KBRT - Fenomena acara lari massal seperti marathon, fun run, atau trail running telah menjadi bagian tak terpisahkan dari trend gaya hidup sehat masyarakat Indonesia. Seiring dengan itu, hadir pula para fotografer jalanan-street photographers yang mengabadikan momen, baik untuk ekspresi kesenian, portofolio, maupun untuk tujuan komersial (menjual foto kepada para pelari).
Pada pandangan pertama, aktivitas ini tampak lumrah. Dalih yang sering digunakan adalah "ini di ruang publik," di mana ekspektasi terhadap privasi dianggap rendah. Namun, dalih "ruang publik" adalah argumen yang tidak kokoh akibat cara pandang yang keliru dalam menyederhanakan persoalan.
Secara kritis, praktik ini menempatkan dua hak konstitusional dalam posisi yang saling berhadapan: Hak atas Kebebasan Berekspresi dan Informasi (Pasal 28E dan 28F UUD 1945) yang dipegang fotografer, melawan Hak atas Pelindungan Diri Pribadi dan Rasa Aman (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945) yang dimiliki oleh setiap pelari.
Daftar Isi [Show]
Kritik terhadap Dalih "Ruang Publik" dan UU Hak Cipta
Argumentasi yang digunakan fotografer adalah bahwa di ruang publik, siapa pun bebas memotret apa pun, selama tidak melanggar kesusilaan atau ketertiban umum. Sementara event lari yang seringkali menggunakan jalan raya atau fasilitas umum dianggap sebagai ruang publik yang mutlak.
Pandangan ini problematis karena dua alasan:
Event lari, meskipun di lokasi publik, bukanlah ruang publik biasa. Ini adalah event acara tertentu, seringkali berbayar atau terdaftar, dan memiliki batas area yang jelas. Peserta (pelari) hadir untuk satu tujuan tertentu.
Seperti berolahraga, berlomba, bukan untuk menjadi objek foto yang tidak mereka kehendaki. Ruang privasi mereka, meskipun tidak mutlak, mereka mungkin tidak keberatan difoto oleh media resmi pada event, tetapi belum tentu oleh fotografer jalanan yang motif atau tujuannya kadang tidak jelas.
Kelemahan UU Hak Cipta (UU No. 28/2014): Perlindungan yang relevan adalah Hak Memotret pada Pasal 12 UU Hak Cipta. Pasal ini tidak melarang pengambilan foto. Ia hanya melarang penggunaan komersial (pengumuman, perbanyakan, penjualan) dari potret tersebut tanpa izin tertulis dari subjek yang difoto.
UU Hak Cipta memberikan perlindungan yang sangat sempit dan reaktif. Ia hanya fokus pada aspek komersial. Ia gagal melindungi subjek dari kerugian non-komersial, seperti rasa malu (misalnya, foto diambil saat pelari dalam kondisi sangat lelah, terjatuh, atau berekspresi tidak pantas) yang disebarluaskan di media sosial untuk kepentingan kesenian dari fotografer jalanan. Lembaga Hukum baru bekerja setelah foto itu dikomersialkan, bukan pada saat privasi dilanggar.
UU PDP: Mengaburkan Batas
Kehadiran UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) seharusnya menjadi solusi. Sebaliknya, ia justru membuka medan pertempuran hukum yang lebih kompleks.
Seperti pada wajah peserta lari, nomor dada (bib number), dan bahkan data biometrik gaya lari seorang pelari yang dapat diidentifikasi secara jelas adalah Data Pribadi. Pengambilan, penyimpanan, dan penyebaran foto tersebut adalah Pemrosesan Data Pribadi.
Dengan demikian, seorang fotografer jalanan disadari atau tidak disadari berperan sebagai Pengendali Data Pribadi. Pertanyaannya: Apa dasar hukum pemrosesan yang mereka miliki berdasarkan Pasal 20 UU PDP?
- Persetujuan (Consent)? Jelas tidak ada. Fotografer tidak meminta izin dari setiap pelari yang melintas.
- Kewajiban Kontrak? Tidak relevan.
- Pelayanan Publik? Tidak relevan.
- Kepentingan yang sah? Ini adalah satu-satunya dasar hukum yang paling mungkin digunakan.
Fotografer jalanan dapat berargumen bahwa mereka memiliki "kepentingan yang sah" untuk mengekspresikan kesenian atau menjalankan bisnis fotografi.
Di sinilah letak jantung persoalannya. Konsep "kepentingan yang sah" mensyaratkan adanya uji keseimbangan antara kepentingan fotografer jalanan (Pengendali Data) dengan hak dan kebebasan subjek data (pelari). UU PDP dan penjelasannya tidak memberikan parameter yang jelas tentang bagaimana uji keseimbangan ini dilakukan.
Siapa yang menentukan bahwa kepentingan kesenian fotografer jalanan lebih berat daripada hak pelari untuk tidak difoto dalam keadaan lelah dan berkeringat? Tanpa panduan yang jelas, "kepentingan yang sah" menjadi alasan karet dan subjektif sehingga dapat ditarik darimana pun.
Pengecualian: Kegiatan Individual pada Ekspresi Kesenian oleh Fotografer Jalanan
Kritik paling tajam terhadap UU PDP dalam kasus ini terletak pada Pasal 2 ayat (2) dan pengecualian terhadap Jurnalistik dan Artistik.
1. Pengecualian (Pasal 2 ayat (2))
UU PDP dikecualikan untuk “pemrosesan Data Pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga.” Fotografer jalanan akan berlindung di balik pasal tersebut. Namun, definisi "kegiatan individual" adalah kekaburan norma didalam hukum.
Apakah memotret orang lain di jalanan adalah “kegiatan pribadi?” Bagaimana jika hasil itu diunggah ke akun media sosial dengan puluhan ribu followers dan berpotensi mendatangkan endorsement? Batas antara "pribadi" dan "publik" atau "komersial" menjadi sangat kabur, UU PDP gagal total mendefinisikan batas ini.
2. Pengecualian ekspresi kesenian pada UU PDP
UU PDP saat ini belum memiliki pasal eksplisit yang memberikan kelonggaran spesifik untuk ekspresi kesenian dari semua kewajiban perlindungan data pribadi pada UU PDP.
Hal ini masih menjadi poin perdebatan hukum dan sedang dalam proses uji materi Perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi untuk meminta pengecualian tersebut terhadap Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP.
Sehingga, UU PDP tidak memberikan kejelasan, apakah setiap orang yang membawa kamera dan mengunggah foto ke media sosial dapat mengklaim dirinya sedang melakukan ekspresi kesenian? Jika ya, maka seluruh ketentuan hak subjek data (seperti hak untuk menghapus data) dalam UU PDP dapat diterapkan dengan mudah.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kerangka hukum Indonesia saat ini (UU Hak Cipta & UU PDP) gagal memberikan solusi yang adil dan pasti dalam persoalan fotografi jalanan di event lari.
- UU Hak Cipta terlalu sempit (hanya melindungi aspek komersial).
- UU PDP terlalu luas dan ambigu (konsep kepentingan yang sah dan pengecualian ekspresi keseniab tidak terdefinisi dengan baik).
Akibatnya, pelari (Subjek Data) tidak memiliki perlindungan yang efektif terhadap pelanggaran privasi, sementara fotografer jalanan (Pengendali Data) beroperasi dalam ketidakpastian hukum, di mana aktivitas mereka setiap saat dapat digugat secara perdata Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUHPer apabila merugikan pihak tertentu atau dipersoalkan berdasarkan Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP.
Rekomendasi:
Bagi Penyelenggara Acara / EO : Sebagai pihak yang paling berkepentingan, EO harus berhenti bersikap pasif. Mereka wajib (secara kontraktual) mengatur ini dalam terms and conditions pendaftaran.
EO harus secara eksplisit menyatakan kebijakan fotografi misalnya, hanya untuk kebutuhan media saja yang boleh memotret dan mewajibkan fotografer jalanan komersial untuk mendaftar dan mematuhi aturan (misalnya; tidak memotret pelari yang dalam kondisi yang sangat lelah, terjatuh, atau berekspresi tidak pantas).
Bagi Fotografer jalanan: Posisikan bahwa Anda adalah Pengendali Data, langkah paling aman adalah transparansi. Jika foto akan dijual, berikan informasi yang jelas, misalnya, memasang spanduk "Foto Lari Dijual di Website"
Sehingga pelari memiliki opsi untuk menghindar, hindari juga pengambilan gambar yang eksploitatif atau merendahkan martabat subjek.
- Bagi Legislator dan Pemerintah: Diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU PDP yang secara spesifik memberikan panduan jelas mengenai:
- Definisi yang jelas "kegiatan pribadi" (Pasal 2 UU PDP).
- Pengecualian "ekspresi kesenian" pada UU PDP.
- Parameter yang jelas untuk "uji keseimbangan" dalam konsep "kepentingan sah" (Pasal 20 UU PDP).
Tanpa kejelasan ini, dalih "ruang publik" akan terus melanggengkan pelanggaran privasi atas nama ekspresi kesenian maupun hobi.
Kabar Trenggalek - Opini
Editor:Redaksi







.jpg)





