KBRT – Celurit tua, serpihan bambu halus, dan rumah sederhana yang sudah berusia lebih dari empat dekade menjadi saksi perjalanan hidup Sawal (85), seorang kakek asal Dusun Nglaban, Desa Karanganyar, Kecamatan Gandusari, Trenggalek.
Tubuhnya yang renta membuat gerakan tangan Sawal tak lagi secepat dulu. Celurit yang digenggamnya kini hanya bisa menorehkan sayatan perlahan pada batang bambu yang hendak dijadikan bilah. Namun, di balik itu, tekadnya untuk tetap bekerja demi menyambung hidup bersama sang istri tak pernah pudar.
“Kadang dua hari atau tiga hari sekali, saya ke tempat produksi untuk bantu pembuatan sangkar. Kalau dulu ya bikin sendiri dan dijual sendiri,” ujar Sawal, matanya sesekali menerawang ke masa lalu.
Kini, pekerjaan yang ia jalani bukan lagi membuat sangkar dari awal, melainkan membantu menghaluskan bilah bambu untuk usaha anaknya yang masih tinggal satu dusun dengannya. Dari pekerjaan itu, ia bisa mendapat penghasilan kecil yang digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan harian.
“Ya dapat uang tidak pasti, kadang dikasih Rp 50.000, kadang Rp 100.000, berapapun saya terima karena beras untuk dimakan harus beli,” katanya lirih.
Daftar Isi [Show]
Masa Lalu dan Kenangan
Sawal masih ingat betul masa mudanya. Ia pernah menjajakan sangkar ayam buatannya dengan sepeda kayuh hingga ke Kecamatan Bandung atau Besuki, Tulungagung.
“Kalau muda, saya buat sendiri sangkar ayam. Kalau sudah terkumpul 10 lebih dan tidak ada yang mengambil dari rumah, saya jajakan pakai sepeda kayuh,” kenangnya.
Namun, usia tak bisa ditawar. Satu matanya kini rabun, kakinya pun tak lagi kuat menopang tubuh. Sawal menyebut dirinya sudah “buyuten” (renta). Meski begitu, ia pantang berpangku tangan.
“Saya tidak mau mengandalkan orang lain. Sembilan anak saya biar mengurus rumah tangganya sendiri. Kalau rindu ya kadang mereka ke sini bergantian,” ucapnya sambil menggosok bekas sayatan kecil di tangannya.
Istri dan Kehidupan Sehari-hari
Seperti dirinya, sang istri juga masih bekerja. Setiap pagi, setelah memasak dan berbincang singkat, istrinya berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju tempat pemilahan sampah di daerah Karang, Gandusari.
“Kalau ke sana itu lima kilo ya ada. Orang-orang dulu sudah biasa jalan jauh,” ujar Sawal sembari tersenyum.
Dalam sehari, Sawal bisa menghaluskan satu hingga dua batang bambu menjadi bilah untuk bahan sangkar. Dulu, ia bisa menghasilkan tiga kali lipat, tapi semua itu kini tinggal kenangan.
Profesi yang Mulai Ditinggalkan
Bagi warga Dusun Nglaban, menjadi buruh penghalus bambu bukan hal asing. Profesi itu telah turun-temurun membantu keluarga dalam produksi sangkar. Namun, seiring zaman, pekerjaan itu mulai ditinggalkan oleh generasi muda karena membutuhkan kesabaran dan ketelatenan tinggi.
Sawal, dengan celurit tuanya, tetap bertahan. Baginya, selama tangan dan tubuhnya masih bisa bergerak, ia akan terus bekerja. Bukan untuk mencari kemewahan, melainkan demi menjaga martabat dirinya sebagai kepala keluarga.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz