KBRT – Di tengah bau menyengat yang mengepul dari tumpukan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Srabah, Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek, Mamik Dian (48) terlihat cekatan memilah sampah plastik dan logam bekas.
Ibu rumah tangga asal RT 04 RW 02 Desa Srabah ini sudah lebih dari dua dekade menggantungkan hidupnya di TPA. Sejak awal tahun 2000-an, ia menjadikan gunungan sampah sebagai ladang rezeki untuk keluarganya.
“Sudah lama sekali mencari rongsokan di sini, ya sama suami dan sekitar 12-an warga lainnya. Kalau soal bau sampah, sudah kebal,” ujar Mamik.
Setiap hari, selepas salat subuh, Mamik sudah bangun untuk menyiapkan makanan. Sekitar pukul 05.00 WIB, ia berangkat ke TPA membawa karung besar dan topi kain sebagai pelindung dari panas.
Menjelang pukul 09.00 WIB, setelah belasan karung penuh terkumpul, Mamik dan rekan-rekannya beristirahat sambil makan bekal. Saat suhu mulai menyengat, mereka memutuskan pulang.
“Kalau sudah jam sembilan ke atas sekarang sering panas, pakai topi saja masih tembus. Ya pilih pulang, lalu cuci-cuci pakaian di rumah,” tuturnya.
Dengan tangan yang kadang dibungkus kantong plastik, Mamik terus mengais sampah demi menemukan botol atau logam. Di sela pekerjaan, ia bercerita tentang pengalaman-pengalaman tak terduga selama bertahun-tahun bekerja di sana.
“Dulu itu masih sering nemu perhiasan emas, kayak kalung, cincin, gelang. Kalau dapat, ya dijual terus dibagi rata sama teman-teman. Sekarang udah jarang,” katanya sambil tersenyum.
Tak jarang, Mamik juga menemukan uang pecahan Rp20.000–Rp50.000 di antara tumpukan sampah. Uang itu pun dibagi bersama rekan-rekannya, sama seperti dulu membagi hasil temuan perhiasan.
Rongsokan yang dikumpulkan Mamik tak langsung dijual. Ia menunggu hingga satu bulan agar hasilnya lebih besar. Dalam sekali jual ke pengepul di Kelurahan Sumbergedong, Mamik bisa mendapatkan sekitar Rp8 juta.
“Iya, hitungannya kayak tabungan. Kalau sudah sebulan baru dijual. Suami saya biasanya datang siang atau sore sehabis kerja di bangunan,” ucapnya.
Selama lebih dari 20 tahun, TPA Srabah telah menjadi bagian hidup Mamik. Dari tempat itulah ia membiayai dua anaknya hingga dewasa — bahkan salah satunya kini sudah menikah.
Namun, di balik rasa syukur itu, terselip kekhawatiran. Gunungan sampah di TPA Srabah kini semakin meninggi hingga membentuk bukit. Jalanan di sekitar lokasi pun mulai bersinggungan dengan area pembuangan.
“Kalau nanti TPA ini penuh dan enggak dipakai lagi, ya bingung mau kerja apa. Tapi rasanya enggak percaya, gunung-gunung dan jalan yang saya lewati itu ternyata semua sampah,” kata Mamik, sebelum bergegas pulang bersama teman-temannya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz