KBRT – Wayang dikenal sebagai kesenian khas Jawa yang sering dipentaskan dalam berbagai acara. Pagelaran wayang biasanya mengangkat kisah Ramayana atau Mahabharata, menggunakan wayang kulit yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau. Pembuatan wayang ini membutuhkan keterampilan khusus yang tidak banyak dimiliki oleh masyarakat awam.
Sumiran (78), warga Dusun Brongkah, Desa Kedunglurah, merupakan salah satu pengrajin wayang kulit yang masih bertahan di Trenggalek.
“Saya sudah menekuni pembuatan wayang kulit sejak tahun 1967, dua tahun setelah peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok),” jelas Sumiran.
Keahliannya dalam membuat wayang kulit diperoleh dari ayahnya di Solo. Menurutnya, keterampilan ini diwariskan secara turun-temurun dalam keluarganya.
“Sayangnya, saya tidak bisa mendalang karena sejak kecil disuruh fokus pada pembuatan wayang kulit,” ujarnya.
Sumiran, pria kelahiran Solo tahun 1947, mengaku bahwa di usianya yang tidak lagi muda, ia hanya mampu mengerjakan dua hingga tiga wayang dalam sebulan.
“Saat ini, masyarakat lebih menyukai wayang sebagai hiasan dinding yang terbuat dari kulit kambing. Selain harganya lebih murah, ukurannya yang lebih besar juga menjadi daya tarik tersendiri,” ungkapnya.

Peminat wayang kulit, baik untuk hiasan maupun yang asli, tetap stabil sepanjang tahun, terutama saat Lebaran. Banyak warga dari luar Trenggalek yang menyempatkan diri mampir ke rumah Sumiran, yang terletak sekitar 200 meter di selatan lampu lalu lintas Kedunglurah.
“Hiasan dinding wayang kulit biasanya saya jual mulai Rp500.000 hingga Rp1.000.000, tergantung ukuran dan karakter yang dipesan,” paparnya.
Sementara itu, wayang kulit asli hanya dibuat berdasarkan pesanan karena proses pengerjaannya yang lama. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp750.000 hingga jutaan rupiah per wayang.
“Wayang kulit asli menggunakan kulit sapi atau kerbau yang lebih keras daripada kulit kambing. Penggambaran karakter juga harus dilakukan di kedua sisi wayang, sehingga pengerjaannya bisa memakan waktu dua hingga tiga minggu,” jelasnya.
Menurut Sumiran, kebanyakan pembeli wayang asli adalah masyarakat yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang dunia perwayangan, tetapi tertarik mengoleksi sebagai pajangan. Hal yang sama juga berlaku untuk wayang hiasan.
“Walaupun banyak yang membeli hanya untuk pajangan dan tidak memahami tradisi perwayangan, saya tetap bangga bisa mengenalkan wayang kulit kepada masyarakat,” tandasnya.
Saat ini, Sumiran tidak memiliki koleksi wayang kulit asli, hanya beberapa wayang hiasan, gantungan kunci, dan puluhan lembar kulit kambing siap lukis.
“Setiap kali saya membuat wayang kulit asli, selalu ada yang langsung membelinya. Selain itu, modal pembuatannya yang tidak murah juga menjadi kendala dalam produksi,” ungkapnya.
Satu lembar kulit sapi atau kerbau bisa berharga Rp300.000 atau lebih, tergantung berat dan ketebalannya. Sumiran memiliki dua lembar kulit sapi di rumahnya yang belum diolah menjadi wayang.
“Tantangan utama dalam menyimpan kulit ini adalah serangan hama seperti kutu yang muncul saat kulit lembap. Jika musim hujan tiba, saya khawatir tidak bisa menjemur kulit dan akhirnya rusak dimakan hama,” pungkasnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz