Khasanah pengetahuan Islam di Bumi Menak Sopal Trenggalek begitu kaya dan menarik untuk dipelajari. Sebab, perkembangan pendidikan Islam melalui pondok pesantren di Trenggalek berkaitan dengan legenda nenek moyang hingga perjuangan kemerdekaan Indonesia.Abdul Hamid Wilis (almarhum), dalam buku Selayang Pandang Sejarah Trenggalek, membahas
sejarah pondok pesantren di Trenggalek dari zaman Menak Sopal hingga Pangeran Diponegoro. Perkembangan pondok pesantren dan pendidikan di Trenggalek dibahas pada Bab V, halaman 43.Catatan sejarah itu dimulai dari zaman
Adipati Menak Sopal sekitar tahun 1500. Menak Sopal merupakan sosok legenda Bapak Pertanian Trenggalek sekaligus pendakwah agama Islam di Trenggalek. Penelusuran pondok pesantren pada zaman Menak Sopal dilihat dari makam-makam Islam tertua di Trenggalek.Perkembangan pondok pesantren berikutnya pada zaman Untung Surapati, pahlawan nasional Indonesia yang melawan penjajah kolonial Belanda. Salah satu prajurit Untung Surapati bernama Nur Kholifah, kemudian diangkat menjadi penghulu di Trenggalek dan mendirikan Pondok Pesantren Rejowinangun.Selanjutnya perkembangan pondok pesantren zaman Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional Indonesia. Setelah perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, ratusan prajurit Diponegoro kabur dan bersembunyi ke Trenggalek. Mereka mendirikan pondok pesantren, masjid, dan langgar (mushola).Selengkapnya, simak ulasan sejarah pondok pesantren di Trenggalek dari zaman Menak Sopal hingga Pangeran Diponegoro, di tulisan ini. Ulasan ini berdasarkan penjelasan di buku Selayang Pandang Sejarah Trenggalek, yang ditulis oleh Abdul Hamid Wilis.
Zaman Menak Sopal
[caption id="attachment_46641" align=aligncenter width=1280]
Ilustrasi sosok Menak Sopal/Foto: Pen History (YouTube)[/caption]Mubaligh tertua di Trenggalek adalah Ki Ageng Galek atau yang biasa disebut sebagai Mbah Kawak. Hal itu didasarkan pada cerita legenda Adipati Menak Sopal dan makam Setono Galek, makam Islam tertua di Trenggalek.Mbah Kawak mempunyai putri asuh yang bernama Rara Amiswari atau Amisayu, seorang putri Kerajaan Majapahit. Rara Amiswati diperisteri oleh Ki Ageng Menak Sraba. Menak Sraba mempunyai perguruan Islam di Bagong (sekarang di Kelurahan Ngantru).Maka, menurut cerita legenda Adipati Menak Sopal, pondok pesantren yang pertama adalah di Setono Galek. Pengasuh pondok yaitu Ki Ageng Galek atau Mbah Kawak. Sedangkan Adipati Islam yang pertama adalah
Menak Sopal, putra dari Ki Ageng Menak Sraba dan Rara Amiswati.Semua tokoh itu hidup pada tahun 1500 an. Mengingat penduduk Trenggalek sudah berhasil di-Islamkan dan di seluruh Trenggalek sudah menyebar makam-makam Islam, sehingga diyakini sudah ada pondok pesantren pada waktu itu atau setidak ada langgar dan masjid.Sampai akhirnya, ada cerita dari Babad Kediri dan didukung dengan data di Trenggalek berkaitan dengan sejarah Islam itu.
Zaman Untung Surapati
[caption id="attachment_46643" align=aligncenter width=725]
Lukisan Untung Surapati/Foto: Wikipedia[/caption]Untung Surapati dalam buku sejarah nasional diriwayatkan sebagat pum Bali yang menjadi anak angkat seorang Belanda. Untung Surapati dibawa ke Batavia dan menjadi seorang perwira tentara Belanda dengan pangkat Letnan.Setelah di Batavia, Untung Surapati memberontak Belanda. Kemudian menuju Cirebon dan terus ke Ibu Kota Mataram, yaitu Kartasura. Kapten Tack yang mengejar pasukannya dapat dikalahkan oleh Untung Surapati.Bahkan, Kapten Tack terbunuh dalam peperangan itu. Dengan izin Raja Mataram, Untung Surapati menuju Jawa Timur, melalui Madiun dan Kediri, lalu mendirikan kerajaan dengan ibu kota di Pasuruan.Dalam perjalanan ke Jawa Timur menuju Pasuruan, di tempat-tempat yang strategis, Untung Surapati meninggalkan salah seorang prajuritnya untuk mendirikan pondok pesantren. Kemudian membuat pertahanan apabila Belanda mengejar atau menyerang ke Pasuruan.Salah seorang prajurit Untung Surapati yang gagah dan masih muda, cakap, cerdas dan pandai ilmu agama Islamnya, secara "rahasia" dititipkan kepada bupati Kediri. Prajurit itu bernama Nur Kholifah.Bupati Kediri memberi Nur Kholifah tanah dan dibantu mendirikan pondok pesantren di sebelah timur Kota Kediri yang kemudian terkenal dengan nama Pesantren (sekarang keberadaannya di kota Kediri sebelah timur). Nur Kholifah kemudian diambil menantu oleh bupati Kediri.Menantu bupati Kediri yang lain ialah Bupati Trenggalek. Kalau dilihat dari sejarah Trenggalek, Bupati Trenggalek waktu itu adalah bupati Sumotruno 1743, putra Bupati Ponorogo di Sawo. Jadi, antara Nur Kholifah dan Bupati Sumotruno adalah sama-sama menantu Bupati Kediri, yang dalam bahasa Jawa disebut "pimpinan".Sebagai kabupaten yang baru, Trenggalek belum mempunyai penghulu. Maka, diangkatlah Nur Kholifah yang terkenal dengan nama Mbah Nur Kholifah atau Mbah Putih sebagai penghulu Trenggalek.Tempat menetap Mbah Nur Kholifah sekarang dikenal dengan nama Pesantren di Rejowinangun Trenggalek. Penghulu waktu itu sebagai penasehat bupati di bidang Agama, Hakim Agama (zaman sekarang disebut Ketua Pengadilan Agama), dan Wali Hakim.Peninggalan kitab-kitab Mbah Nur Kholifah cukup banyak. Ada 15 kitab lebih yang tebal-tebal, meliputi kitab tauhid, fiqih, thoriqoh dan sebagainya. Ada juga peninggalan berupa palu pimpinan sidang. Peninggalan tersebut disimpan oleh keturunan Mbah Nur Kholifah di Trenggalek.Maka dapat dikatakan Pesantren Rejowinangun adalah pondok pesantren di Trenggalek yang kedua. Mbah Nur Kholifah mendirikan langgar. Selain itu, Mbah Nur Kholifah menjadi imam Masjid Agung kabupaten Trenggalek yang didirikan Bupati Sumotruno.Perkembangan Pondok pesantren Rejowinangun Trenggalek saat itu terus meningkat. Santrinya makin banyak sampai generasi ketiga di bawah asuhan cucu Mbah Nur Kholifah yang bernama Mbah K. Baghowi.Kemudian surut, mulai generasi kelima dan keenam tidak lagi sebagai pondok pesantren. Tetapi langgarnya masih terus bertahan sampai sekarang. Lalu, dibangun masjid yang dipelopori oleh K.H.A. Jalil Mustaqim, pengasuh pondok pesantren Pesantren Thoriqoh Agung (PETA), guru mursyid Thoriqoh Sadaliyah. Setiap bulan, masjid itu digunakan untuk amaian thoriqoh.
Zaman Pangeran Diponegoro
[caption id="attachment_46642" align=aligncenter width=750]
Lukisan Pangeran Diponegoro/Foto: Wikipedia[/caption]Pada tahun 1830, perang Diponegoro berakhir. Pangeran Diponegoro ditipu oleh Belanda. Ajakan Belanda untuk berunding ternyata hanya tipu muslihat saja. Akhirnya, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Sulawesi.Menurut K.H. Syafi'i Sulaiman Bangsongan Pagu Kediri, mantan anggota DPR-RI dan Ketua PW NU Jawa Timur, Pangeran Diponegoro masih sempat menantang Belanda sekalipun sudah ditangkap.K.H. Syafi'i Sulaiman menceritakan kalimat Pangeran Diponegoro yang ia ingat yaitu: "Sekarang saya ditangkap, tetapi tunggu 100 tahun lagi, akan bangkit anak cucu prajuritku dari timur".Kemudian, K.H. Syafi'i Sulaiman membenarkan kalimat Pangeran Diponegoro dengan berbagai peristiwa di Jawa Timur. Seperti pada tanggal 31 Januari 1926, belum genap 100 tahun di Surabaya, berdiri Nahdlatul Ulama (NU) yang menentang Belanda. Lalu di bidang politik serta dalam perang kemerdekaan lahirlah Laskar Sabilillah dan Hisbullah.Kalimat Pangeran Diponegoro saat ditangkap Belanda benar-benar menjadi kenyataan. Bukan saja puluhan, bahkan ratusan prajurit Pangeran Diponegoro kabur ke Jawa Timur. Terutama ke Trenggalek, tempat yang ideal dan sangat strategis untuk konsolidasi.Sejarah berulang bahwa wilayah Trenggalek sangat strategis sebagai tempat evakuasi dan konsolidasi. Seperti zaman Mpu Sendok 929, zaman Kerajaan Kediri 1194, zaman Sunan Paku Buwono II 1743, zaman akhir Perang Diponegoro 1830, kemudian dalam Perang Kemerdekaan 1945-1950.Prajurit Pangeran Diponegoro masuk Trenggalek lalu menyebar ke seluruh kecamatan dan desa. Masuk ke Trenggalek ada yang dengan terang-terangan, tetapi sebagian besar secara sembunyi-sembunyi dan menyamar.Para prajurit Diponegoro mendirikan pondok pesantren pedalaman, masjid, dan langgar sesuai dengan kemampuan ilmu agama Islam masing-masing. Mereka non-kooperasi (tidak mau bekerjasama) dengan pihak luar.Kepada anak cucu dan santrinya, para prajurit Diponegoro berterus terang dan berwasiat untuk selalu menentang Belanda. Benar-benar ditanamkan rasa anti Belanda dan anti penjajah.Bahkan jangan sampai santri Prajurit Diponegoro berpakaian seperti Belanda, seperti bercelana dan berdasi. Waktu itu, difatwakan berpakaian seperti Belanda hukumnya adalah haram, sebab menyerupai orang kafir.Maka, berdirilah pondok pesantren dan masjid-masjid besar di seluruh Trenggalek, yang sebagian besar dipelopori oleh prajurit Pangeran Diponegoro atau keturunannya.Dalam hal ini, Abdul Hamid Wilis bersama Panitia Sejarah Trenggalek (PST) pernah mengadakan riset ke desa-desa dan mengadakan peninjauan. Ternyata benar, Prajurit Pangeran Diponegoro tersebar di seluruh wilayah Trenggalek.Para prajurit Diponegoro mempelopori berdirinya pondok pesantren, masjid, dan langgar. Selain itu, mereka menjadi pengajar aliran thoriqoh yang ada di Trenggalek, seperti Naqshobandiyah, Qodiriyyah, Sadaliyyah, dan Satariyyah.