KBRT - Di tengah kepedihan ribuan anggota KSPPS Madani yang terkatung-katung tanpa kepastian atas simpanan mereka, sebuah tindakan hukum justru mengoyak akal sehat: seorang pengacara resmi koperasi diduga melaporkan anggota ke kepolisian, hanya karena mengungkapkan kekecewaan.
Siapa yang dilaporkan? Bukan penipu. Bukan perampok dana anggota. Tapi justru para korban kebijakan koperasi sendiri.
Dan siapa pelapornya? Bukan pihak eksternal. Tapi kuasa hukum resmi koperasi — orang yang semestinya menjunjung tinggi keadilan dan integritas, kini justru diduga menjadi instrumen represi.
Daftar Isi [Show]
Ini Bukan Sekadar Laporan — Ini Serangan terhadap Rakyat
Tindakan ini bukan insiden biasa. Ini bentuk kekerasan struktural berbasis hukum. Pengacara yang seharusnya menjembatani keadilan kini berubah menjadi alat kekuasaan untuk membungkam suara rakyat.
Dalihnya "pencemaran nama baik." Sasarannya: anggota koperasi yang mengkritik janji-janji kosong pengurus.
Fakta-fakta yang tidak bisa diabaikan:
- Pengacara tersebut adalah corporate lawyer KSPPS Madani, dibayar dari dana koperasi yang bersumber dari iuran dan simpanan anggota.
- Anggota yang dilaporkan adalah korban—bukan pelaku kejahatan—yang suaranya muncul karena frustasi atas ketidakjelasan pencairan simpanan.
- Kritik yang dilontarkan adalah bentuk ekspresi konstitusional warga negara—bukan serangan personal.
Maka pertanyaannya: siapa yang sebenarnya dibela oleh pengacara itu? Koperasi, atau kekuasaan elite pengurusnya?
Etika Dilanggar, Keadilan Dipijak
Peran pengacara dalam konteks ini jelas masuk ke dalam zona conflict of interest yang parah. Dalam Kode Etik Advokat Indonesia, tindakan semacam ini bukan hanya tidak etis, tapi juga melanggar terang-terangan:
- Pasal 3 huruf f: Advokat wajib menolak perkara yang bertentangan dengan kepentingan kliennya.
- Pasal 4: Advokat dilarang mewakili dua pihak yang saling berkonflik kepentingan.
- Pasal 6: Advokat harus jujur dan menjunjung tinggi etika profesi.
Ketika pengacara yang mewakili institusi koperasi justru melaporkan anggota koperasi sendiri—mereka yang semestinya dilindungi hak dan kepentingannya—maka itu bukan sekadar pelanggaran kode etik, tapi juga pengkhianatan terhadap nilai keadilan.
Saat Hukum Menjadi Senjata Kekuasaan
Fenomena ini menggambarkan transformasi hukum menjadi alat pembungkaman. Ketika kritik dianggap kejahatan, ketika jeritan anggota diposisikan sebagai ancaman, dan ketika aparat hukum digunakan untuk melindungi wajah pengurus, maka kita sedang menyaksikan kerusakan institusional yang akut.
Pengacara semacam ini tidak sedang menegakkan hukum. Ia memperalat hukum untuk melindungi jabatan, mengintimidasi warga, dan menciptakan ketakutan.
Kami Tidak Akan Diam
Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menjunjung prinsip keadilan dan transparansi, kami menolak keras kriminalisasi terhadap anggota koperasi yang menyuarakan haknya.
Kami mendesak:
- Dewan Kehormatan Organisasi Advokat untuk segera memeriksa dan menjatuhkan sanksi tegas atas dugaan pelanggaran etik oleh pengacara yang terlibat.
- Kementerian Koperasi dan Dinas Koperasi untuk menegur keras koperasi yang membiarkan praktik penyalahgunaan posisi hukum dalam konflik internal.
- KSPPS Madani agar menghentikan semua bentuk pelaporan pidana terhadap anggota, dan memilih jalan musyawarah sebagaimana semangat koperasi itu sendiri.
Ini Bukan Sekadar Soal Hukum—Ini Soal Keberpihakan
Kita sedang berhadapan dengan realitas menyakitkan: hukum bisa dibeli. Keadilan bisa dibungkam. Dan rakyat bisa dijadikan target hanya karena bersuara.
Jika pasal-pasal pidana dipakai untuk membungkam korban, maka sejarah akan mencatat: hukum telah gagal menjadi pilar keadilan dan malah menjadi topeng kekuasaan.
Kami akan terus bersuara. Karena yang kami lawan bukan sekadar laporan polisi. Tapi upaya sistematis membungkam kebenaran dan memutihkan kekuasaan yang korup.
Kabar Trenggalek - Opini
Editor:Tim Redaksi