KBRT - Di tengah sorotan lampu panggung dan alunan gamelan yang mulai jarang terdengar, sinden-sinden Trenggalek terus menjaga napas tradisi. Pergeseran tren hiburan modern menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang selama ini menjadi penjaga suasana dan emosi dalam pertunjukan wayang kulit.
Salah satu yang masih setia menjaga tradisi itu adalah Mamik Handayani (44), sinden sekaligus Ketua Perkumpulan Sinden Trenggalek (Persintren). Ia mengaku, keberadaan sinden muda kini mulai terlihat, namun belum banyak yang benar-benar menekuni dunia pedalangan.
“Di Trenggalek banyak sinden yang masih usia sekolah dan punya niat ikut lomba atau kompetisi. Tapi kalau dihitung, mungkin baru sekitar 40 persen dari jumlah anggota,” ujar Mamik.
Dari sekitar 80 anggota Persintren, Mamik menyebut 40 persen di antaranya adalah generasi muda yang ingin belajar, meski belum ada wadah latihan rutin. Sebagian sinden senior bahkan belum tergabung dalam perkumpulan karena belum terbiasa menggunakan media sosial.
“Anak-anak muda sebetulnya banyak yang ingin belajar, tapi belum ada latihan rutin. Harapan saya, suatu saat Persintren punya alat sendiri meskipun hanya beberapa set gamelan, supaya bisa latihan rutin,” katanya.
Namun, kondisi di lapangan tak semudah harapan. Pagelaran wayang kulit di Trenggalek kini kian jarang. Banyak acara yang dulu menghadirkan dalang dan sinden, kini lebih sering memilih campursari atau tayub yang dinilai lebih ringan dan mudah diterima penonton.
“Anak-anak atau sinden muda cenderung memilih yang lebih mudah, karena kalau nyinden di wayang itu harus semalam suntuk, jadi lebih capek. Sedangkan nyanyi campursari cukup 3–4 jam. Selain itu, pagelaran wayang kulit di Trenggalek sekarang sudah jarang sekali, kalah dengan campursari dan tayub,” tutur Mamik.
Mamik yang tinggal di Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari, menceritakan bahwa banyak pertunjukan wayang kulit kini memanfaatkan penyanyi dari tayub atau campursari yang bukan sinden asli. Meski ia tidak menilai hal itu sebagai sesuatu yang salah, namun ia khawatir lambat laun peran sinden sejati akan tergeser dari panggung budaya lokal.
“Harapan saya, wayang bisa menggeliat lagi di Trenggalek, supaya kesenian tradisional tidak hilang. Saya juga berharap setiap kesenian seperti wayang, tayub, campursari berjalan di jalur masing-masing, saling menghormati, dan mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah agar dapat terus berkembang,” ucapnya.
Mamik dan para sinden muda di Persintren kini terus berjuang, bukan hanya menjaga suara dan tembang, tetapi juga mempertahankan identitas budaya yang mulai dilupakan.
Di tengah derasnya arus hiburan modern, suara sinden Trenggalek tetap berusaha nyaring—memanggil kembali publik untuk mencintai kesenian yang telah lama hidup di tanahnya sendiri.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz