KBRT – Perempuan desa di Kabupaten Trenggalek masih memegang peran utama dalam musim tanam padi. Jika laki-laki identik dengan pekerjaan membajak atau mencangkul, maka kaum perempuan justru mendominasi proses menanam bibit padi di sawah.
“Kebanyakan dari dulu yang tanam memang wanita, kan yang melahirkan itu ibu. Kalau menanam bisa lebih bagus,” ujar Muriti (55), petani asal Desa Sukorame, Kecamatan Gandusari.
Sambil menancapkan bibit padi di sawah berlumpur, Muriti menceritakan pengalamannya yang sudah puluhan tahun menjadi buruh tanam. Sejak muda, ia kerap menggarap sawah di berbagai desa, bahkan hingga luar Kecamatan Gandusari.
“Kalau dulu waktu masih muda saya keliling cari sawah butuh buruh tanam. Sampai Kecamatan Besuki Tulungagung saya sudah pernah pakai sepeda onthel,” tuturnya.
Kini, Muriti lebih banyak membantu di sawah milik tetangga atau kerabat dekat. Untuk upah, ia menyebutkan buruh tanam mendapatkan bayaran hingga Rp100.000 per setengah hari.
Meski mayoritas dikerjakan perempuan, Muriti mengakui ada pula laki-laki yang ikut menanam padi.
“Ya, ada laki-laki yang bisanya justru tanam. Padahal biasanya itu tugasnya mencabuti bibit padi (ndaut),” imbuhnya.
Menurut Muriti, pekerjaan menanam bibit lebih ringan dibandingkan mencabuti bibit di tempat pembenihan. Karena itu, kaum perempuan biasanya ditugaskan untuk menanam. Meski demikian, ada juga perempuan yang mampu mencangkul atau ndaut, meski jumlahnya sedikit.
Namun, ia mengungkapkan jumlah buruh tanam perempuan saat ini semakin berkurang. Banyak dari generasi muda, termasuk anaknya sendiri, enggan turun ke sawah.
“Sekarang yang jadi buruh tanam seperti mau habis. Anak-anak muda, bahkan putri saya sendiri juga jarang mau ke sawah,” katanya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz