-Farizi, Koordinator Penghubung KY Jawa Timur.

"Sidang yang dilaksanakan secara hybrid, tidak bisa tatap muka, menghambat komunikasi. Memang ini bukan pandemi lagi. Ada juga kemarin kepolisian yang masuk ke ruang sidang tapi tidak ditegur. Kan gak boleh. Majelis hakim tidak tegas. Nah ini kan menunjukkan bahwasanya ada pelanggaran etika yang dilakukan oleh hakim," ujar Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur.

Wahyu mendesak Penghubung KY Jawa Timur untuk mengawasi persidangan tiga petani Pakel. Sehingga KY Jawa Timur bisa memberi pertimbangan sesuai konstitusi untuk menciptakan ruang sidang yang adil, serta memberikan rasa aman dan nyaman kepada warga yang dikriminalisasi.

"Pengawasan dari KY ini menjadi pertimbangan untuk memberi teguran atau sanksi kepada hakim yang 'nakal'. KY tugasnya adalah mengawasi perilaku-perilaku hakim yang tidak sesuai dengan etika di bidang kehakiman dan persidangan," ucap Wahyu.

WALHI Jawa Timur memandang, hakim tidak mempertimbangkan bahwa akar kasus tiga petani Pakel ini adalah konflik agraria. Padahal, warga Pakel sudah beberapa kali melaporkan konflik ini kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Tercatat, warga Pakel sudah melakukan audiensi bersama Wakil Menteri ATR/BPN, Surya Tjandra, pada Kamis, 10 Januari 2022, di Jakarta. Lalu, warga Pakel bersama Aliansi Rakyat Trenggalek sudah audiensi dengan Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, pada Senin, 24 Oktober 2022, di Jakarta. Berikutnya, warga Pakel melakukan aksi mogok makan di depan Kantor Kementerian ATR/BPN, pada tanggal 19 hingga 23 Februari 2023, untuk menagih janji penyelesaian konflik agraria.

"Kasus ini sudah masuk ke ranah ATR. Artinya kasus ini sudah menjadi domain bahwa memang clear ini adalah konflik agraria. Tapi ini tidak dipertimbangkan hakim. Mereka lebih melihatnya ke kasus umum, tidak memahami konteks soal konflik. Hakim belum memiliki perspektif konflik agraria," kritik Wahyu.

Ke depan, tim hukum juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung untuk menyampaikan temuan-temuan pelanggaran etik dari majelis hakim. Harapannya, hakim bisa objektif melihat bahwa kasus ini merupakan bagian dari konflik agraria.

Wahyu menjelaskan, ketika konflik agraria di Pakel tidak diseriusi pemerintah untuk diselesaikan, maka kriminalisasi akan terus bermunculan. Apalagi, pada Rabu (12/07/2023), dikabarkan ada empat warga Pakel lain yang dipanggil pihak kepolisian atas tuduhan memasuki lahan yang diklaim milik PT Bumi Sari.

"Kalau konflik Pakel ini tidak segera diselesaikan dan tidak segera jadi perhatian, maka kasus-kasus serupa akan terus ada. Kriminalisasi akan terus bergulir, hak masyarakat akan terus terampas. Karena, orang bebas melaporkan yang berkaitan dengan apa yang warga perjuangkan," tandas Wahyu.

Hari ini, masyarakat Pakel terus bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka juga terus mengawasi jalannya persidangan kriminalisasi tiga petani Pakel, supaya hak-hak atas nama tanah Pakel tidak dirampas lagi dan lagi.

Masyarakat berharap tiga petani Pakel bisa bebas dari tuduhan penyebaran berita bohong/hoaks. Mereka meyakini bahwa tiga petani Pakel itu tidak bersalah. Tentunya, masyarakat tetap semangat untuk berjuang merebut kembali hak atas tanah.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *