Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account
ADVERTISEMENT
JImat

OPINI Evolusi Trenggalek: Dari Lereng Sunyi Menuju Poros Masa Depan

Probo Darono Yakti – Dosen FISIP Universitas Airlangga dan Pegiat Budaya

  • 19 May 2025 08:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Saya masih ingat ketika menyusun modul tanggap bencana di Desa Tegaren, Kecamatan Tugu bersama dengan Center for Strategic and Global Studies Universitas Airlangga. Di sana, saya melihat bukan hanya ancaman alam, tetapi juga potensi manusia. 

    Trenggalek bukan hanya soal peta yang jauh dari pusat. Ia adalah rumah yang pelan-pelan sedang berubah, berevolusi bukan hanya sebatas dibangun secara bahasa administrasi pemerintahan, namun juga dibangkitkan oleh masyarakatnya sendiri.

    Sebagai orang yang pernah ikut berkecimpung mendiskusikan dan mengaktualisasikan Desa Wisata Tegaren, Kecamatan Tugu di Yayasan Abhyakta Acitya Bumi, saya menyaksikan langsung bagaimana masyarakat Trenggalek memiliki semangat gotong royong dan resiliensi yang luar biasa termasuk dalam bangkit melawan dampak dari Covid-19. 

    Ada optimisme yang tak gampang pudar, bahkan ketika realitas terasa berat. Pengalaman-pengalaman itu membentuk cara pandang saya bahwa Trenggalek bukan tempat yang tertinggal, melainkan wilayah yang sedang mengalami proses panjang menjadi dirinya yang baru.

    Dari Terpinggir Menjadi Terkoneksi

    Trenggalek selama ini sering dianggap sebagai daerah di “lereng sunyi”. Terjepit di antara pegunungan dan laut, serta dikelilingi oleh narasi keterisolasian. Akses yang terbatas, baik dari arah Ponorogo maupun Tulungagung, memperkuat kesan itu. Namun belakangan ini, tidak hanya jalannya yang mulai terbuka, tetapi juga cara pandang warganya. Narasi tentang “Trenggalek yang sulit dijangkau” mulai patah sendiri oleh kerja-kerja kolektif masyarakat.

    Pemanfaatan teknologi oleh pelaku UMKM lokal, munculnya komunitas kreatif di desa, hingga keterlibatan generasi muda dalam program pembangunan desa, adalah pertanda bahwa konektivitas di Trenggalek bukan hanya fisik. 

    Ini adalah konektivitas sosial, digital, bahkan spiritual—karena menyambungkan orang dengan harapan. Digitalisasi pasar lokal, inisiatif wisata berbasis komunitas, dan tumbuhnya wacana tentang masa depan desa, semua menunjukkan bahwa Trenggalek telah bergerak, dan terus bergerak.

    Bukan Hanya Soal Dua Nama

    Kita tentu mengenal sosok H. M. Nur Arifin, Bupati muda yang dikenal karena inovasi dan keberaniannya menabrak cara lama. Bersama istrinya, Novita Hardini yang kini duduk di DPR RI, mereka menjadi representasi generasi baru pemimpin daerah: melek digital, terbuka terhadap kritik, dan aktif menyuarakan isu-isu perempuan dan pemberdayaan masyarakat. Namun mari kita luruskan: Trenggalek bukan hanya soal dua orang itu.

    Evolusi sejati bukan datang dari atas, tetapi tumbuh dari bawah. Pemimpin yang baik memang penting, tetapi masyarakat yang tanggap, aktif, dan mau bergerak jauh lebih menentukan arah perubahan. 

    Yang dibutuhkan Trenggalek hari ini adalah kepemimpinan kolektif baik di desa, di komunitas, di lingkungan pendidikan, bahkan di rumah-rumah warga. Perubahan tidak butuh pusat tunggal, ia butuh banyak simpul kecil yang bergerak bersama. Tentu kita harus berpikir untuk mencetak Mas Ipin-Mas Ipin berikutnya yang menjadi agenda pembangunan termasuk di pelosok-pelosok desa Trenggalek.

    Ketika pemuda desa mulai belajar soal energi terbarukan, saat ibu-ibu kelompok tani berdiskusi tentang pasar digital, atau ketika komunitas jaranan menjaga ruang latihan dan panggung budaya dengan dana swadaya, maka di situlah Trenggalek sedang menemukan bentuk terbaiknya.

    Potensi yang Belum Sepenuhnya Dirawat

    Trenggalek memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Pantai Pelang, Tebing Banyu Nget, Goa Lowo, hutan mangrove, hingga air terjun dan lahan hutan rakyat merupakan kekayaan yang belum seluruhnya dioptimalkan. 

    Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kabupaten menargetkan 100 desa wisata aktif. Pada 2021, sebanyak 35 desa wisata telah diluncurkan. Tapi keberhasilan tak bisa hanya diukur dari jumlah yang harus dilihat dari dampak pada kesejahteraan warga.

    Turangga Yakso, seni jaranan khas Trenggalek yang berkepala buto, adalah contoh budaya yang bisa menjadi pengikat identitas dan daya tarik wisata. Tapi ia harus dirawat sebagai warisan, bukan sekadar dipanggungkan untuk pelengkap acara festival. Kita butuh kebijakan budaya yang berkelanjutan, bukan hanya insidental. Dalam hal ini modalitas Pemkab Trenggalek sudah komplit, dengan bekal berupa Perda Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah.

    Lebih dari itu, Trenggalek adalah bagian dari kawasan budaya Mataraman, yang dulunya merupakan wilayah Mancanegara Kraton. Bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah berkunjung ke Trenggalek dalam muhibah budaya. Kunjungan itu bukan simbolik semata, tapi pengakuan bahwa Trenggalek punya akar sejarah panjang yang kuat. Kita hanya perlu merawat akar itu sambil menumbuhkan dahan-dahan barunya.

    Dari sisi demografis, IPM Trenggalek pada 2024 telah mencapai 72,47, meningkat dari 70,40 pada 2021—status “tinggi” menurut klasifikasi nasional. Gini ratio berada pada angka 0,336, menandakan ketimpangan sosial yang relatif rendah. Jumlah penduduk pada 2024 tercatat 757.440 jiwa dengan pertumbuhan tahunan 1,7%. Ini adalah modal demografis yang sama sekali tak boleh disia-siakan oleh pemerintah Trenggalek.

    Menjemput Masa Depan Bersama

    Membayangkan Trenggalek pada tahun 2045 adalah membayangkan desa-desa mandiri energi, petani yang menjadi inovator, dan pemuda yang tak perlu pergi ke kota besar untuk menjadi hebat. Tapi semua itu tak akan jadi nyata jika tidak ada kerja bersama, keikhlasan untuk membangun tanpa pamrih pencitraan, dan kesediaan belajar dari kegagalan. 

    Menggerakkan secara simultan sendi-sendi kepemudaan di Trenggalek mulai dari Karang Taruna, pegiat-pegiat Bumdes, perangkat-perangkat dan bahkan kepala desa yang masih muda, dan aktivis-aktivis akan senantiasa memberi sumbangsih berupa gagasan pikiran pada Trenggalek di masa depan.

    Sebagai akademisi dan pegiat budaya, saya punya harapan sederhana: semoga suatu saat saya dapat berbincang santai namun tetap serius dengan para pemimpin dan warga Trenggalek. Tentu tidak hanya sebatas mengoreksi, namun juga merancang masa depan Trenggalek secara kolektif. Karena saya percaya, Trenggalek tidak sedang diam. Ia senantiasa tumbuh, bergerak, dan berevolusi seiring dengan dinamika zaman.

    Pada proses itu, kita semua punya peran untuk dimainkan. Mari bergerak bersama untuk Trenggalek!

    Kabar Trenggalek - Opini

    Editor:Redaksi