Surat Edaran dan Pakaian Adat: Membincang yang Sudah Lewat
Dalam rangka ikut memperingati dan memeriahkan Hari Jadi Kabupaten Trenggalek ke 828 Tahun 2022, bersama ini disampaikan bahwa pada Hari Rabu s/d Kamis, Tanggal 31 Agustus s/d 1 September 2022, kepada seluruh Pegawai ASN dan Non ASN yang bekerja di Instansi Pemerintah Daerah dan Instansi Vertikal, Pegawai BUMN dan BUMD, Perangkat Desa dan Siswa Siswi Sekolah di seluruh wilaah Kabupaten Trenggalek, menggunakan Pakaian Adat Trenggalek."Begitu bunyi surat edaran yang dikeluarkan Pemkab Trenggalek menjelang perayaan hari jadinya beberapa waktu lalu (Kabupaten Trenggalek berulang tahun setiap tanggal 31 Agustus).Surat edaran itu terkait peraturan bupati mengenai Pakaian Adat Trenggalek yang: sunah atau wajib (?) dikenakan dua hari berturut-turut (?) pada puncak perayaan hari jadi.Bahwa tulisan semacam komentar ini baru dibuat dan/atau keluar sekarang, sisi negatifnya adalah kehilangan momentum, sedangkan sisi positifnya adalah terhindar dari delik ‘provokasi.’Ketika surat edaran itu –sesuai namanya: beredar, warganet ramai melontarkan tanggapan, dari yang bernada dukungan hingga penolakan. Di titik ini, ada peluang untuk menyatakan bahwa warganet kita cenderung brangasan dan kalau memakai bahasa ‘posyandu’ rawan dituduh stunting di bidang literasi.Kalau warganet membaca dengan baik isi surat edaran tersebut, sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah hingga perguruan tinggi, keriuhan komentar bisa berkurang, atau pindah ke topik lain (masih seputar surat edaran tersebut). Mengapa demikian?Surat edaran itu lebih merupakan ‘rilis berita; daripada perintah, anjuran, ajakan, apalagi pemaksaan. Jadi, kalau Anda mau menolaknya, menolak apanya?Orang bisa paham, misalnya, bahwa Anda menolak kebijakan yang mewajibkan anak-anak sekolah mengenakan pakaian adat kabupaten hanya untuk dua hari kewajiban mengenakannya. Bagi sekelompok warga, itu memang bisa terasa mahal dan terkesan boros.Ketika warganet ramai berkomentar (negatif), ironisnya, lalu muncul pernyataan Sekretatis Daerah Kabupaten, bahwa yang dianjurkan/diwajibkan mengenakan pakaian adat itu hanya mereka yang punya.Nah, lo! Kita bisa menduga, pernyataan Sekda itu terlontar ketika ‘banyak’ warga yang tidak punya ‘baju adat; untuk anak-anak mereka tetapi sudah telanjur membelinya. Maka, jika di dalam hati mereka menolak ‘kebijakan’ itu sejak awal, dapat dipastikan mereka akan masuk ke dalam golongan orang yang menyesal.Di sisi lain, pernyataan Sekda itu secara nalar dapat pula dipahami sebagai: bahwa kebijakan pemakaian baju adat berpotensi memisahkan golongan punya dan tidak punya, golongan mampu dan tidak mampu.Di sisi lain lagi, pernyataan Sekda itu terkesan ngentahi atau kontra denga nisi surat edaran, jika benar surat edaran itu berisi ajakan, anjuran, perintah, apalagi mewajibkan (termasuk) anak-anak sekolah untuk mengenakan pakaian adat di hari jadi kabupaten.Anjuran, atau bahkan kewajiban untuk mengenakan pakaian adat, yakinlah, didasari niat baik. Dan kebaikan-kebaikan berikutnya berpotensi bermunculan sebagai dampak positifnya.Pertama-tama, melalui pakaian orang menyatakan dirinya. Pakaian adat erat berkaitan dengan identitas, dan kemudian akan menjadi sarana untuk menyatakan kebanggaan dan mengikis rasa rendah diri. Kita tahu, ada seribu alasan bagi orang Trenggalek untuk merasa minder atau rendah diri.Secara ekonomi, jika pakaian adat itu kemudian dapat diproduksi oleh warga di dalam kabupaten, lapangan kerja akan terbuka semakin lebar, dan perekonomuan akan semakin menggeliat.Tetapi, pertanyaannya kemudian adalah, dari mana asalnya ‘baju adat’ itu? Siapa perancangnya, siapa penyusun konsepnya? Dinas Pariwisata dan Kebudayaan? Dinas Pendidikan? Atau Departemen Agama? Atau berdasarkan pembicaraan lintas sectoral mana saja?Dari gambar desainnya, setidaknya ada dua hal yang tertangkap secara visual, yakni kesan bahwa:Pertama, adanya blangkon pada desain pakaian laki-laki, berpeluang menimbulkan kesan sebagai melanggengkan mental warga daerah bawahan (di bawah subordinasi kerajaan?).Kesan yang baru ada di pengandaian itu diperkuat oleh kehadiran Raja Yogyakarta pada puncak acara Perayaan Hari Jadi, dan kita juga boleh bertanya, di mana Raja Kasunanan yang konon pernah menguasai sebagaian lebih luas wilayah Trenggalek daripada yang berada di bawah naungan Kasultanan Yogyakarta?Kedua, ini soal yang biasanya cukup sensitif, yakni berkaitan dengan kerudung atau mukena, pada desain pakaian adat (Trenggalek) untuk perempuan. Okelah, jika memang 100% warga Trenggalek adalah muslim, atau penganut agama yang dapat diidentifikasi dengan tampilan mukena pada pakaian yang mereka kenakan.Pertanyaannya: apakah desain itu, yang dengan mukena, juga diperuntukkan bagi, jika di kemudian hari ada pemeluk agama lain selain Islam di Trenggalek?Anda boleh berpendapat bahwa berdiskusi perihal ‘pakaian adat’ ini ada manfaatnya, atau malah buang-buang waktu. Semua orang punya alasan dan kebenaran mereka masing-masing, sesuai, antara lain, sudut pandang mereka.Tetapi, sekali lagi, terkait keberatan untuk mengenakan pakaian adat saat puncak acara hari jadi kemarin, bahkan jika pihak pemetintah menganggapnya sebagai keharusan atau kewajiban, kalau pun seluruh warga menolaknya, tidak akan ada pengadilan yang dapat menjatuhkan sanksi hukum...Tidak ada pengadilan mana pun yang dapar menjatuhkan sanksi hukum, selama rekasional surat edarannya tetap seperti itu.Surat edaran itu, oleh karenanya, bisa dijadikan bahan pelajaran, dibahas di jam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.dan dionceki dari soal morfologis hingga sintaksisnya di perguruan tinggi.Tidak ada perintah, anjuran, apalagi kewajiban yang disampaikan melalui surat edaran itu. Kalau mau dibaca sebagai semacam rilis berita, dengan setengah dipaksakan, mungkin masih bisa.Jadi para Mbak dan Mas Bro yang kemarin ribut soal surat daran itu, ibarat rebut balung tanpa isi.*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kabartrenggalek.com.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow