Kabar Trenggalek - Ratusan warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, melakukan demo di depan kantor Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banyuwangi, pada Senin (03/01/2021), untuk menolak kriminalisasi 13 warga Pakel. Ternyata, perjuangan warga Pakel Banyuwangi mempertahankan tanahnya sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka, yaitu tahun 1925.Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim), perjuangan warga Pakel yang dimulai sejak era kolonial Belanda hingga masa sekarang, itu sering dihadapkan dengan moncong senjata aparat negara. Sejak dahulu, warga Pakel selalu mendapatkan berbagai intimidasi dan tindak kekerasan oleh aparat negara.Perjuangan warga Pakel memuncak pada 24 September 2020. Warga Pakel bertekad mengubah penderitaan dan penindasan yang hampir mencapai 1 abad itu dengan jalan untuk melakukan aksi pendudukan lahan kembali dari perampasan yang dilakukan oleh PT Bumi Sari. Perjuangan pendudukan lahan perkebunan itu terus berlangsung hingga saat ini.Aksi-aksi pendudukan lahan itu terus dilakukan karena warga Pakel sadar bahwa Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumi Sari tidak ada di Desa Pakel, tapi hanya berada di Desa Songgon dan Desa Kluncing Kabupaten Banyuwangi.[caption id="attachment_8448" align=aligncenter width=1600]
Banner aksi ratusan massa warga Pakel di Polresta Banuwangi/Foto: Dokumen warga Pakel[/caption]
Baca juga: Ratusan Massa Demo Polresta Banyuwangi Tolak Kriminalisasi 13 Warga PakelWarga Pakel kecewa terhadap kehadiran negara yang seharusnya hadir dan membela petani Pakel. Namun negara malah mengabaikan mandat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960.Sehingga dalam konteks tersebut, aksi pendudukan lahan oleh warga Pakel perlu dimaknai sebagai sebuah tindakan merebut hak mereka yang dijamin dalam peraturan negara. Perjuangan warga Pakel di latarbelakangi oleh abainya negara dalam memenuhi dan menjamin hak dasar warga negara.
Berikut kronologi perjuangan warga Pakel Banyuwagi sejak 1945 sampai sekarang:1. Pada tahun 1925, sekitar 2956 warga yang diwakili oleh tujuh orang, yakni: Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumber Rejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.2. Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan mereka dikabulkan dengan terbitnya Akta 1929. Doelgani dkk diberikan hak membuka lahan hutan seluas 4000 Bahu (3200 hektar) oleh Bupati Banyuwangi Notohadi Suryo.3. Namun dalam perjalanannya, Akta 1929 tersebut ternyata dirampas oleh Asisten Wedono Kabat (asisten pembantu pimpinan tingkat kabupaten/membawahi beberapa camat pada zaman kolonial Belanda).4. Atas kasus perampasan tersebut, Doelgani dkk tetap berusaha melakukan pembukaan kawasan hutan yang disebutkan dalam Akta 1929, dan mengusahainya sebagai lahan pertanian. Doelgani dkk juga terus mendesak pejabat kolonial Belanda yang dimaksud agar segera mengembalikan Akta 1929 tersebut kepada mereka.5. Di era kolonial Jepang, pada tahun 1943, Doelgani dkk juga terus berjuang dan melancarkan berbagai usaha agar mendapatkan kembali hak pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran. Menurut catatan pengacara warga Pakel Tjan Gwan Kwie (ditulis pada tahun 1943) didapatkan keterangan tertulis bahwa dirinya yang mewakili warga Pakel telah mengirimkan surat kepada Paduka Tuan Syutyokan guna mendesak pemerintah Jepang agar segera menyelesaikan kasus yang dihadapi oleh warga Pakel.[caption id="attachment_8447" align=aligncenter width=1600]
Personil Polresta Banyuwangi sedang menghadang massa aksi warga Pakel/Foto: Dokumen warga Pakel[/caption]
Baca juga: Lingkungan Terancam Dirusak Pembangunan, Warga Sepat Gugat Pemkot Surabaya dan PT Ciputra Surya6. Seolah tak pernah putus asa, di era Soekarno, pada tanggal 1 Juli 1963, 11 orang yang mewakili 717 warga Pakel, mengajukan surat “Permohonan Tanah Hutan Bebas” kepada Bupati Banyuwangi. Surat ini pada intinya meminta pemerintah agar memberikan izin dan alas hak kepada mereka atas lahan Hutan Sengkan Kandang Keseran yang terletak di Pakel, yang sebelumnya izinnya telah diberikan lewat Akta 1929 pada zaman Belanda.7. Namun, pasca meletusnya tragedi kemanusiaan “30 September 1965”, warga Pakel memilih tiarap dan tidak melakukan kegiatan penanaman lahan di kawasan Akta 1929 untuk menghindari tuduhan sebagai anggota PKI.8. Di era otoriatarian Orde Baru yang dipimpin Suharto, tepatnya pada tanggal 17 September 1977, Tjan Gwan Kwie (pengacara warga Pakel) mencoba mengirimkan surat kepada Kas Kopkamtip di Jakarta, yang isinya menerangkan bahwa:
- Tanah yang diperjuangkan oleh Doelgani dkk seluas 4000 Bahu, yang terletak di Kecamatan Kabat (sekarang Kecamatan Licin) memang benar telah diterbitkan izinnya oleh Bupati Banyuwangi Notohadisoeryo pada tahun 1929. Tanah yang dimaksud adalah tanah hutan bebas (bukan hutan tutupan), dikenal dengan nama Sengkan Kandang Keseran.
- Dalam surat tersebut, menurut Tjan Gwan Kwie bahwa Kantor Boswezen Banyuwangi tampaknya telah menghalang-halangi permohonan warga Pakel, karena juga terdapat kelompok lain yang menginginkan lahan hutan Sengkan Kandang Keseran.
- Selanjutnya lahan seluas 4000 Bahu tersebut, dikuasai oleh perusahaan perkebunan Bumi Sari dengan luasan mencapai 500 Ha, dan dikuasai oleh Perhutani seluas 500 Ha.
9. Di luar keterangan tertulis yang disusun oleh Tjan Gwan Kwie di atas, juga terdapat keterangan lisan dari warga Pakel berupa:
- Bahwa pasca meletusnya tragedi kemanusiaan 30 September 1965, terdapat sebagian kecil warga Pakel melakukan kegiatan bercocok tanam di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif) yang terletak di Desa Pakel.
- Namun, lahan yang mereka kelola tersebut tiba-tiba diklaim menjadi milik perusahaan perkebunan PT Bumi Sari. Di awal klaimnya, PT Bumi Sari tidak menunjukkan tindakan pengusiran, dan mendorong warga untuk menanam tanaman kopi, kelapa, dll. Akan tetapi, pada tahun 1970-an, saat tanaman warga tersebut sudah tumbuh besar, PT Bumi Sari melakukan pengusiran terhadap warga.
10. Pada tanggal 13 Desember 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan HGU PT Bumi Sari. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa PT Bumi Sari mengantongi HGU seluas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar. SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon. Kedua sertifikat HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009.[caption id="attachment_8584" align=aligncenter width=960]
Suasana posko perjuangan warga Pakel Banyuwangi di lahan pendudukan/Foto: Dokumen warga Pakel[/caption]
Baca juga: Jokowi Berkunjung ke Trenggalek, Warga Kampak Suarakan Tolak Tambang Emas11. Dengan merujuk SK HGU diatas, jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Desa Pakel, namun hanya di wilayah Songgon dan Kluncing (kedua wilayah ini tidak jauh dari Pakel). Akan tetapi dalam praktiknya, PT Bumi Sari melakukan penguasaan lahan hingga Desa Pakel.12. Pada tanggal 5 Januari 1993, Muhammad Slamet (perwakilan warga Pakel) mengirimkan surat kepada Presiden RI, Menteri Kehutanan, Kepala BPN, Jaksa Agung, dan Ketua DPR, melaporkan dugaan jual beli lahan hutan Akta 1929 yang dilakukan oleh Perhutani. Patut ditambahkan, selain dikuasai oleh PT Bumi Sari, kawasan Akta 1929 juga dikuasi oleh Perhutani.13. Surat Muhammad Slamet tersebut direspon soleh Menteri Agraria a.n Direktur Pengurusan Hak-hak atas Tanah pada 4 Januari 1995. Menteri Agraria meminta penjelasan