Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Login ke KBRTTulis Artikel

OPINI: Dilema Kabar Trenggalek Dalam Menyerukan Kepentingan Publik

Dr. Suripto, S.Ag., MPd.I Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Tulungagung

  • 14 Sep 2025 08:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Dalam lanskap demokrasi modern, media massa kerap disebut sebagai pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fungsi utamanya bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga mengawasi jalannya kekuasaan, mengedukasi publik, serta menjadi ruang diskusi bagi kepentingan masyarakat luas. 

    Di tengah derasnya arus digitalisasi, media lokal seperti “Kabar Trenggalek” hadir dengan peran strategis. Ia berperan mendekatkan informasi kepada warga daerah, sekaligus menjadi jembatan antara kepentingan publik dengan pengambil kebijakan.

    Namun, kehadiran media lokal tidak lepas dari dilema klasik dunia pers.  Apakah konsiten menjaga idealisme sebagai watchdog atau berkompromi dengan tuntutan ekonomi sebagai watchbiz. Di satu sisi, masyarakat berharap “Kabar Trenggalek” mampu menghadirkan berita investigasi, mengontrol kebijakan pemerintah daerah, dan memberi pendidikan publik melalui liputan yang mencerahkan. Di sisi lain, realitas bisnis media digital menuntut trafik, klik, serta sumber pendanaan yang kerap bersinggungan dengan kepentingan pemilik modal maupun pengiklan.

    Kondisi inilah yang kemudian melahirkan pertanyaan kritis, sejauh mana “Kabar Trenggalek” mampu konsisten menyuarakan kepentingan publik? Apakah ia masih berdiri kokoh sebagai pengawas sosial (watchdog) atau justru mulai terjebak dalam logika bisnis (watchbiz) yang berorientasi pada keuntungan semata? Dilema ini menjadi titik berangkat kritik konstruktif terhadap praktik jurnalisme lokal, terutama dalam konteks bagaimana media menjaga keseimbangan antara idealisme dan keberlangsungan usaha.

    Fungsi Watchdog Media

    Sejak lama, pers dipandang sebagai watchdog (anjing penjaga) yang mengawasi jalannya kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Fungsi ini tidak hanya berlaku bagi media nasional berskala besar, tetapi juga bagi media lokal yang memiliki kedekatan langsung dengan masyarakat dan persoalan sehari-hari mereka. “Kabar Trenggalek”, sebagai salah satu media lokal di Jawa Timur, pada dasarnya memikul tanggung jawab untuk menghadirkan berita yang tidak sekadar informatif, tetapi juga kritis terhadap kebijakan publik.

    Melalui pemberitaan yang tajam dan investigatif, media lokal seharusnya menjadi corong suara warga yang kerap luput dari perhatian arus utama. Misalnya, isu-isu tentang akses pendidikan, transparansi anggaran daerah, atau praktik bisnis yang merugikan masyarakat dapat diangkat menjadi laporan investigasi yang mendalam. 

    Dengan begitu, media bukan hanya menyajikan penerangan dalam arti informatif, tetapi juga berfungsi sebagai alat pendidikan publik, memberi kesadaran tentang hak-hak warga, dan membangun tradisi literasi kritis di tingkat lokal.

    Dalam kerangka kontrol sosial, keberadaan “Kabar Trenggalek” idealnya mampu menempatkan diri sebagai pihak yang berdiri di sisi masyarakat. Artinya, media tidak boleh sekadar mereproduksi informasi resmi dari pemerintah atau institusi dominan, tetapi harus menguji, menimbang, bahkan menantang kebijakan yang berpotensi merugikan publik. 

    Di titik ini, nilai-nilai jurnalisme investigasi menjadi kunci. Tanpa keberanian menyelidiki lebih dalam, fungsi watchdog akan tereduksi menjadi sekadar “penyambung lidah” pejabat, bukan pengawal kepentingan rakyat.

    Dengan demikian, peran watchdog tidak hanya soal memberitakan fakta, melainkan memastikan fakta itu bekerja untuk kepentingan publik. Bagi Kabar Trenggalek, pertanyaannya adalah: sejauh mana ia berani menjalankan mandat tersebut, dan apakah keberanian itu tetap terjaga ketika berhadapan dengan tekanan bisnis dan kepentingan ekonomi?

    Tekanan Bisnis Media (Watchbiz)

    Di balik idealisme pers sebagai watchdog, ada realitas lain yang tak bisa dihindari: media adalah entitas bisnis yang membutuhkan pendanaan untuk bertahan hidup. Model bisnis media online saat ini sangat bergantung pada trafik pembaca, klik iklan, dan dukungan sponsor. 

    Tekanan ini sering kali menempatkan media, termasuk “Kabar Trenggalek”, dalam posisi dilematis: memilih untuk menyuarakan kepentingan publik secara kritis, atau menyesuaikan isi pemberitaan demi menjaga aliran pendapatan.

    Orientasi bisnis inilah yang melahirkan istilah watchbiz, merujuk pada media yang lebih menekankan fungsi komersial dibanding fungsi sosial. Dalam praktiknya, tekanan bisnis dapat membuat media lebih memilih menulis berita ringan, sensasional, atau sekadar mengikuti tren agar jumlah pembaca meningkat. Di sisi lain, berita investigatif yang membutuhkan waktu, tenaga, dan keberanian sering terpinggirkan karena dianggap tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

    Selain itu, ketergantungan pada iklan atau sponsor kerap menimbulkan potensi konflik kepentingan. Liputan kritis yang menyentuh kepentingan pihak tertentu bisa diredam atau bahkan ditiadakan demi menjaga relasi bisnis. Pada titik inilah dilema “Kabar Trenggalek” semakin nyata: bagaimana menjaga keberlangsungan sebagai perusahaan media tanpa kehilangan independensi dan idealisme jurnalistiknya?

    Dengan kondisi seperti ini, masyarakat sering kali mendapati media lokal terjebak dalam posisi ambigu. Di satu sisi, publik berharap media menyuarakan kebenaran. Namun di sisi lain, logika pasar mendorong media untuk tunduk pada kepentingan bisnis. Jika tidak hati-hati, “Kabar Trenggalek” bisa tergelincir menjadi sekadar “penyedia konten” yang mengejar keuntungan, bukan lagi pengawal kepentingan rakyat.

    Dilema Kabar Trenggalek

    Dalam menjalankan perannya sebagai media lokal, “Kabar Trenggalek” dihadapkan pada situasi yang tidak sederhana. Media ini harus menavigasi antara idealisme jurnalisme sebagai pengawal kepentingan publik dan tuntutan pragmatis dunia bisnis media yang menuntut keberlanjutan finansial.

    Persoalan ini melahirkan berbagai dilema yang tidak bisa dihindari. Dilema tersebut muncul ketika kepentingan ideal seperti kontrol sosial, independensi redaksi, dan pendidikan publik bersinggungan dengan realitas pasar, pendanaan, serta tekanan dari pihak-pihak tertentu.

    Untuk itu, penting mengurai tiga dilema utama yang dihadapi Kabar Trenggalek agar dapat memahami lebih jelas bagaimana posisi media ini berada dalam tarik-menarik antara fungsi watchdog dan jebakan watchbiz.

    Pertama, Ketegangan antara Idealisme dan Bisnis. Sebagai media lokal, Kabar Trenggalek berada di persimpangan jalan: di satu sisi ada panggilan moral untuk mengabdi pada publik, sementara di sisi lain ada tuntutan finansial agar media tetap hidup. Ketegangan ini menciptakan dilema yang tidak sederhana.

    Ketika menjalankan fungsi watchdog, “Kabar Trenggalek” dituntut berani menyoroti kebijakan daerah, mengkritisi praktik birokrasi, atau menelusuri isu-isu publik yang tersembunyi. Namun, keberanian semacam itu kerap berhadapan langsung dengan kepentingan pihak-pihak yang justru menjadi sumber iklan atau dukungan finansial media. Dalam situasi demikian, pilihan redaksional tidak lagi hanya soal profesionalisme jurnalistik, tetapi juga tentang strategi bertahan hidup.

    Dilema ini membuat “Kabar Trenggalek” seolah berjalan di atas tali tipis: jika terlalu kritis, ia berisiko kehilangan sumber pendanaan; tetapi jika terlalu kompromis, ia kehilangan kepercayaan publik. Pertanyaannya kemudian, bagaimana media lokal seperti “Kabar Trenggalek” bisa menyeimbangkan kedua sisi tersebut tanpa terjerumus menjadi corong kepentingan tertentu?

    Kedua, Risiko Terpinggirkannya Jurnalisme Investigasi. Salah satu konsekuensi paling nyata dari tekanan bisnis adalah semakin terpinggirkannya jurnalisme investigasi. Padahal, investigasi merupakan roh dari fungsi watchdog media, karena di sanalah media menunjukkan keberpihakannya pada kebenaran dan kepentingan publik.

    Di era digital, logika kecepatan dan keterbacaan sering mengalahkan kedalaman laporan. Berita-berita ringan, viral, dan instan dianggap lebih menguntungkan dibanding liputan investigatif yang memerlukan riset mendalam, waktu panjang, dan risiko yang tidak kecil. Jika kecenderungan ini terus dibiarkan, maka media lokal seperti “Kabar Trenggalek” berpotensi hanya menjadi penyedia informasi cepat tanpa kedalaman kritis.

    Risiko lainnya adalah berkurangnya keberanian jurnalis dalam mengangkat isu-isu sensitif yang menyangkut kepentingan pejabat, korporasi, atau kelompok berpengaruh. Di sinilah jurnalisme investigasi sering kali berhenti di meja redaksi, bukan karena tidak ada isu, melainkan karena ada pertimbangan bisnis yang mengekang. Akibatnya, publik kehilangan akses terhadap informasi penting yang seharusnya menjadi hak mereka.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Jika Kabar Trenggalek tidak mampu mempertahankan ruang bagi jurnalisme investigasi, maka fungsi kontrol sosialnya akan semakin lemah. Media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru tereduksi menjadi mesin reproduksi informasi tanpa daya kritis.

    Ketiga, Ambiguitas Identitas Media Lokal. Media lokal seperti “Kabar Trenggalek” menghadapi tantangan identitas yang tidak ringan. Di satu sisi, ia diharapkan menjadi corong informasi yang dekat dengan warga, mengangkat isu-isu khas daerah, serta memperkuat pendidikan publik. Namun di sisi lain, arus digital mendorong media untuk mengejar standar nasional, bersaing dengan media besar, dan menyesuaikan diri dengan selera pasar.

    Ambiguitas ini menjadikan “Kabar Trenggalek” sering berada di wilayah abu-abu. Ketika terlalu menekankan kedekatan lokal, media berisiko dianggap kurang bergengsi dibanding media nasional. Sebaliknya, ketika ikut arus bisnis digital dengan mengedepankan berita sensasional, ia kehilangan kedalaman dan keunikan lokalitas yang seharusnya menjadi nilai tambah.

    Situasi ini memperlihatkan bahwa “Kabar Trenggalek” masih mencari bentuk,  apakah ingin tampil sebagai media watchdog yang membangun kesadaran kritis warga Trenggalek, atau justru bergeser menjadi media komersial yang sekadar menyajikan konten populer. Ambiguitas inilah yang semakin memperkuat dilema antara menjaga fungsi sosial pers atau menyerah pada logika bisnis.

    Kritik Konstruktif

    Berangkat dari ketiga dilema yang dihadapi “Kabar Trenggalek” tersebut, langkah selanjutnya adalah melihat ruang perbaikan yang dapat dilakukan agar media ini tetap relevan dan dipercaya publik. Kritik yang disampaikan bukan dimaksudkan untuk melemahkan, melainkan sebagai refleksi konstruktif guna memperkuat peran media lokal sebagai pilar demokrasi sekaligus menjawab tantangan keberlanjutan bisnis.

    Melalui kritik konstruktif, diharapkan “Kabar Trenggalek” mampu meneguhkan identitas jurnalistiknya, menjaga independensi redaksi, serta meningkatkan kontribusinya dalam pendidikan dan literasi publik. Ada empat poin utama kritik yang dapat dijadikan pijakan untuk memperbaiki arah kebijakan dan praktik jurnalistik di masa depan. 

    Pertama,  Menjaga Keseimbangan Fungsi Kontrol Sosial dan Keberlanjutan Bisnis.  Kritik utama terhadap media lokal seperti Kabar Trenggalek bukan sekadar menyoroti kekurangannya, melainkan mencari jalan keluar agar tetap relevan dan dipercaya publik. Salah satu kunci terpenting adalah menjaga keseimbangan antara idealisme sebagai pengawal kepentingan rakyat dengan realitas bisnis yang menopang keberlangsungan hidup media.

    Fungsi kontrol sosial melalui pemberitaan kritis, investigatif, dan edukatif adalah roh yang tidak boleh ditinggalkan. Tanpa itu, media akan kehilangan marwahnya sebagai pilar demokrasi. Namun, di saat yang sama, bisnis adalah darah yang membuat media tetap hidup, membiayai redaksi, dan memastikan jurnalis bisa bekerja profesional.

    Keseimbangan ini bisa dicapai dengan strategi ganda. Disatu sisi harus tetap konsisten memproduksi liputan yang kritis dan pada saat yang sama juga sekaligus mengembangkan model bisnis yang etis dan berkelanjutan. 

    Artinya, “Kabar Trenggalek” harus berani menolak kompromi editorial demi kepentingan komersial, sambil terus mencari inovasi pendanaan yang tidak mengorbankan independensi. Dengan cara ini, media bisa tetap hidup secara finansial tanpa kehilangan jati diri watchdog.

    Kedua, Transparansi Pendanaan dan Editorial Independen. Salah satu titik rawan media lokal adalah keterikatan pada kepentingan sponsor atau pihak tertentu yang menjadi sumber pendanaan. Ketergantungan semacam ini sering membuat media kehilangan independensi, bahkan berpotensi mengabaikan kepentingan publik demi menjaga hubungan baik dengan pengiklan atau pemegang modal.

    Bagi Kabar Trenggalek, transparansi dalam pendanaan dan komitmen terhadap independensi editorial menjadi krusial. Media harus jelas membedakan antara konten berita dan konten iklan, serta membuka mekanisme pendanaan alternatif yang sehat seperti dukungan pembaca, program langganan digital, atau kolaborasi komunitas.

    Dengan cara ini, publik dapat melihat bahwa pemberitaan lahir dari komitmen jurnalistik, bukan karena pesanan bisnis. Transparansi juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, karena mereka tahu media tidak tersandera oleh kepentingan tertentu. Editorial yang independen adalah syarat utama agar media dapat benar-benar berperan sebagai watchdog, bukan sekadar corong kepentingan ekonomi atau politik.

    Ketiga,  Menguatkan Jurnalisme Investigasi sebagai Identita. Dalam lanskap media lokal, kekuatan utama yang membedakan media watchdog dari sekadar portal berita biasa adalah keberanian dan konsistensinya dalam melakukan jurnalisme investigasi. Investigasi bukan hanya sekadar gaya pemberitaan yang mendalam, tetapi juga sebuah identitas yang menegaskan keberpihakan media pada kepentingan publik.

    Kabar Trenggalek memiliki peluang besar untuk menegaskan diri sebagai media lokal yang berani mengangkat isu-isu strategis: mulai dari korupsi anggaran daerah, penyalahgunaan kewenangan pejabat, konflik agraria, hingga dampak kebijakan pembangunan terhadap masyarakat kecil. Liputan investigatif ini akan memperlihatkan fungsi kontrol sosial media secara nyata, sekaligus menjadi pembeda dengan media lain yang cenderung hanya mengejar kecepatan berita ringan.

    Menguatkan investigasi juga berarti memperkuat kapasitas jurnalismelalui pelatihan teknik investigasi, etika liputan, hingga perlindungan keamanan bagi wartawan. Dengan begitu, investigasi tidak berhenti pada idealisme, tetapi benar-benar menjadi praktik profesional yang berkelanjutan.

    Jika konsisten dijalankan, jurnalisme investigasi dapat menjadi “brand image” Kabar Trenggalek, yang bukan hanya dibaca karena informatif, tetapi juga ditunggu karena berani mengungkap kebenaran.

    Keempat, Mengedepankan Pendidikan Publik (Nilai Penerangan dan Literasi Warga). Fungsi media tidak berhenti pada penyampaian informasi, tetapi juga mencerdaskan kehidupan masyarakat. Dalam konteks “Kabar Trenggalek”, peran ini bisa diwujudkan dengan menghadirkan konten yang tidak hanya memberitakan peristiwa, tetapi juga memberi penerangan, yakni penjelasan, konteks, dan edukasi bagi warga.

    Misalnya, ketika memberitakan isu lingkungan atau anggaran daerah, media tidak cukup sekadar melaporkan angka atau konflik, melainkan juga menjelaskan implikasinya bagi kehidupan sehari-hari masyarakat. Dengan demikian, pembaca bukan hanya tahu, tetapi juga paham dan sadar akan hak-hak serta kewajibannya.

    Lebih jauh, media dapat menjadi agen literasi publik dengan menghadirkan rubrik edukasi digital, kolom opini warga, atau ruang diskusi interaktif. Ini akan memperkuat posisi “Kabar Trenggalek” bukan hanya sebagai media informasi, tetapi juga sebagai pusat pembelajaran sosial.

    Mengutamakan fungsi pendidikan publik akan meneguhkan jati diri media sebagai penerang masyarakat, sekaligus memperkuat legitimasi moralnya untuk mengkritik kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

    Penutup

    Dilema antara watchdog dan watchbiz merupakan realitas yang tengah dihadapi media lokal, termasuk “Kabar Trenggalek”. Di satu sisi, media dituntut menjaga idealisme sebagai pengawal kepentingan publik melalui fungsi kontrol sosial dan jurnalisme investigasi. Di sisi lain, keberlangsungan operasional menuntut strategi bisnis yang seringkali berpotensi menggerus independensi redaksi.

    “Kabar Trenggalek” perlu menegaskan posisinya apakah tetap konsisten sebagai watchdog yang berpihak pada kebenaran dan kepentingan masyarakat, atau terjebak dalam logika watchbiz yang lebih menekankan pada keuntungan finansial semata.

    Kritik ini bukan untuk melemahkan, melainkan sebagai refleksi konstruktif agar media lokal tetap relevan, independen, dan dipercaya publik. Dengan keseimbangan antara idealisme jurnalistik dan keberlanjutan bisnis, “Kabar Trenggalek” berpotensi menjadi contoh nyata media daerah yang mampu menjaga marwah pers sebagai pilar keempat demokrasi. Wallohu a’lam. 

    Kawan Pembaca, Terimakasih telah membaca berita kami. Dukung Kabar Trenggalek agar tetap independen.

    Kabar Trenggalek - Opini

    Editor:Redaksi

    ADVERTISEMENT
    SABGamehouse