Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Temuan Baru Cagar Budaya di Trenggalek, Inilah Kisah Arca Durga Mahisasuramardhini

Kubah Migunani

Ada temuan baru cagar budaya di Trenggalek. Temuan itu dikonfirmasi Agus Prasmono, Pamong Budaya Ahli Muda, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Trenggalek. Agus menduga kuat, cagar budaya yang ditemukan itu adalah Arca Durga Mahisasuramardhini.

Arca Durga Mahisasuramardhini ditemukan di rumah Slamet, warga RT 23, Dusun Sendang Kamulyan, Desa Kamulan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Arca itu tiba-tiba ditemukan saat Muhaimin (tetangga Slamet) menggali pondasi rumah, pada Rabu (10/05/2023).

Saat ditemukan, kondisi Arca Durga Mahisasuramardhini itu tinggal separuh. Bagian kepala sudah tidak ada. Tinggi Arca Durga Mahisasuramardhini yang ditemukan sekitar 40 cm, dengan ketebalan bagian bawah sekitar 18 cm, dan bagian atas 16 cm.

Meski kondisinya tinggal separuh, sisa potongan arca itu memiliki ciri khas seperti Arca Durga Mahisasuramardhini. Ciri khas itu terlihat dari adanya kaki berdiri di atas kerbau, tangan kanan memegang buntut kerbau, dan tangan kiri memegang kepalanya raksasa. Ada yang menarik dari kisah Arca Durga Mahisasuramardhini.

Kisah Arca Durga Mahisasuramardhini

Arca Durga Mahisasuramardhini/Foto: Kemendikbud

Menurut catatan Shinta Dwi Prasasti di laman resmi Kemendikbud, Durga Mahisasuramardhini merupakan salah satu aspek dari sakti atau istri Dewa Siwa, Parwati. Dalam bahasa Sanskerta, durga berarti "yang tidak bisa dimasuki" atau "terpencil".

Deskripsi arca ini adalah Durga digambarkan berdiri di atas Mahisa (lembu/kerbau) dengan kaki kanan ditekuk keluar. Bertangan 8 buah, tangan kiri atas memegang camara, tangan di bawahnya memegang busur, panah, dan gada.

Tangan kiri bawah memegang rambut raksasa (asura). Tangan kanan atas membawa tasbih, tengah panah dan cambuk, tangan kanan paling bawah memegang ekor lembu/kerbau (mahisa). Arca ini juga memakai gelang tangan, kalung, kelat bahu, dan subang.

Asal Usul Penciptaan Durga

Arca Durga Mahisasuramardhini koleksi museum nasional/Foto: Kemendikbud

Melansir dari keterangan BPCB Jateng, Durga adalah tokoh yang diciptakan oleh para dewa, dengan maksud untuk mengalahkan raksasa Mahisasura yang berniat mengusir para dewa dari tempat tinggalnya, yaitu kayangan.

Kesaktian Mahisasura sangat luar biasa. Bahkan kesaktiannya tersebut tidak dapat dikalahkan oleh Indra selaku pimpinan para dewa, serta Kumara (Kartikeya), sang kepala pasukan pengawal kayangan.

Oleh karena itu, para dewa bersepakat untuk menggabungkan kesaktiaannya untuk mengalahkan Mahisasura. Penggabungan kesaktian itu dalam satu wujud tokoh yang memiliki semua kesaktiaan dewa.

Menurut mitologinya, Durga diciptakan dari lidah api yang menggambarkan kesaktian Brahma, Wisnu, Siwa, serta dewa-dewa lainnya dalam wujud (kekuatan dewa dalam bentuk aspek feminin dari dewa yang bersangkutan).

Setelah diciptakan, Durga tumbuh dengan cepat menjadi wanita cantik bertangan sepuluh. Dalam setiap tangannya, Durga memegang senjata khusus yang merupakan hadiah para dewa. Di antaranya Cakra milik Wisnu, trisula milik Siwa, Sangka (kerang) milik Waruna, pisau milik Agni, serta busur dan panah milik Wayu.

Kemudian, sinar yang masuk ke dalam tubuh Durga adalah hadiah Surya, kaladanda milik Yama, vajra milik Indra, dundumbaka (kalung mutiara hitam) hadiah Shesha, dan cangkir berisi anggur milik Kubera.

Selain memiliki sejumlah senjata untuk mengemban tugas dari para dewa tersebut, Durga diberi hadiah seekor Harimau Himalaya sebagai tunggangannya. Sebagai perwujudan sebagai sosok ciptaan dewa, Durga juga sering digambarkan menunggang atau duduk di atas singa.

Padmapitha Abharana (pakaian dan perhiasan) yang dikenakan Durga bukan sembarangan. Sebab, pakaian dan perhiasan tersebut juga merupakai hadiah para dewa. Pakaian, anting-anting, kalung, gelang, dan cincin adalah hadiah dari Ksirarnawa. Sementara kalung mutiara yang dikenakan Durga adalah mutiara hitam yang dihadiahkan oleh Shesha.

Perang Durga Melawan Mahisasura

Arca Durga Mahisasuramardhini Koleksi Museum Mpu Tantular/Foto: Cagar Budaya Jatim

Peperangan antara Durga dan Mahisasura yang digambarkan dalam mitologi begitu menarik. Peperangan itu tidak hanya menggambarkan antara kubu putih (dewa) melawan kubu hitam (raksasa), yang melambangkan perjuangan untuk mengalahkan kejahatan. Akan tetapi, di medan pertempuran itu muncul Durga sebagai sosok perempuan.

Mitologi peperangan antara Durga dan Mahisasura mendorong narasi perubahan peran perempuan yang sangat signifikan. Kebanyakan, peperangan hanya menjadi wilayah yang diklaim oleh laki-laki saja dan perempuan tidak boleh ikut campur karena dianggap lemah. Tapi, hal itu diubah oleh kehadiran Durga sebagai sosok perempuan di medan perang.

Di India, pada mulanya Durga dipuja di rumah-rumah sebagai dewi pelindung biji-bijian supaya dapat tumbuh dengan subur dan memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Dalam perkembangannya, Durga didudukkan menjadi dewi yang sangat penting, sebagai pahlawan.

Bahkan, kedudukan Durga disetarakan dengan para kesatria laki-laki. Dalam hal ini, Durga tidak sebagai istri dewa, melainkan sebagai individu dewa yang mandiri.

Diceritakan bahwa Durga mengendarai Harimau Himalaya, mendaki Gunung Windya yang merupakan kediaman Mahisasura untuk menantangnya di medan pertempuran. Di Gunung Windya, ada para raksasa yang siap menghadang Durga.

Durga melawan para raksasa itu menggunakan 10 senjata para dewa di 10 tanggannya. Para raksasa itu satu per satu tumbang, tak mampu menghalau kesaktian Durga. Durga terus menunjukkan kesaktiannya, hingga para raksasa yang menghadangnya berhasil disingkirkan.

Setelah itu, muncul satu raksasa berwujud kerbau di hadapan Durga. Raksasa utu adalah Mahisasura. Durga dan Mahisasura bertempur dengan hebatnya. Bahkan, 10 senjata para dewa milik Durga tidak langsung bisa mengalahkan Mahisasura.

Meski sudah bertempur hebat, Durga tidak menyerah maupun kehabisan strategi. Dengan kecerdasannya, Durga mampu menganalisa titik lemah dari Mahisasura. Setelah itu, Durga mengincar satu serangan mematikan untuk menyerang jantung Mahisasura.

Dengan cepat, Durga naik ke atas punggung Harimau Himalaya. Harimau itu membawa Durga menuju arah Mahisasura. Setelah jarak antara harimau dan Mahisasura semakin dekat, Durga segera melompat ke atas punggung Mahisasura.

Tanpa memberi waktu Mahisasura untuk melawan, Durga langsung menginjak leher Mahisasura hingga seluruh tubuhnya roboh. Dengan sekuat tenaga, Durga menancapkan trisula milik Dewa Siwa ke jantung Mahisasura. Serangan mematikan itu berhasil. Raksasa berwujud kerbau Mahisasura dikalahkan oleh kecerdasan dan ketangguhan Durga sebagai sosok perempuan.

Salah perang antara Durga melawan Mahisasura, Durga mendapat julukan sebagai Mahisasuramardini, artinya pembunuh raksasa berwujud mahisa. Para dewa dan penghuni kayangan lainnya sangat senang dan bangga kepada Durga.

Para dewa memberi selamat dan penghormatan kepada Durga, karena mampu mengalahkan Mahisasura. Kemenangan Durga itu menyelamatkan dunia dan dharma. Sejak itulah, Durga dipuja sebagai dewi penyelamat dari dominasi kekuasaan, dewi penghalang rintangan dari kesewenang-wenangan, dan dewi kesetaraan untuk perjuangan perempuan dan laki-laki.

Jejak Pemujaan Durga

Arca Durga Mahisasuramardhini di Desa Kamulan, Trenggalek/Foto: Kabar Trenggalek

Pada periode Jawa Tengah kuno, Durga merupakan dewi yang paling banyak dipuja. Asumsi ini didasarkan pada jumlah temuan arca Durga yang tersebar baik di wilayah maupun periode Jawa Tengah Kuna. Sejumlah arca Durga yang ditemukan menunjukkan keragaman mulai dari ukuran, cara penggambaran, hingga kualitas pengerjaannya.

Penelitian tentang Durga yang dilakukan oleh Hariani Santiko, memberikan penjelasan bahwa dari 150 Arca Durga yang menjadi objek kajiannya, hanya satu Arca Durga yang terbuat dari logam. Selebihnya, Arca Durga terbuat dari berbagai jenis bahan batu.

Arca logam yang dimaksud adalah Arca Durga yang terbuat dari bahan perunggu, yang ditemukan di Ponorogo (Jawa Timur). Mengingat ukuran Arca Durga perunggu tersebut hanya berukuran kecil, kemungkinan arca tersebut tidak didudukkan sebagai parswadewata (para dewa pendamping Siwa), melainkan sebagai istadewata (perwujudan Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai wujudnya).

Berbeda dengan arca logam, Arca Durga yang dibuat dari batu sering dijumpai penempatannya dalam bangunan candi. Apabila ditempatkan dalam bangunan candi, Durga didudukkan sebagai parswadewata yang ditempatkan dalam bilik utara candi atau di bilik sebelah kiri Garbhagraha.

Durga diarcakan sebagai dewi yang mengenakan sejumlah arbarana dan menginjak punggung Mahisasura. Jumlah tangan Durga bervariasi, mulai dari dua hingga hingga sepuluh. Sikap tangan yang paling penting adalah, satu tangan kanannya yang memegang ekor Mahisasura.

Kemudian, satu tangan kiri Durga menjambak rambut raksasa yang keluar dari kepala Mahisasura. Apabila tangannya digambarkan lebih dari dua, maka tangan lainnya memegang senjata yang digunakan dalam pertempuran melawan Mahisasura.

Kondisi Arca Durga Mahisasuramardhini di Trenggalek pada Rabu 10 Mei 2023, memang tinggal separuh. Sehingga, sulit untuk mengidentifikasi lebih jauh terkait ciri khas dari Acara Durga itu. Terutama bagian tangan tangan milik Durga yang memegang senjata dari para dewa.

Meski demikian, ada baiknya kita tetap berusaha melestarikan Arca Durga Mahisasuramardhini yang ditemukan di Trenggalek. Tak sekedar bernilai sejarah tinggi, Arca Durga Mahisasuramardhini memiliki nilai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang harus diperjuangkan untuk melawan kesewenang-wenangan serta mewujudkan keadilan.

=====

Terima kasih sudah membaca artikel di Kabar Trenggalek. Semoga ulasan tentang kisah Arca Durga Mahisasuramardhini, bisa bermanfaat untuk Anda semua.

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *