Filosofi Budaya Masyarakat Agraris
[caption id="attachment_44459" align=aligncenter width=1280] Para penabuh tari Gandhong di desa Bangun/Foto: PS media (YouTube)[/caption]Saat memasuki wilayah Desa Bangun, hamparan padi menghijau dari ujung barat hingga timur. Rangkaian pegunungan yang masih hijau mengepung desa yang berada di sebelah timur Kecamatan Munjungan ini.Saini yang sehari-hari bekerja sebagai petani mengatakan, sejak dulu, masyarakat Dukuh Lancur memang mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka menggantungkan hidup dari hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, kopi, dan juga hasil perkebunan. Keseharian masyarakat agraris Dukuh Lancur terabadikan dalam setiap lekuk gerakan tari gandhong lengkap dengan pakaian keseharian yang sederhana.Dalam penampilannya, tari gandhong terbagi menjadi empat babak tarian yang masing-masing memiliki alur cerita tertentu. Setiap babak, tari gandhong dimainkan sekitar 4-6 orang. Tarian ini menggunakan kentongan sebagai alat instrumen utama yang menyimbolkan fungsi kentongan sebagai pengusir hama dan tanda berkumpulnya petani. Tari gandhong juga diiringi dengan instrumen gamelan dan tembang-tembang Jawa.“Tari itu sebenarnya diciptakan itu untuk kegiatan petani pada masa itu. Tentang gerak-gerik tari gandhong itu memang gerak-geriknya seorang petani yang membuka lahan pertanian. Dimulai dari sarak [memetak lahan], terus membuka pertanian, menanam, memelihara, sampek menjaga dari hama celeng. Sehingga diciptakan tari itu ada empat babak,” ucap Saini menjelaskan masing-masing babak dengan singkat.Babak pertama dibuka dengan tari Sarak yang menggambarkan proses petani saat melakukan pemetakan lahan untuk membuka sawah. Para penampil menggunakan kostum kombor (baju) hitam-hitam dan membawa pemukul kentongan. Mereka berjalan melenggak-lenggok memutari kentongan berwarna merah putih yang berada di tengah-tengah.Setelah babak pertama selesai, para penari berganti peran untuk babak selanjutnya. Babak yang kedua adalah tari Tani Makaryo. Babak kedua ini memperagakan para petani yang mulai menanam di sawah. Para penari menggunakan capil, udeng, dan sabuk yang khas sebagai pakaian petani Dukuh Lancur saat mulai bercocok tanam.Di babak yang ketiga, para penari akan memperagakan seolah-olah babi hutan yang masuk dan merusak tanaman petani. Tarian ini dinamakan tari Hama Celeng. Para penari Hama Celeng dirias wajahnya mirip celeng. Begitu pun geraknya, penari berjalan merangkak seperti hewan berkaki empat dan kepalanya melirik kanan kiri mengawasi datangnya manusia.Babak ketiga kemudian bersambung dengan babak terakhir yaitu tari Onggotruno atau pengusir hama. Di babak ke empat, penari memasuki area pentas dengan membawa pemukul, tombak bambu, dan kentongan untuk mengusir babi hutan. Di babak penutup ini, terkadang ada adegan bela diri ketika manusia melawan babi hutan."Gerakan tadi menggambarkan seorang petani yang membabat hutan, mencangkul, menyiangi tanaman, menjaga keamanan dari hama bahkan mengusir. Bahkan gerakan-gerakan itu masih benar-benar asri lokal dulu," katanya.Ia menambahkan, alat-alat properti yang digunakan dalam tari gandhong juga masih relevan digunakan sampai sekarang oleh masyarakat pedesaan. Tarian ini juga sebagai pengingat tentang kehidupan masyarakat agraris dalam prosesnya membuka lahan."Terkait filosofi yang ada di tari gandhong semuanya mengandung makna kebutuhan di era-era masa diciptakan. Dan tidak terduga, sampai sekarang masih digunakan di masyarakat desa," tambahnyaTergerus Perkembangan Zaman
[caption id="attachment_44458" align=aligncenter width=1280] Saini, ketua Paguyuban Tari Gandhong Pakaryan Tani Margo Rukun/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)[/caption]Malam itu Saini bercerita, sebenarnya ia cukup prihatin jika melihat kondisi tari gandhong sekarang. Seiring waktu berjalan, tari gandhong pun turut tergerus perkembangan zaman. Saini mengatakan jika cukup sulit untuk mencari regenerasi pelestari.Tahun 2013 menjadi tahun terakhir bagi Paguyuban Tari Tani Pakaryan Margo Rukun melakukan reorganisasi pelestari. Saat ini, setelah sepuluh tahun berlalu, paguyuban ini belum kembali melakukan reorganisasi. Hal itu dikarenakan sulitnya mencari generasi muda yang minat untuk turut melestarikan kesenian ini.Meskipun kenyataannya tari gandhong masih sering ditampilkan di kegiatan-kegiatan sekolah seperti perpisahan. Saini juga mengatakan anak-anak usia SD-SMP sebenarnya juga banyak yang mementaskan tari gandhong melalui kaset. Artinya, tari gandong sebenarnya masih diminati di luar Desa Bangun. Hanya saja untuk menjadi pelestari masih sulit ditemui.“Memang gini, untuk generasi itu sulit karena hanya semacam pelestari yang melestarikan peninggalan mbah dulu. Tergerusnya zaman yang sudah maju sehingga minat dari generasi itu kurang atau bahkan tidak ada kalau tidak benar-benar digembleng diajak gitu,” jelas Saini.Menurut Saini, minat generasi muda untuk melestarikan juga dipengaruhi dengan turunnya minat masyarakat untuk mengundang tanggapan. Kesenian yang digerakkan secara berkelompok tentu membutuhkan banyak biaya, waktu, dan pikiran. Saini menyadari itu sebagai kendala bagi para pelaku kelompok kesenian.“Seni yang sifatnya perkumpulan, itu kalau di desa, kalau katakan di desa sudah nggak laku, artinya tidak diminati tidak ditanggap orang, itu sudah bubar,” ucap Saini.Menyikapi hal ini, Saini tak terlalu banyak bersuara. Menurutnya, pemerintah bersama dinas terkait seharusnya bisa turut mendukung keberadaan para pelestari tari gandhong dengan cara mempromosikan."Mungkin ikut mempromosikan dan seterusnya bahwa tari gandhong itu betul-betul ada diciptakan desa Bangun," terangnya.Tetapi Saini hanya bisa pasrah. Ia dan rombongan pelestari tari Gandhong berkomitmen akan tetap meneruskan kesenian asli warisan nenek moyangnya. Seminimal mungkin ia mengusahakan tari gandhong tidak sampai mengalami kepunahan. Meski dalam perjalanannya ia mengaku terseok-seok.“Intinya gini dari rombongan itu tetep tari gandhong itu dilestarikan sebagai tari tradisi dari Desa Bangun. Itu syukur kalau diakui pemerintah. Paling nggak, setidaknya tidak terus vakum itu sebagai pengingat generasi seterusnya bahwa tari gandhong itu memang tradisi daerah sendiri. Jadi, meskipun terseok-seok, generasi ke generasi tetep ada yang melestarikan,” terangnya.Di akhir cerita, Saini berharap akan adanya generasi-generasi yang tergugah untuk turut melestarikan tari gandhong, terutama pemuda Desa Bangun. Sehingga, tari gandhong yang lahir dari Desa Bangun akan tetap lestari dan dikenal orang."Kami selaku pelestari ya dengan adanya gandhong itu tetap dilestarikan dari generasi ke generasi. Meskipun timbul tenggelam kami berusaha gandhong tetap ada meski digunakan pada saat-saat tertentu," tandas Saini.Kabar Trenggalek - Feature