Permohonan peradilan warga Pakel, Banyuwangi, atas penangkapan terhadap tiga petani Pakel, ditolak oleh majelis hakim, pada Jumat (10/03/2023) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Sidang itu tercatat dalam nomor perkara 2/Pid.Pra/2023/PN Byw.
Merespons putusan itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menduga ada pelanggaran kode etik hakim dalam sidang praperadilan warga Pakel. Hakim sidang praperadilan warga Pakel yaitu Yoga Perdana, S.H. Lalu, termohon 1 adalah Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Resort Kota Banyuwangi. Termohon 2 yaitu Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Timur. Serta termohon 3 yaitu Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Jauhar Kurniawan, pengacara publik LBH Surabaya, menyampaikan bahwa tim hukum dan warga Pakel menyayangkan putusan dari hakim tidak dipertimbangkannya pasal 112, 119, dan 227 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jauhar menyampaikan, dalam pasal-pasal tersebut memuat syarat formil pemanggilan. Dalam sidang praperadilan, hakim membatasi pemberlakuan pasal itu hanya sebatas pada lingkup persidangan, bukan tahap penyidikan. Artinya pasal-pasal tersebut masuk pemeriksaan pokok perkara, bukan di tahap kepolisian.
"Yang perlu digarisbawahi adalah, dalam permohonan praperadilan itu, kami mencoba memberikan gambaran dan memberikan rekonstruksi bahwasanya dalam proses rekonstruksi ini ada tahapan yang ditabrak oleh polisi," ujar Jauhar, tim hukum warga Pakel, yang juga bagian dari Tim Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TeKAD Garuda).
Menurut Jauhar, batas waktu pengiriman surat panggilan dan pemeriksaan terhadap 3 petani Pakel itu terlalu mepet. Selain itu, metode penyerahan surat pemanggilan itu dilakukan dengan jasa pengiriman dokumen. Padahal, kalau merujuk ke KUHAP, surat itu harus dikirim secara langsung.
"Hakim hanya berpikiran formalistik, artinya hanya menilai bahwa sudah ada dua alat bukti permulaan yang sah untuk menetapkan tersangka. Sehingga, penetapan tersangka ini dianggap sudah cukup alat Bukti," ucap Jauhar saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.
Jauhar meyebutkan, ada dugaan pelanggaran kode etik hakim terkait prinsip 'Bersikap Profesional' dalam sidang praperadilan warga Pakel. Dasar dugaan yang pertama, dalam agenda sidang pembuktian surat tambahan dari termohon II dan turut termohon, Yoga Perdana sebagai hakim tiba-tiba menskors persidangan sekitar 20 menit, tanpa alasan yang jelas.
"Kami tidak tahu alasannya apa, hakim cuma bilang 'sidang diskors'. Padahal setelah itu, hakim cuma menyampaikan sidang berikutnya tanggal 10 agenda putusan. Cuman gitu aja setelah skors dicabut," terang Jauhar.
Lihat postingan ini di InstagramSebuah kiriman dibagikan oleh Rukun Tani Sumberejo Pakel (@rukunpakel)
Kedua, Yoga Perdana sebagai hakim karena menunda sidang selama 14 hari karena para termohon tidak datang/tidak memenuhi panggilan PN Banyuwangi. Menurut LBH Surabaya, pelanggaran oleh para termohon itu seharusnya tidak boleh ditoleransi karena sudah melanggar aturan persidangan praperadilan.
Merujuk Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, tentang Proses Pemeriksaan Praperadilan, poin 3 disebutkan, "Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan pra peradilan diperiksa, permohonan tersebut harus diputus."
Langkah ke depannya, lanjut Jauhar, tim hukum mencoba untuk mendorong pihak-pihak terkait hingga Mabes Polri, supaya penangguhan penahanan 3 petani Pakel segera mendapat respons. Sebab, sudah 1 bulan sejak tim hukum memasukkan penangguhan penahanan itu, belum ada jawaban dari pihak Polda Jatim.
"Dalam ketentuan perundang-undangan, tidak ada batas waktu [merespons permohonan penangguhan penahanan]. Jadi, ya suka-suka penyidiknya menyetujui atau tidak. Hal ini jelas merugikan warga Pakel. Seakan-akan permohonan penangguhan penahanan dari warga itu seperti digantung," terang Jauhar.
Jauhar mengatakan, tim hukum juga berencana melaporkan Yoga Perdana (hakim) ke Komisi Yudisial. Saat ini, tim hukum sedang mengkaji peluang-peluang pelaporan dugaan pelanggaran kode etik hakim itu.
Perlu diketahui, tiga petani Pakel yang ditangkap Polda Jatim adalah Mulyadi (Kepala Desa Pakel), Suwarno (Kepala Dusun Durenan, Pakel) dan Untung (Kepala Dusun Taman Glugoh, Pakel). Mereka ditangkap karena diduga menyebarkan berita bohong terkait status kepemilikan tanah di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.
Padahal, secara historis warga Pakel sudah menerima Akta 1929, tertanggal 11 Januari 1929 pada era pemerintahan kolonial Belanda. Warga Pakel diizinkan untuk membuka hutan seluas 4000 Bahu (sekitar 2856 hektare). Namun, dalam perjalanannya, kawasan Akta 1929 tersebut dikuasai oleh Perhutani dan PT Bumi Sari saat Orde Baru berkuasa-yang terus berlangsung hingga saat ini.
Selain itu, merujuk Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, nomor SK.35/HGU/DA/85, dijelaskan bahwa PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU seluas 1189,81 hektare: terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel.
Jauhar mengungkapkan, di dalam sidang praperadilan, para termohon tidak spesifik menyampaikan bukti bahwa HGU PT Bumi Sari ada di Desa Pakel. Sedangkan, HGU PT Bumi Sari 2019, saat ini sedang proses kasasi dan menunggu proses pemeriksaan di Mahkamah Agung.
"Kondisi warga kecewa, di sisi lain mereka masih berupaya tegar dan tetap menjaga solidaritas antar warga mendukung trio Pakel dalam proses advokasi ke depan. Praperadilan ini bukan proses akhir, tapi masih tahap awal untuk agenda peradilan berikutnya. Butuh tenaga dan waktu untuk terus berjuang bersama-sama," tandas Jauhar.