Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Sanggar Seni Omah Ndhuwur Surabaya: Kekeluargaan Tanpa Membedakan Agamamu Apa

Reportase oleh: Sayyid Qutub Nabillah*

Seorang lelaki berambut gondrong duduk di sudut teras rumah. Namanya Abdullah, kerap disapa Abdoel Semute. Ia pendiri Sanggar Seni Omah Ndhuwur, sebuah tempat pelatihan tari remo, teater, kelas kecil, dan kelas aksara. Sanggar itu terletak di Jalan Dupak Bangunrejo, Surabaya.

Abdoel Semute merupakan lelaki berusia 48 tahun. Ia berasal dari keluarga yang mencintai seni dan budaya Jawa, termasuk wayang, ketoprak, ludruk, dan segala ritual terkait.

“Sejak dari kecil dengan latar belakang orang desa, anak petani yang ingin menjaga tradisi warisan leluhur,” ucap Abdoel Semute, Minggu (01/10/2023).

Sejak 1994, Abdoel Semute terlibat dalam teater. Memasuki tahun 2000, ia mendirikan kelompok komik independen bernama ORET 101 KOMIK. Lelaki itu mendirikan kolektif Milisi Fotokopi yang fokus pada seni rupa dan bekerja sama dengan kampung di Surabaya.

Saat ini, Abdoel Semute peduli terhadap pelestarian kearifan lokal dan tradisi di perkampungan Surabaya. Ia membentuk komunitas PENDAKI yang mengajarkan seni tradisi ludruk dan tari remo di sekitaran jalan Dupak Bangunsari, sebelum bertempat tinggal di Bangunrejo.

Sanggar Seni Omah Ndhuwur sudah muncul sejak 2014. Awalnya, sanggar ini bernama Paseduluran Djati Djoyodiningrat, sebuah komunitas yang fokus pada pelestarian tradisi leluhur seperti ruwatan, selamatan, tirakatan, dan lain-lain.

“Lalu, namanya ganti menjadi Sanggar Seni Omah Ndhuwur, itu bagian dari komunitas-komunitas yang bergerak di kebudayaan yang dinaungi oleh Paseduluran Djati,” tutur Abdoel Semute.

“Ada banyak komunitas yang dinaungi Paseduluran Djati, seperti Sanggar Omah Nduwur, Omah Banyu Urip, Petemon, dan menyebar di banyak lokasi di Surabaya,” imbuhnya.

Penggunaan nama “Omah Ndhuwur” merujuk pada letak Sanggar yang berada di lantai 2. Namun istilah itu juga berakar dari bahasa Jawa yang berarti "rumah tinggi" atau "rumah yang agung." Filosofi nama “Omah Ndhuwur” mencerminkan nilai-nilai tradisional dan budaya Jawa, serta penekanan pada kearifan lokal dan pelestarian warisan budaya.

“Meskipun kami bertempat tinggal di kampung pinggiran, akan tetapi kami mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia kepada anak-anak,” ucapnya Semute.

Tak Membedakan Agamamu Apa

[caption id="attachment_46166" align=aligncenter width=1280] Latihan tari di Sanggar Seni Omah Ndhuwur/Foto: Sayyid Qutub Nabillah[/caption]

Perjalanan Abdoel Semute saat bergerak di kampung penuh dengan gairah dan dedikasi. Abdoel Semute berusaha keras untuk menghidupkan kembali kecintaan akan kesenian tradisional di kalangan warga kampung.

Ia mulai dengan mengajar anak-anak setempat gerakan-gerakan dasar seni tari Remo. Lalu, mengumpulkan anak-anak di Sanggar Seni Omah Ndhuwur yang didirikannya sendiri.

Ketika merintis Sanggar Seni Omah Ndhuwur, Abdoel Semute tidak hanya menghadapi tantangan seni dan budaya. Ia juga menghadapi persoalan yang lebih mendalam, yaitu masalah keberagaman.

“Persoalan yang masih belum terselesaikan, seperti agama, ras, suku, dan budaya. Sehingga seperti kami [komunitas] yang notabenenya penghayat, di mata masyarakat dianggap sebagai aliran sesat,” ujar Semute.

Bagi Abdoel Semute seni bukan sekadar pertunjukan. Tapi, seni merupakan jembatan yang mempersatukan berbagai latar belakang budaya, ras, suku, hingga agama yang ada di kampungnya. Ia memahami bahwa seni dan budaya memiliki kekuatan untuk menghubungkan, menginspirasi, dan mempererat ikatan antara manusia.

Dengan pemahaman itu, Abdoel Semute tidak hanya mengajarkan seni tari Remo dan kesenian tradisional kepada warga kampungnya. Seni juga digunakan sebagai wadah untuk membangun persatuan dan kebersamaan.

“Kami membuat gerakan untuk membangun kesadaran kemanusiaan lewat kebudayaan, tidak membedakan agamamu apa?” katanya.

Abdoel Semute menegaskan, nilai-nilai yang diusung Sanggar Seni Omah Ndhuwur yaitu membentuk kesadaran kepada masyarakat, agar peka terhadap sosial, saling toleransi, unggah-ungguh (sopan santun), dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

Melalui pertunjukan seni dan kegiatan-kegiatan budaya yang diorganisirnya, Abdoel Semute berhasil menciptakan ruang bagi masyarakat kampung untuk saling berinteraksi, berkolaborasi, dan memahami nilai-nilai budaya yang mereka bagikan.

Seringkali, Abdoel Semute mengarahkan pesan-pesan kemanusiaan dalam karya-karya seni yang dibuat bersama komunitasnya, mengangkat isu-isu seperti perdamaian, persatuan, hingga toleransi.

Menurutnya, Sanggar Seni Omah Ndhuwur tidak hanya tempat belajar menari, tetapi juga sebagai tempat berkumpul dan bermain bagi para muridnya. Mereka juga memiliki kesempatan untuk memahami latar belakang sejarah, makna simbolik, dan peran tari remo dalam kebudayaan lokal.

“Tari yang diusung oleh kami adalah sebagai identitas kebudayaan lokalitas di Surabaya,” tegasnya.

Setiap peringatan Hari Tari Sedunia dan Hari Anak, keluarga besar Sanggar Seni Omah Nduwur sowan kepada keluarga Cak Munali Fatah (almarhum) untuk berterima kasih dan tabur bunga. Cak Munali Fatah merupakan seniman tari remo yang terkenal dan wafat di Sidoarjo.

“Agar teman-teman, siswa, dan anak-anak bisa mengetahui bahwa dibalik gerakan tari remo ada sosok yang menciptakan dan mengkreasikan,” katanya.

Minggu pagi selalu menjadi aktivitas rutin bagi Semute dan para pelatih tari Remo. Suara riuh puluhan siswa yang berkumpul untuk berlatih tari Remo di Sanggar Seni Omah Ndhuwur. Senyum-senyum kecil dan tawa lembut mewarnainya, mereka penuh dengan antusiasme.

Mila, salah satu pelatih tari Remo mengatakan alasannya betah dan nyaman di Sanggar Seni Omah Ndhuwur dikarenakan rasa kekeluargaannya yang begitu erat.

“Di sini [enak] kekeluargaan antar teman, tidak ada senioritas,” kata perempuan itu.

*Sayyid Qutub Nabillah merupakan pegiat pers mahasiswa di Surabaya.