Perjuangan warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, tercatat secara rapi dalam buku Atas Nama Tanah Pakel. Buku itu merupakan rangkuman dari kumpulan arsip catatan perjuangan yang dilakukan warga Pakel sejak 1925.
Buku 'Atas Nama Tanah Pakel' disusun oleh para solidaritas yang tergabung dalam Puputan Pakel Committee. Salah satu tujuan penerbitan buku itu adalah untuk melawan tuduhan penyebaran berita bohong (hoaks) kepada tiga petani Pakel.
Tuduhan berita bohong itu mengacu pada Surat Ijin Membuka Tanah atau akta 1929, yang dimiliki warga Pakel untuk mengelola lahan di desanya. Penyelidikan polisi menyebutkan, akta 1929 itu merupakan sumber berita bohong yang membuat warga percaya bahwa warga berhak mengelola lahan. Sebab, menurut Polisi, tanah di Desa Pakel adalah milik perusahaan perkebunan PT Bumi Sari.
Tiga petani Pakel itu adalah Suwarno (Kepala Dusun Durenan), Untung (Kepala Dusun Taman Glugoh), dan Mulyadi (Kepala Desa Pakel). Mereka diculik dan ditahan paksa oleh Polda Jatim dan Polresta Banyuwangi sejak 3 Februari 2023. Kini, tiga petani Pakel sudah menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Banyuwangi, pada Rabu (14/06/2023).
Cahyo, anggota Puputan Pakel Committee, mengatakan tuduhan berita bohong kepada tiga petani Pakel itu tidak berdasar. Sebab, akta 1929 yang dimiliki warga Pakel itu merupakan surat resmi yang dikeluarkan oleh Bupati Banyuwangi ke 11, Raden Adipati Aria Mohamad (RAAM) Notoadisoerjo, pada 11 Januari 1929.
Oleh karena itu, Cahyo bersama jejaring solidaritas warga Pakel Banyuwangi mengadakan bedah buku 'Atas Nama Tanah Pakel'. Pada tahap awal, Bedah buku itu dilaksanakan di IAIN Cirebon, lalu dilanjutkan di Surabaya serta kota/kabupaten di Jawa Timur lainnya. Selanjutnya, bedah buku akan dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
"Narasi yang digunakan aparat kepolisian selalu melenceng dari pembahasan, mereka tidak tahu bagaimana sejarahnya. Pihak pengadilan maupun aparat tidak mempelajari bagaimana sistem pemerintahan [Kolonial Belanda] pada waktu itu. Tidak mengetahui siapa dan apa, sebab apa terjadi seperti ini," ujar Cahyo saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.
Konteks Sejarah Akta 1929
Cahyo menjelaskan, salah satu sumber arsip dalam buku Atas Nama Tanah Pakel adalah 'Soerat Memorie' dan 'Pembelaan' yang ditulis Mr. Tjan Gwan Kwie. Mr. Tjan adalah advokat sekaligus aktivis Tionghoa. Ia tergabung dalam Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) serta terlibat dalam gerakan nasional awal abad ke-20. Mr. Tjan menjadi pengacara warga Pakel untuk mendapatkan hak atas tanahnya.
Pada tahun 1929, Desa Pakel masih masuk Kecamatan Kabat, Kawedanan Rogojampi, Karesidenan Besuki, Kabupaten Banyuwangi. Terbitnya Akta 1929 memiliki latar belakang jaman meleset (krisis malaise), depresi ekonomi, alih fungsi lahan, kemiskinan, kelaparan, pengangguran, serta berbagai penderitaan masyarakat yang diakibatkan oleh perang.
Para petani Pakel yang resah dengan kondisi itu mendirikan perkumpulan petani. Para pelopornya adalah Doelgani, Karso, Senen, (tetua Desa Sumberejo Pakel), Jam (Desa Sempu Gemulirang), serta Sumoningat, Sutami, Sarbito (Desa Jajag). Perkumpulan petani itu beranggotakan 2900 orang (1700 petani Pakel, 1200 petani desa-desa lain).
