Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

(Perubahan) Kurikulum untuk Siapa?

Senada dengan Herakleitos (540 - 480 SM), filsuf Yunani yang mengatakan, panta rhei kai uden menei, saya sepakat perubahan adalah keniscayaan. Segala sesuatu mengalir dan tidak ada yang tetap. Dalam konteks itu, Herakleitos mungkin melamun sambil melihat sungai di Efesus mengalir deras. Mustahil menjejakkan kaki di permukaan sungai yang sama. Semua terus bergerak. Berganti tiap detik, tiap waktu. Herakleitos tidak sedang berbicara dalam ruang indrawi tentang teorema fisika semata. Air pasti mengalir karena alasan ini dan itu. Melainkan sistem holistik tentang spiritualitas juga tataran kosmik.

Masalahnya, adagium itu acapkali menjadi dalih bahwa berubah itu keharusan. Wajib. Tanpa perlu didasari tolok ukur empiris yang masuk akal. Berubah ya berubah saja. Asal beda.

Paradigma itulah yang bisa membuat lebih dari 3,3 juta guru di negeri ini berwalang hati. Ketika rezim berganti per 20 Oktober 2024 ini, sistem pendidikan beserta turunannya biasanya ikut berubah. Ganti presiden atau menteri, ganti pula kurikulumnya.

Meski faktanya, mengubah Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) relatif tidak gampang karena membutuhkan persetujuan DPR, namun kecemasan semacam itu cukup berdasar. Mengingat perubahan kurikulum tak serumit itu. Hanya perlu peraturan menteri (permen). Tinggal buat, dok! Jadi.

Dimensi Elite

Sejak kurikulum pertama bertajuk Rentjana Pelajaran (Leer Plan) 1947, terdapat 10 kali perubahan yang dilakukan. Dari perubahan kurikulum tahun 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai) dan 1964 (Rentjana Pendidikan Terurai) di masa Orde Lama. Juga empat kali di zaman Orde Baru, yakni tahun 1968 (Kurikulum Bulat), 1975 (Kurikulum Instruksional), 1984 (Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif), dan 1994 (K-94). Serta setelah zaman Reformasi yaitu dimulai tahun 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), 2013 (K-13), dan yang terbaru yakni perubahan tahun 2022 (Kurikulum Merdeka).

Spirit perubahan tiap kurikulum itu mulia. Menanamkan patriotisme, jiwa nasionalisme, pengembangan pedagogi, kompetensi guru serta murid, dan lain sebagainya.  Tak terkecuali Kurikulum Merdeka (Kurmer) yang didasarkan Peraturan Mendikbudristek RI Nomor 12 Tahun 2024. Ada tiga prinsip utama dalam kurikulum ini, yakni prinsip 1) Pengembangan karakter,  2) Fleksibilitas, dan 3) Fokus pada muatan esensial. Dari prinsip tersebut kurikulum ini sangat berpihak kepada murid/peserta didik. Ada keleluasaan, jika tidak mau diibilang kemerdekaan, untuk belajar. Murid diharapkan bisa menjadi pribadi yang literat dan merdeka tapi memiliki karakter yang kuat. Konsep 5 M yakni memanusiakan hubungan, memahami konsep, membangun keberlanjutan, memilih tantangan, dan memberdayakan konteks, dikenalkan.

Sayangnya, periode perubahan kurikulum dari selepas kemerdekaan hingga sekarang seperti serampangan. Belum ada rumusan dan garis haluan yang jadi pegangan. Bahwa ya, kurikulum harusnya adaptif mengikuti perkembangan zaman tapi tanpa periodeisasi yang jelas, tahapan pengembangan pendidikan yang disusun dan menghabiskan banyak sumber daya sebelumnya akan sia-sia. Hal ini pula yang membuat virus ketakutan ganti kurikulum tiap ganti rezim masih menghantui.

Padahal, Kurikulum Merdeka yang seumur jagung harus diakui masih menyisakan miskonsepsi. Salah satu yang paling pokok adalah tentang kemerdekaan belajar itu sendiri. Muncul ungkapkan sedikit sarkastik, "dipaksa saja tidak belajar, apalagi dimerdekakan." Miskonsepsi yang cukup mengganggu. Apalagi belakangan hal ini ikut disuarakan oleh orang terdidik yang menganggap kemerdekaan justru mendegradasi karakter murid. Ironi.

Apa mereka lupa dengan kurikulum sebelum ini pun, skor Indonesia dalam Programme for International Student Assesment (PISA) terkait literasi membaca, matematika, dan sains berada di level bawah? Dalam ranking PISA 2022, meski sudah naik dibanding tahun-tahun sebelumnya, Indonesia masih menempati urutan 66 dari 81 negara. Apakah itu prestasi?

Makanya aneh jika dengan kondisi ini, para pelajar, murid, anak-anak kita, yang seharusnya bisa makin kreatif dan kritis harus dikungkung dalam hegemoni pendidikan lagi. Mereka yang seyogianya bisa merdeka belajar bakal khawatir akan dibelenggu. Katanya, penertiban atas nama standarisasi dan penyeragaman akan menjadikan karakter anak lebih beradab. Tidak awur-awuran. Begitukah?