Kepala BPN Jatim atas perkara yang dihadapi dan laporan Muhammad Slamet. Di era tersebut, untuk sekedar menyambung hidup, Muhammad Slamet dkk bekerja sebagai petani penyewa lahan Perhutani setelah tanah yang mereka perjuangkan (kawasan Akta 1929) dikuasai oleh Perhutani. Dalam praktiknya lahan tersebut juga diperjual-belikan oleh Perhutani kepada sekelompok orang, dan masyarakat Pakel juga dihalang-halangi untuk menyewa lahan.14. Pada tanggal 16 Maret 1995, warga Pakel mencoba mengajukan kembali surat permohonan penyelesaian kasus yang mereka hadapi kepada Menteri Agraria/BPN di Jakarta.15. Selanjutnya, pada 1 Juli 1998, 16 warga Pakel, diantaranya adalah Muhammad Slamet, mengajukan permohonan penyelesaian kasus yang mereka hadapi kepada Bupati Banyuwangi.[caption id="attachment_8582" align=aligncenter width=960]
Dapur perjuangan warga Pakel Banyuwangi di lahan pendudukan/Foto: Dokumen warga Pakel[/caption]
Baca juga: Alam Terancam Rusak, Inilah Daftar Desa di Trenggalek yang Masuk Konsesi Tambang Emas PT SMN16. Pasca lengsernya Suharto, tepatnya sepanjang 1999-2001, warga Pakel melakukan aksi pendudukan lahan di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh Perhutani. Namun, buntut dari aksi tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik. Petugas Perhutani dan aparat keamanan juga merusak seluruh rumah dan tanaman warga.17. Pada 16 Oktober 2001, DPR RI sempat tercatat melakukan pertemuan dengan komisi II DPR RI dan Sekjen Komite Advokasi Sosial dan Hukum Kehormatan dan Keadilan dengan agenda penyelesaian masalah tanah warga Pakel. Namun, menurut warga Pakel, pertemuan tersebut juga tidak mendorong penyelesaian kasus yang mereka hadapi.18. Pada tanggal 13 Oktober 2008, warga Pakel, kembali mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar segera menyelesaikan kasus yang mereka hadapi.19. Dalam perjalanannya, sesuai surat BPN Banyuwangi, nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari. Mendapatkan pernyataan tersebut, warga Pakel menganggap peluang kemenangan untuk mendapatkan tanah mereka kembali telah ada di depan mata.20. Di akhir 2018, warga Pakel melakukan penanaman kembali di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh PT Bumi Sari dengan ribuan batang pohon pisang. Akan tetapi pada Januari 2019, warga Pakel dilaporkan oleh Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari. Atas tuduhan tersebut, warga Pakel dianggap melanggar Pasal 107 huruf a UU 39/2014 tentang Perkebunan. Dan buntutnya, 26 Warga Pakel dipanggil oleh pihak Polresta Banyuwangi.[caption id="attachment_8583" align=aligncenter width=960]
Anak-anak di Desa Pakel Banyuwangi ikut berjuang merebut kembali lahan/Foto: Dokumen warga Pakel[/caption]
Baca juga: Warga Kampak dan Watulimo Bersolidaritas Tolak Tambang Emas Trenggalek21. Atas tuduhan tersebut, sedikitnya 11 orang warga Pakel juga dipanggil kembali oleh Polresta Banyuwangi pada Oktober 2019.22. Sejarah panjang penindasan inilah yang akhirnya mendorong warga Pakel memutuskan untuk menduduki kembali lahan leluhur mereka pada 24 September 2020 sebagai jalan terakhir untuk mendapatkan lahan dan ruang hidup mereka. Aksi tersebut dilakukan di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh PT Bumi Sari.23. Saat ini PT Bumi Sari juga menggugat Kepala Desa Pakel di PTUN Surabaya karena dianggap turut berpihak pada perjuangan warganya.24. Selain menghadapi kriminalisasi dan berbagai ancaman dari berbagai pihak, perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan informasi-dokumen publik (dokumen HGU PT Bumi Sari) juga dihalang-halangi oleh BPN Banyuwangi. Terkait hal ini, tim hukum warga Pakel sedang mengajukan sengketa informasi publik di Komisi Informasi Publik (KIP), Jawa Timur.