"Perkumpulan petani tersebut, selain untuk saling bantu kebutuhan sehari-hari juga sebagai upaya untuk memperjuangkan lahan garapan, bagi ribuan petani 'tak bertanah' di Banyuwangi," tulis Puputan Pakel Committee.
Perkumpulan petani itu ingin memastikan bahwa tanah hutan dapat menghidupi lebih banyak penduduk yang terdampak krisis. Oleh karena itu, mereka mengajukan pembukaan hutan dan mengolah tanah bagi ribuan penduduk yang membutuhkan lahan penghidupan.
"Bupati Notoadisoerjo mengabulkan dan mengeluarkan 'Soerat Idin Memboeka Tanah' [Akta 1929], bagi ribuan petani untuk menggarap tanah hutan 'Sengkang Kandang' dan 'Keseran' yang berada di Desa Sumberejo Pakel," jelas Puputan Pakel Committee.
Dalam akta 1929, Bupati Notoadisoerjo memberi hak kepada petani Pakel untuk mengelola tanah hutan di Desa Sengkan Kandang dan Keseran seluas 4000 bahu (2.840 hektare). Dengan pembagian tiap petani 1 ¹/₄ bahu, rincinya 1 bahu untuk pertanian, ¹/₄ bahu untuk rumah. Tanah hutan itu diperuntukkan kepada ribuan petani tak bertanah di Pakel dan desa-desa sekitarnya.
Sayangnya, dukungan Bupati Notoadisoerjo dan upaya warga mengelola tanah hutan, dihalang-halangi oleh Residen Besuki, Asisten Residen, Wedono, Asisten Wedono (camat), Mandor Perhutanan, serta petinggi Desa Sumberejo Pakel. Tindakan itu dilakukan untuk kepentingan perluasan perkebunan kolonial.
"Berujung penangkapan terhadap 170 petani. Aparat pemerintah kolonial Belanda menuduh, dengan menggarap tanah hutan tersebut, para petani telah beraksie kominis," jelas Puputan Pakel Committee.
Sidang untuk menyelesaikan konflik tanah di Desa Pakel, dilakukan pada Jumat, 8 Januari 1930, dengan didampingi pihak kontrolir (penghubung pemerintah Belanda dan pemerintah pribumi).
"Dari berbagai penyelidikan yang dilakukan, menyatakan bahwa pihak yang menghalangi para petani diputuskan bersalah dan petani berhak atas tanah hutan tersebut," terang Puputan Pakel Committee.
Penindasan Zaman Belanda hingga Hari Ini
Akan tetapi perjuangan petani Pakel untuk mendapatkan hak atas tanah terus mendapatkan upaya penghalang-halangan dari tiap zaman. Mulai zaman kemerdekaan, orde baru, reformasi, hingga saat ini, petani Pakel mendapatkan beragam tindakan represif serta kriminalisasi dari aparat dan lembaga negara.
Seperti yang dialami Suwarno, Untung, dan Mulyadi hari ini. Mereka ditangkap paksa dengan tuduhan menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan keonaran di kalangan masyarakat. Mereka diancam pidana pasal 14 ayat 2 dan pasal 15 UU RI tahun 1946, juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Saat ini, para petani Pakel terus berjuang untuk membuktikan bahwa akta 1929 itu sah dan bukan berita bohong.
"Jadi pernyataan aparat kepolisian tentang bagaimana akta 1929 itu menjadi hoaks, penempatan secara lokasi, mereka tidak mempelajari hal itu. Secara data, mereka tidak pernah membaca akar permasalahannya konflik dari mana," tegas Cahyo.
Bagi Puputan Pakel Committee, kriminalisasi yang dialami petani Pakel hari ini berkaitan dengan sejarah penjajahan yang panjang. Pola sistem negara pada hari ini banyak melakukan eksploitasi dan penindasan yang hampir mirip pada zaman kolonial Belanda.
"Jadi sistem sistem kolonial atau sistem negara pada hari ini adalah sistem yang sama, kapitalisme. Dan itu mengakar, berwujud penindasan. Buku ini adalah rekaman dan napak tilas ingatan warga, bagaimana mereka menghadapi sistem yang menindas dari zaman kolonial sampai sekarang," tandas Cahyo.