Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Darurat Bencana Kekeringan Trenggalek Tahun 2023

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2007 silam menyatakan bahwa dunia semakin rawan terhadap kekeringan dalam 25 tahun terakhir, dan proyeksi iklim menunjukkan bahwa hal ini akan semakin parah pada masa mendatang. Prediksi badan PBB yang bertugas menilai ilmu pengetahuan terkait perubahan iklim tersebut bukan isapan jempol semata, tampaknya saat ini, yang dibicarakan benar terjadi.Salah satunya bencana kekeringan trenggalek tahun 2023. Ada adagium (pepatah) populer di bumi Menak Sopak berkaitan dengan bencana alam, yakni berbunyi seperti ini “hujan kebanjiran, kemarau kekeringan”, hal demikian dikandung maksud untuk menggambarkan kondisi Kabupaten Trenggalek yang notabene sering disambangi bencana, baik banjir bandang maupun kekeringan.Seperti saat ini, memasuki bulan Oktober Tahun 2023, bencana kekeringan membuat warga Trenggalek yang terdampak harus menunggu bantuan pasokan air bersih, baik dari pemerintah maupun rakyat yang tergabung dalam komunitas.Lantas kondisi semacam ini akankah terus dialami warga Trenggalek saat kemarau? Bagaimana langkah pemerintah dalam menyikapi bencana kekeringan? dan Apakah pemerintah dan masyarakat hanya mampu bersikap reaksioner saat bencana kekeringan sudah datang? Artikel ini akan membahasnya lebih lanjut.Catatan Reporter kabartrenggalek.com terbaru, melaporkan bahwa pertanggal 30 Oktober 2023 lalu, bencana kekeringan di Trenggalek meluas sampai 35 desa di 12 kecamatan. Tak tanggung-tanggung, tercatat sebanyak 15.468 jiwa dari 5091 kepala keluarga (KK) terdampak kekeringan.Tidak bisa dipungkiri, musim kemarau membuat sumur-sumur warga kering, seperti yang terjadi di Desa Cakul Kecamatan Dongko. Bahkan di tempat lain, lahan-lahan pertanian di Desa Ngrencak tidak bisa dikerjakan lagi oleh masyarakat lantaran air irigasi yang tak lagi mengalirkan air. Ini belum seberapa, Tahun 2019 silam kekeringan di Trenggalek meluas hingga 70 desa, Joko Rusianto, kepala pelaksana BPBD kala itu mengatakan menjadi bencana kekeringan terparah sejak 5 tahun terakhir.Pemerintah Kabupaten sebenarnya telah memasukkan Trenggalek ke dalam status siaga darurat bencana kekeringan tahun melalui surat keputusan (SK) Bupati Nomor 188.45/206/406.001.3/2023. Namun kondisi darurat tersebut sudah afkir. Pasalnya dalam SK tersebut, status darurat hanya berlaku sampai bulan Agustus, tepatnya sejak tanggal 22 Mei 2023 s/d. 31 Agustus 2023. Sedangkan bulan Oktober, kondisi kekeringan semakin parah.Memasuki minggu kedua bulan Oktober, tanda-tanda musim hujan di Trenggalek belum muncul. Unit Analisa BMKG Jawa Timur memperkirakan turun hujan di wilayah Jawa Timur masih akan terjadi di bulan November dasarian II-III. Jika demikian, artinya warga Trenggalek harus bisa bertahan hidup minim air sampai waktu tersebut, kira-kira antara tanggal 11-31 November 2023.

Trenggalek Langganan Kekeringan?

Memang, seperti keadaannya, Trenggalek sudah kerap menjadi langganan kekeringan di musim kemarau, meski tidak semua wilayah terdampak, namun persoalan seperti ini tidak bisa dianggap sepele. Karena ada warga masyarakat yang terdampak, sedangkan mereka (masyarakat) memiliki pemerintah yang diwajibkan untuk mengurus rakyat. Di sisi lain, juga tidak bisa memicingkan sebelah mata bahwa, aktivitas masyarakat terhadap lingkungan sedikit banyak menyumbang bencana ini.Lantas, kalau sudah langganan kekeringan mau apa dan bagaimana antisipasinya?Apakah akan menjalankan rutinitas tahunan semisal mengeluarkan Truk Pompa Air lalu mengambil air dari PDAM atau embung untuk diserahkan ke masyarakat? atau bagi masyarakat, mengeluarkan bak air dan mengantrikan di pinggir-pinggir jalan sambil menunggu mobil pompa air datang? Jika tetap demikian, artinya, tidak ada roadmap terkait mitigasi bencana kekeringan di Trenggalek. Ya, semua hanya soal respon reaksioner tanpa rencana.Dr. Ir. Wahyudi Citrosiswoyo, M.Sc. Ph.D. Dosen Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pernah menjelaskan bahwa bencana alam merupakan efek dari perubahan iklim yang terjadi atas sumbangsih manusia.Penjelasan tersebut masuk akal memang, kendati pada saat ini mayoritas masyarakat terdampak kekeringan lebih cocok disebut sebagai korban bencana, namun di sisi lain pada waktu tidak terjadi bencana kekeringan, mereka bisa saja menjadi penyumbang sebab kekeringan. Dalam peribahasa disebut “sedang menggali kubur sendiri”.Dalam peta risiko bencana kekeringan di Kabupaten Trenggalek yang disusun pemerintah kabupaten, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Trenggalek dan Universitas Gadjah Mada setidaknya memberikan gambaran kepada siapapun, bahwa titik-titik lokasi ini haruslah mendapat perhatian serius. Lihat pada peta di bawah ini, warna merah menunjukkan resiko kekeringan tinggi, sedangkan warna kuning untuk resiko sedang dan warna hijau untuk resiko rendah.[caption id="attachment_47367" align=aligncenter width=1280] Peta ancaman bencana kekeringan Trenggalek/Foto: BPBD[/caption]

