Kamis, 7 September 2023, pelataran Sanggar Tari Pawon ramai dengan bocah-bocah usia Sekolah Dasar (SD) yang memainkan barongan. Bunyi letupan begitu nyaring dari seorang bocah yang memainkan pecut di atas plester. Letupan pecut itu disambut aksi dari bocah lain yang menggunakan barong. Mereka adalah para murid dari Sanggar Tari Pawon tempat Hantin Malini Dwi Tantri (28) mengajar tari. Tak begitu lama, anak-anak itu lari ke dalam sanggar setelah Tantri memanggil. Matahari sudah hampir terbenam. Suara adzan magrib mulai berkumandang. Bocah-bocah itu sudah ditunggu orang tuanya di pelataran sanggar. Setelah latihan tari sore itu selesai, mereka segera bergegas pulang. Kamis sore selalu menjadi awal sibuknya Tantri mengajar tari tradisional di Sanggar Tari Pawon. Sanggar tari yang berada di rumahnya, Desa Surodakan, Kecamatan Trenggalek, selalu diramaikan puluhan murid setiap hari Kamis sampai Minggu. Sanggar Tari Pawon memiliki kurang lebih 350 murid yang mengharuskan Tantri membagi jadwal latihan 4 hari dalam satu pekan. Sanggar Tari Pawon berdiri saat Tantri masih menjadi siswa kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia sudah belajar menari sejak kelas 2 SD. Bakat menari terus berkembang saat ia masih belajar di Sanggar Tari Joyo Anggodo milik Mbah Narto. Setelah 7 tahun belajar, ia termotivasi untuk mendirikan sanggar sendiri di tahun 2010. "Belajar nari di sanggar [Joyo Anggodo] mulai kelas 2 SD sampai 2 SMP. Setelah itu terus mendirikan sanggar sendiri yang dilatih mulai anak-anak kecil, tetangga-tetangga," kata perempuan kelahiran 1995 itu. Awal Sanggar Tari Pawon berdiri, Tantri hanya melatih beberapa anak kecil di sekitar rumah. Tantri terus mengajak tetangga-tetangganya untuk berlatih menari. Ia menceritakan asal mula sanggar ini berdiri tidaklah mudah. Persaingan antar sanggar tari di Trenggalek menjadi tantangan baginya untuk mendirikan Sanggar Tari Pawon. Proses yang begitu panjang membuat Tantri harus bersabar sebelum memiliki ratusan murid seperti sekarang. "Prosesnya lama. Untuk sampai memiliki ratusan murid seperti ini prosesnya tidak mudah. Soalnya, di sini [Trenggalek] persaingan untuk sanggar kan ketat. Tapi alhamdulillah sekarang [Sanggar Tari Pawon] peminatnya banyak," cerita Tantri. Dalam perjuangannya mendirikan sanggar, Tantri tak sendirian. Ia memiliki keluarga yang sangat suportif. Hanarko (61), ayah dari Tantri sekaligus pembina juga berperan penting di balik suksesnya Sanggar Tari Pawon. Hanarko juga menceritakan, Sanggar Tari Pawon telah mengajarkan berbagai ragam tari tradisional. Mulai tari tradisional populer seperti jaipong, remo, gandrung, dan banyak lainnya. Bahkan beberapa tari kreasi asli milik Sanggar Tari Pawon menjadi salah satu tarian yang terbilang populer di Trenggalek. "Sanggar Tari Pawon memang sengaja membuat tari-tarian produk Sanggar Tari Pawon sendiri di samping tari-tari etnis yang sudah populer. Jadi 80% [tari yang diajarkan] adalah hasil karya dari Sanggar Tari Pawon," ujar lelaki yang akrab dipanggil Mbah Koko. Sanggar Tari Pawon semakin eksis setelah sering diundang dalam berbagai gelaran acara kesenian daerah maupun nasional. Mereka kerap digandeng Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Trenggalek untuk menyambut tamu-tamu Pemerintah Kabupaten. "Biasanya ya untuk acara penyambutan [tamu pemerintah kabupaten], pengenalan produk karya Trenggalek. Itu biasanya kalau ada tamu-tamu dari luar kota yang dipanggil Sanggar Tari Pawon," kata Mbah Koko.
[caption id="attachment_42865" align=aligncenter width=1280] Murid-murid Sanggar Tari Pawon Trenggalek/Foto: Sanggar Tari Pawon[/caption]Sore itu, rumah Tantri kembali sepi setelah matahari benar-benar terlelap di ujung barat. Jika tadinya ia menjadi ibu dari ratusan murid Sanggar Tari Pawon, sekarang ia lebih meluangkan waktu untuk satu buah hatinya. Menjadi ibu dari 350 murid ditambah 1 buah hati memperlihatkan betapa sabarnya seorang pelatih tari. Begitu juga dengan Mbah Koko, menjadi seorang bapak, pembina, sekaligus sosok ide garap di balik tari-tari kreasi milik Sanggar Tari Pawon. Usianya yang berkepala enam, tak membuat surut untuk melestarikan budaya asli Trenggalek. Berbagai kreasi tari telah lahir dari rahim Sanggar Tari Pawon. Dinamika kultural masyarakat Trenggalek menjadi inspirasi utama lahirnya kreasi-kreasi tari sanggar itu. Mbah Koko dan Tantri cukup jeli memperhatikan kondisi sekitar. Kemudian mereka membungkus lokalitas budaya menjadi sebuah gerakan tari yang apik. Beberapa bulan lalu, dalam rangka Hari Tari Internasional (29/4), Sanggar Tari Pawon telah diundang turut meramaikan acara bertajuk 24 Jam Menari ISI Solo. Di acara itulah Sanggar Tari Pawon sekaligus memperkenalkan tari kreasi baru bernama Wuwu Cumbu yang dimainkan oleh 38 penari. Secara filosofis, tarian ini menggambarkan keseharian masyarakat Trenggalek terlebih di daerah pesisir. Para penari tampil menggunakan baju merah, beberapa lainnya berbaju hitam. Di tangan Mbah Koko, para penari itu memegang sebuah perangkap ikan tradisional bernama wuwu. Ada hiasan besek ikan di kepala para penari. Seolah-olah penari memperlihatkan kehidupan nelayan di pesisir.
[caption id="attachment_42866" align=aligncenter width=1280] Para penari perempuan di Sanggar Tari Pawon Trenggalek/Foto: Sanggar Tari Pawon[/caption]Selain Wuwu Cumbu, satu tarian milik Sanggar Tari Pawon yang terkenal adalah Trenggalek Jati. Sebuah tarian yang terinspirasi dari beragam gerakan tarian jaranan mulai dari Jathilan, Sentherewe, Pegon, sampai Turonggo Yakso khas Trenggalek. Mbah Koko menceritakan, Trenggalek Jati sebenarnya ingin menampilkan sebuah pesan ekspresi pemuda-pemuda yang belajar tentang kepahlawanan. Gerak-gerak yang energik– peralihan musik beraroma jaranan membawa suasana semangat bagi para penarinya. "Ekspresi dari pemuda-pemuda yang gladi tentang kepahlawanan. Kepahlawanan dengan ekspresi gerak-gerak yang energik," kata Mbah Koko. Menariknya, sekarang Trenggalek Jati hampir dimainkan seluruh sanggar tari di Trenggalek. Tantri menceritakan, banyak sanggar maupun sekolah yang meminta izin untuk menampilkan tari kreasi yang rilis 2022 itu. "Semua sanggar menarikan itu [Trenggalek Jati]. Booming. Ada yang belajar dari Youtube. Terus gurunya ngajarin juga dari Youtube. Tapi setiap sanggar itu pasti izin," terang Tantri. Bagi sebuah sanggar tari, 13 tahun bukanlah usia kemarin sore. Tentu berbagai tantangan telah dilewati Sanggar Tari Pawon untuk sampai di titik ini.
[caption id="attachment_42867" align=aligncenter width=1280] Penari Sanggar Tari Pawon di Bendungan Tugu Trenggalek/Foto: Sanggar Tari Pawon[/caption]Melatih ratusan murid sanggar memang membutuhkan kesabaran. Tak jarang Tantri menemukan muridnya yang jenuh ketika latihan. Terlebih jika materi yang diajar cukup sulit. Di saat seperti itu, Tantri merasa perlu untuk pandai-pandai memilih tarian. "Saya harus pinter-pinter milih tarian. Kalau saya memilih tarian harus sesuai kemampuan anak-anak," Mbah Koko melihat tantangan dari sudut berbeda. Beliau menilai jika generasi muda sekarang mulai tak memperdulikan seni tradisional. Untuk itu, beliau menilai perlunya usaha untuk terus mempromosikan kesenian-kesenian tradisional. Salah satu strategi yang digunakan Sanggar Tari Pawon adalah terus mengenalkan beragam tari-tarian melalui YouTube. Tekad dan semangat Tantri untuk terus melestarikan budaya berbanding lurus dengan semangat dan antusiasme para muridnya. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Tantri mempertahankan apa yang telah ia bangun. Mbah Koko pun tak jauh beda. Menurutnya, sebagai generasi bangsa harus memiliki kepedulian terhadap kesenian-kesenian tradisional. Bahkan, bagi Sanggar Tari Pawon hal tersebut bukan lagi kepedulian tapi sudah seharusnya kewajiban yang tertanam dalam hati. "Bukan kepedulian lagi, itu sudah harus menjadi kewajiban kita. Sebagai tanggung jawab kita untuk melestarikan budaya sudah tertanam dan terpatri," tutup Mbah Koko malam itu.