KBRT – Populasi sapi Nggalekan di Kabupaten Trenggalek tercatat mengalami penurunan dibandingkan tahun 2023. Berdasarkan data Kabar Trenggalek tahun tersebut, jumlah populasi mencapai 33 ekor. Pada tahun ini, total populasi turun menjadi 28 ekor.
Wendy Aziz, Pelaksana Tugas Kepala Bidang Pusat Pembibitan Ternak (Pusbitnak) Dinas Peternakan Trenggalek, menjelaskan bahwa pada tahun 2023 terdapat 30 ekor sapi Nggalekan murni dan 3 ekor sapi Peranakan Ongole (PO).
“Penurunan itu kemarin kita ada kecelakaan, yang satu masih kecil dikarenakan kondisi kandang dia lepas masuk palungan tempat pembuangan kotoran, yang kedua ketika malam hari tanpa diketahui pagi hari sapinya kendat (tercekik tali keluh),” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa dua kematian itu merupakan insiden di luar kemampuan pengawasan Pusbitnak.
Meski demikian, Wendy menyampaikan bahwa perkembangan populasi tiap tahun tetap terjadi karena adanya kelahiran dan kehamilan. Namun, kematian dua ekor sapi membuat jumlah populasi saat ini turun dibandingkan tahun 2023. Pada tahun 2024, tercatat terdapat empat kelahiran.
“Sekarang ada bunting 2 ekor betina besar, setelah bunting 5 bulan kita liarkan supaya jadi sehat ada olahraga atau exercise-nya,” katanya.
Saat ini, UPT Pusbitnak memelihara 27 ekor sapi Nggalekan, sementara satu ekor lainnya berada di Agro Park. Total keseluruhan 28 ekor tersebut terdiri dari 18 betina dan 10 pejantan. Dari jumlah betina, 10 ekor telah dikawinkan, tetapi belum dapat diperiksa kehamilannya.
Wendy menjelaskan bahwa proses perkawinan telah menggunakan metode inseminasi buatan (IB) dengan sperma pejantan Nggalekan yang tersedia di Pusbitnak.
“Setelah sapi 3 bulan kawin dan tidak menunjukkan gejala birahi atau minta kawin, itu nanti kami akan melakukan pemeriksaan kebuntingan apakah berhasil atau tidak,” tuturnya.
Jika hasil pemeriksaan menunjukkan kegagalan kebuntingan, sapi tetap dipelihara sesuai prosedur perawatan sapi bunting. Setelah itu, dilakukan evaluasi mulai dari kondisi organ reproduksi hingga faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kebuntingan.
Menurut Wendy, beberapa tahun terakhir sapi Nggalekan, baik yang dimiliki Pusbitnak maupun masyarakat, memang lebih sulit untuk bunting. Penyebab pastinya hingga kini belum diketahui.
Dalam laporan Kabar Trenggalek sebelumnya, sapi khas Trenggalek ini dahulu banyak diternakkan warga Kecamatan Panggul dan memperoleh Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian pada 2012. Pada 2014, Dinas Peternakan mulai melakukan konservasi karena masyarakat semakin enggan memelihara sapi tersebut yang berukuran lebih kecil dibanding sapi lokal lain.
Sementara itu, Roy Rusino, Pengadministrasi Sekretariat Dinas Peternakan Trenggalek, menambahkan bahwa sapi Galekan telah ditetapkan sebagai galur sapi lokal berciri genetika khas pada 2020 melalui Kepmen Pertanian Nomor 617/KPTS/PK.020/M/09/2020.
“Kalau ceritanya tahun 70 atau 80-an itu masih banyak ditemukan di masyarakat, beda dengan sekarang,” katanya.
Pernyataan itu dibenarkan Wendy. Menurutnya, populasi sapi Nggalekan di masyarakat kini sudah tidak ada karena statusnya dilindungi dan tidak boleh dikomersialkan.
“Sekarang sudah tidak ada lagi sapi Nggalekan di masyarakat. Karena sudah ditetapkan di SK Kementerian sapi ini dilindungi, tak boleh dikomersialkan,” kata Wendy.
Sekitar dua minggu lalu, satu pejantan tua sapi Nggalekan mengalami gejala Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Setelah mendapat perawatan Puskeswan, kondisi sapi tersebut kini telah membaik.
“Sudah sah muncul gejala PMK, yaitu mulutnya mulai mengeluarkan lendir, nafsu makannya berkurang karena mulutnya sakit. Sapi itu bernama Po, ukurannya terbesar daripada yang lain,” katanya.
UPT Pusbitnak berkomitmen mempertahankan keberlangsungan sapi khas Trenggalek tersebut melalui pemenuhan gizi, perawatan harian, dan pengelolaan kesehatan.
“Kita upayakan sebaik mungkin apa yang kita mampu, pemenuhan gizi, perawatan harian, kita upayakan ke depan semakin meningkatkan populasi, kalau mentarget perkembangan populasi tidak berani,” kata dia.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor: Zamz