Pemerintah Trenggalek Bisa Apa?

Sejauh pemantauan, kebijakan pemkab Trenggalek masih sebatas reaksioner semata, misalnya melakukan droping air ke wilayah-wilayah terdampak kekeringan atau berencana untuk membuatkan masyarakat sumur bor. Hal demikian disampaikan oleh Bupati Trenggalek saat ditanya beberapa wartawan.Berkaitan dengan rencana jangka panjang, tim redaksi belum mendapatkan informasi atau kajian dari pemerintah Trenggalek guna dibahas dalam tulisan ini. Namun kami mendapatkan wawancara dengan Kepala Pelaksana BPBD Trenggalek, Setafanus Triadi.Dalam wawancara melalui sambungan seluler tersebut, Triadi mengatakan beberapa hal yang sudah dilakukannya, selain bagi-bagi air bersih dan memadamkan api kebakaran.“Mengoptimalkan penggunaan sarpras pengairan dan sebagainya seperti Embung, perawatan dan pemeliharaan sumur pompa bor”Narasi-narasi yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber-sumber mata air serta menjaga tanaman tegakan penahan air serta budaya hidup masyarakat dengan lingkungan belum menjadi kebijakan khusus. Hal tersebut masih menjadi rutinitas lipsing dalam pidato-pidato sambutan serta rapat-rapat internal pemkab.Ya, sejauh ini, kami masih menangkap upaya dari Pemkab Trenggalek masih sebatas reaksioner semata, belum menyentuh substansi kebijakan hidup yang berdampingan dengan bencana. Jika ada kekeringan, siapkan anggaran untuk mobilisasi air, dan akan seperti itu terus dari masa ke masa.

Memahami Bencana Kekeringan

Pusat Penelitian dan Pengambangan (puslitbang) sumber daya air Kementerian PUPR merilis naskah ilmiah berkaitan dengan kekeringan. Dalam naskah tersebut, kekeringan tidak dapat diartikan hanya sebatas kondisi dimana kekurangan atau tidak ada air. Namun, naskah tersebut menyebut bahwa ada tiga jenis kekeringan.(1) Kekeringan meteorologi adalah kekurangan hujan dari yang normal atau yang diharapkan selama periode waktu tertentu. Sedangkan (2) kekeringan pertanian dicirikan dengan kekurangan lengas tanah (air yang terkandung di dalam pori-pori tanah), diukur dengan parameter potensi produksi tanaman.(3) Kekeringan hidrologi adalah kekurangan pasok air permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah. Dari ketiga jenis kekeringan tersebut, mengakibatkan dampak bagi masyarakat, yakni dampak ekonomi, dampak sosial dan dampak lingkungan.Ketiga jenis kekeringan tersebut saling berhubungan, jika dipahami lebih sederhana akan seperti ini alurnya:Saat ini, intensitas hujan sangat rendah (ini disebut kekeringan meteorologi), hal demikian diiringi dengan meningkatnya suhu yang menyebabkan berkurangnya lengas tanah (disebut kekeringan pertanian). Berkurangnya curah hujan meningkatkan evaporasi atau penguapan dan berkurangnya lengas tanah, ini menyebabkan berkurangnya air di sungai, danau dan waduk, serta air tanah (disebut kekeringan hidrologi).Jika merujuk dari penjelasan puslitbang sumber daya air PUPR tersebut, semakin menegaskan bahwa Kabupaten Trenggalek masih melihat bencana kekeringan sebatas tidak adanya air alami di suatu wilayah. Bukan sebagai bencana yang disebabkan oleh keadaan lain, misalnya sosial kultur dan budaya masyarakat.Ya tanpa kebijakan yang jelas, siapapun akan melakukan hal reaksioner. Sekarang bicara kekeringan, besok lupa, dan dibicarakan lagi ketika kekeringan melanda. Dalam sepak bola, ini disebut iwak-iwakan, satu orang merebut bola dari kaki-kaki beberapa orang, dan ia akan berlari kemana bola menggelinding, seperti dipermainkan keadaan. Lantas apa gunanya politik.