Menjawab itu, saya tak mau banyak berkomentar. Apalagi Kurikulum Merdeka senantiasa masih perlu porsi dan waktu pembuktian. Untuk itu, saya hanya ingin menyitir perkataan Ki Hajar Dewantara yang tak pernah menegasikan perlunya  kemerdekaan dalam pendidikan. Katanya, 'melalui ngerti, ngrasa, lan nglakoni, budi pekerti yang dibentuk untuk merdeka dan mandiri akan menghadirkan adab.'

Bila perubahan kurikulum memang harus terjadi, senyampang itu diperlukan karena misalnya berubahnya nomenklatur kementerian, maka terjadilah. Hanya saja prinsip kemerdekaan pada murid, jangan sampai dihilangkan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah baru, Prof Dr Abdul Mu'ti harus menggodoknya masak-masak. Dibutuhkan studi komperensif dari pelbagai sudut pandang.

Meski siapapun yang ditunjuk Presiden Prabowo Subianto pasti kompeten dan cakap, namun mengingat kompleksitas dunia pendidikan, perlu adanya wadah pemikir (think thank) yang kuat dan berimbang. Bukan hanya para analis kritis yang menguliti serta mengkritisi kebijakan sebelumnya, melainkan juga para pemikir yang percaya bahwa kebijakan saat ini juga punya keunggulan dan dampak signifikan. Bukan hanya akademisi bergelar panjang dari kampus-kampus mentereng, tapi juga para pelaku pendidikan sebenarnya yang tahu medan. Bapak menteri perlu lebih banyak mendengar.

Jika dikerjakan, keseimbangan bakal terjaga. Keseimbangan yang menjadi bagian dari keberlannjutan itu sendiri. Sustainibilitas dari pembenahan ekosistem yang baru saja mendapat angin segar. Ekosistem yang positif dan optimistik dalam pendidikan. Makanya, pretensi asal ganti, asal beda, harus dibuang jauh-jauh. Kendati terlihat sepele, setitik perubahan di tingkat elite, akan menghadirkan pergolakan besar di bawahnya.

Dimensi Akar Rumput

Sebagai pelaksana lapangan, guru akan mengikuti apapun yang ditetapkan Pemerintah. Nurut saja. Pasti. Kalau saja protes, masih dalam batas wajar. Paling-paling rasan-rasan dengan teman seprofesinya atau mengeluh di sosial media. Namun apa isi benak dan hati jutaan guru jika saja kurikulum berganti begitu cepat? Cemas? Takut? Dari peristiwa yang sudah-sudah, yang paling dikhawatirkan adalah penerapan kegiatan belajar di kelas. Apalagi bila mencakup fokus pembelajaran seperti penjabaran tiap mata pelajaran (mapel), capaian/target, penilaian, hingga masalah teknis lainnya.

Dengan Kurikulum Merdeka, murid belajar sesuai kebutuhan di lingkungannya masing-masing. Mereka dituntut kreatif. Begitu pula gurunya. Guru mendapat keleluasaan untuk mengajar, diberi kebebasan tentang cara yang mereka gunakan, berikut rumusan capaiannya. Jika berganti lagi, jutaan guru bakal kelimpungan. Belum lagi urusan administrasi dan pelaporan yang biasanya ikut-ikutan berganti.

Di dunia yang serba digital, perubahan yang terjadi tak akan bergema di ruang hampa. Orang tua murid pasti akan tahu dan mempertanyakan seperti apa lingkungan belajar anaknya. Begitu pula murid-murid, Gen Z, Gen Alpha, mereka pasti gelisah karena akan terkena imbasnya secara langsung. Siapa yang menghadapi? Ya pasti guru-guru juga.

Potensi efek domino ini harus menjadi catatan. Mengingat pendidikan bukan ajang spekulasi atau coba-coba.. Apalagi selain kurikulum, masih banyak problematika pemerataan infrastruktur dan sarana prasarana pendidikan, lika-liku zonasi sekolah,  kesejahteraan guru, juga ancaman stunting.

Prioritas yang harus dijawab sedari dini adalah perubahan-perubahan itu, jika dilakukan, sebenarnya untuk siapa? Kalau saja ada yang masih mendewa-dewakan ego sektoral atau memikirkan keuntungan pribadi dan golongan, tolong pikirkan kepentingan yang lebih besar dan mendasar. Bukankah kita tidak akan hidup selamanya? Tunas-tunas baru bermunculan. Mereka butuh visi terbaik bagi masa depan. Era berubah. Zaman berganti. Perubahan harusnya menjawab tantangan itu. Hanya untuk mereka, untuk murid-murid kita. Aliran nadi yang akan terus mengalir dan berderap-derap memicu jantung pembangunan bangsa.

Tapi, apa iya harus berubah? (*)

*) Devy M. Ystykomah adalah Wakil Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN)