KBRT – Mukani (80), veteran Dwikora asal Trenggalek, menyimpan kisah perjuangan yang tak lekang oleh waktu. Pada tahun 1964, ia ikut dalam konfrontasi Indonesia–Malaysia, bertugas di garis perbatasan dengan perlengkapan seadanya—termasuk hanya sepasang sepatu yang ia pakai berbulan-bulan.
“Hampir satu tahun kami berada di perbatasan. Seragam dan perlengkapan saya adalah bekas dari waktu masih pendidikan,” ujarnya, mengenang masa-masa berat itu.
Di usianya yang kini sama tuanya dengan Republik Indonesia, Mukani masih bersemangat menceritakan dinamika medan operasi. Saat itu, ia baru menjadi prajurit kurang dari lima tahun ketika berangkat bersama satu batalyon dari Jakarta menuju perbatasan.
Perjalanan laut menggunakan kapal Angkutan Darat Republik Indonesia (ADRI) diwarnai momen menegangkan.
“Dari Trenggalek ada lima teman, kini semuanya sudah meninggal, tapi dulu kami pulang selamat,” katanya.
Sepasang seragam dan sepatu bekas pendidikan menjadi satu-satunya perlengkapan yang ia bawa. Celananya koyak, tetapi tekad menjaga kedaulatan negara tak pernah luntur. Dalam perjalanan menuju titik konfrontasi, kapal mereka mendapat serangan udara musuh.
“Satu batalyon hanya bisa berdoa supaya selamat. Untungnya bantuan pesawat tempur kita segera datang,” kenangnya.
Mukani lahir pada 7 Agustus 1945 di Kelurahan Surodakan. Ia merasa beruntung selamat dari serangan itu. Pada operasi tersebut, ia dipimpin Letnan II Harwin Wasisto, yang kelak menjabat Wakil Gubernur Jawa Timur di era 1990-an.
“Turun dari kapal, perut saya habis operasi usus buntu rasanya mau putus saat mengangkat sleep bag. Tapi saya tidak berhenti. Dari kecil cita-cita saya jadi tentara, kalaupun harus mati di pertempuran, saya sudah ikhlas,” ungkapnya.
Baku tembak di perbatasan ia saksikan langsung. Berbekal senapan dan sangkur, pasukan Indonesia memukul mundur lawan yang kerap menyusup ke Aceh, Kalimantan, dan Medan.
“Dulu makannya nasi jagung, pakaian sudah koyak semua. Hidup dan mati sudah tidak jadi pikiran,” ujarnya.
Selama hampir setahun di perbatasan Kalimantan–Malaysia, ia hidup dalam keterbatasan. Bagi Mukani, pengalaman itu adalah pengingat bagi generasi muda untuk menghargai kemerdekaan.
“Sekarang bukan waktunya menenteng senapan. Tapi anak muda yang kelak jadi pemimpin harus bisa mengambil keputusan yang bijak,” pesannya.
Mukani pulang ke Trenggalek pada 1965. Tidak ada oleh-oleh berupa luka pertempuran, melainkan semangat yang ia wariskan pada anak cucu. Usai tugas di Medan, ia sempat bertugas di Koramil Karangan sebagai Kepala Seksi 2 hingga pensiun.
“Bapak pernah bertugas di Medan beberapa tahun, sampai punya empat anak,” kata Supiati (75), istrinya.
Konfrontasi Indonesia–Malaysia terjadi 1963–1966, dipicu penolakan Indonesia terhadap pembentukan negara Malaysia yang dianggap bentuk neo-kolonialisme Inggris. Dwikora—Dwi Komando Rakyat—merupakan instruksi Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 untuk mendukung perjuangan revolusioner rakyat di Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Bagi Mukani, perjuangan itu bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah pengingat bahwa kemerdekaan dibayar mahal, dan generasi penerus wajib menjaganya.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz