Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Membumikan Seni Rupa Trenggalek Melalui Pameran Seni Rupa Sanak Kadang

Kubah Migunani
Kabar Trenggalek - Forum Perupa Trenggalek (eFPeTe) menggelar pameran seni rupa dengan tema ‘sanak kadang’. Pameran seni rupa itu digelar di Tropical Forest, Jl. Nasional III No.37-41, Darang, Kelurahan Tamanan, Kabupaten Trenggalek. Para pengunjung menikmati pameran seni rupa pada 19-24 Desember 2021, mulai pukul 09.00-21.00 WIB, Jumat (24/12/2021).Tema ‘sanak kadang’ dipilih sebagai bentuk dukungan dan penyesuaian tema yang diusung oleh BIENNALE JATIM IX. Kata ‘sanak kadang’ merupakan kata yang dipilih dari bahasa Jawa. Sanak yang berarti keluarga dan kadang yang memiliki arti sahabat.“Ketika memperbincangkan kolektifitas dan solidaritas, sebenarnya juga telah mempersoalkan nilai dari ‘Sanak Kadang’ itu sendiri, yaitu nilai kekeluargaan dan nilai persahabatan,” tulis Nanang Prisandy, Penulis Kuratorial.Ketua eFPeTe, Ridwan Yuniadi, menceritakan latar belakang dari pameran seni rupa sanak kadang ini. Lelaki yang akrab disapa Didik itu mengaku bahwa apresiasi terhadap seni di Trenggalek itu kurang. Oleh karena itu, eFPeTe menggelar pameran supaya eksistensi para Perupa Trenggalek tidak mati.[caption id="attachment_6202" align=aligncenter width=1280]Lukisan para perupa Trenggalek kolaborasi Pray For Semeru Lukisan para perupa Trenggalek kolaborasi Pray For Semeru/Foto: Alvina Nur 'Asmy - nggalek.co[/caption]Baca juga: Kembang Kempis Pelaku Seni Wayang Trenggalek Dihantam Pandemi Covid-19“Dengan pameran ini, kami berharap jangan sampai perupa-perupa di Trenggalek mati. Maksud saya, harus kami tunjukkan eksistensi kami. Yang semula kami bangun dari awal dengan penuh perjalanan yang sangat berliku. Untuk Trenggalek, seperti yang kita ketahui bersama bahwa, apresiasi terhadap seni rupa khususnya, kurang,” ujar Didik.Pameran seni rupa menjadi kegiatan rutin oleh eFPeTe setiap tahunnya. Sebelum pandemi Covid-19, eFPeTe mendapatkan dukungan anggaran dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek. Didik mengatakan, Pemkab Trenggalek mengundang eFPeTe untuk pameran seni rupa pada setiap Hari Jadi Trenggalek.Akan tetapi, saat pandemi Covid-19, eFPeTe tidak lagi mendapat anggaran karena ada refocusing anggaran untuk menangani penyebaran Covid-19. Meski tidak mendapatkan anggaran dari Pemkab Trenggalek, eFPeTe tetap mengadakan pameran seni rupa secara swadaya.“Ketika anggaran itu gak ada di sana, maka kami tidak mungkin tinggal diam. Dengan semangat anak-anak yang ada, semakin banyak yang tertarik ke seni rupa. Sehingga, saya juga harus mengakomodir mereka. Dan salah satunya kegiatan yang paling diinginkan adalah pameran seni rupa. Pameran tahun ini swadaya. Ya kami urunan,” jelas Didik.[caption id="attachment_6204" align=aligncenter width=1280]Lukisan para perupa Trenggalek dalam kolaborasi Pray For Semeru Lukisan para perupa Trenggalek dalam kolaborasi Pray For Semeru//Foto: Alvina Nur 'Asmy - nggalek.co[/caption]Baca juga: PPKM Level 2, Seniman di Trenggalek Bisa Gelar AcaraMelalui pameran seni rupa ‘sanak kadang’ Didik dan para Perupa Trenggalek lainnya berharap bisa membumikan seni rupa Trenggalek.“Kami puya niat, membumikan rupa Trenggalek ini. Nanti setelah kami bumikan seni rupa di Trenggalek ini, saya yakin apa yang kita perbuat ini ada hasilnya,” ucapnya.Dengan kondisi kurangnya apresiasi seni rupa di Trenggalek, Didik memberi pesan kepada para Perupa Trenggalek lainnya supaya tidak terburu-buru mengharapkan hasil dari seni rupa.“Saya secara pribadi memberi semangat kepada mereka itu kalau di kabupaten trenggalek ini jangan mengharapkan hasil dulu. Paling tidak kami membuat sejarah. Sedikit menorehkan sejarah tentang perkembangan seni rupa di Trenggalek. Kalau sudah dibumikan, saya yakin suatu saat ada hasilnya,” tegas Didik.[caption id="attachment_6200" align=aligncenter width=960]Lukisan 'Dont Just Stand By' karya Ridwan Y (Didik), Ketua eFPeTe Lukisan 'Dont Just Stand By' karya Ridwan Y (Didik), Ketua eFPeTe//Foto: Alvina Nur 'Asmy - nggalek.co[/caption]

Mengenal eFPeTe

Didik lahir pada tanggal 8 Juni 1965. Lelaki berusia 56 tahun itu berasal dari Desa Sugihan, Kecamatan Kampak, Trenggalek. Ia adalah alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) angkatan 1984. Pada tahun 2007, bersama kedua temannya, Fajar dan Yustina, mendirikan eFPeTe. Mereka bertiga mencari dan mendatangi satu per satu ke rumah para mahasiswa alumni seni di berbagai kampus yang berasal dari Trenggalek.Didik dan teman-temannya juga menggandeng Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Trenggalek. Harapannya, para pengajar seni di sekolah-sekolah yang ada di Trenggalek bisa diajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan kesenian. Pada tahun 2007 juga, eFPeTe melakukan pameran seni rupa yang pertama.Pada tahun 2010, pameran seni rupa yang diadakan eFPeTe mulai mendapatkan dukungan anggaran oleh Pemkab Trenggalek. Pada setiap Hari Jadi Trenggalek, dan beberapa kegiatan seni lainnya, eFPeTe selalu diajak untuk berkontribusi.“Memang sangat minim sekali anggaran pada waktu itu. Tapi, paling tidak kami sudah merasa senang ketika kegiatan kami sudah diagendakan oleh Pemkab Trenggalek,” kata Didik.[caption id="attachment_6201" align=aligncenter width=960]Lukisan 'seje rogo tunggal roso' karya Saga, perupa eFPeTe Lukisan 'seje rogo tunggal roso' karya Saga, perupa eFPeTe/Foto: Alvina Nur 'Asmy - nggalek.co[/caption]Baca juga: Alam Terancam Rusak, Inilah Daftar Desa di Trenggalek yang Masuk Konsesi Tambang Emas PT SMNMelalui berbagai kegiatan kesenian yang dilakukan, eFPeTe juga terus mencari anggota baru untuk bergabung dengan eFPeTe. Saat ini, anggota eFPeTe ada 54. Didik mengatakan, dengan bergabungnya para perupa muda di Trenggalek, ia lebih semangat lagi untuk berkegiatan kesenian.Selain pameran seni rupa, eFPeTe juga melakukan berbagai kegiatan seperti belajar bersama, diskusi seni, dan berkunjung ke berbagai tempat (seperti pasar dan tempat lainnya) untuk melukis bersama. Kemudian, ada juga agenda pameran seni rupa yang bertajuk MARS. Didik mengatakan MARS #1 sudah dilakukan pada Maret 2020.“Kebetulan kami juga membuat agenda yaitu MARS #1 pada Maret awal 2020. Pada waktu itu kan awal-awal Corona di Trenggalek. Ya kami masih bisa secara offline ya. Terus menyusul sebenarnya agenda kami ke MARS #2 pada tahun 2022 nanti,” ujar Didik.Didik menjelaskan, ke depannya ia dan perupa Trenggalek lainnya ingin menjadikan eFPeTe sebagai yayasan.“Ketika jadi yayasan, harapannya nanti kita bisa buka sekolah seni,” jelasnya.

Pray For Semeru

Pameran seni rupa ‘sanak kadang’ juga menggalang sumbangan untuk korban erupsi Gunung Semeru di Lumajang. Beberapa lukisan oleh para Perupa Trenggalek dijual kepada pengunjung, kemudian 100% hasil penjualannya akan disumbangkan kepada korban erupsi Gunung Semeru. Didik mengatakan, lukisan-lukisan itu tidak dipatok harga oleh eFPeTe.Konsep dari sumbangan ini diawali dengan menyediakan enam kanvas kosong yang diberi coretan awal oleh anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Trenggalek. Kemudian, coretan awal itu dilanjutkan oleh anggota eFPeTe hingga menjadi lukisan yang menggambarkan erupsi Gunung Semeru.Salah satu dari enam lukisan merupakan karya Didik. Lukisan karya Didik diberi nama ‘Don’t Just Stand By’ yang artinya ‘jangan hanya berpangku tangan’. Lukisan itu menggambarkan sesosok lelaki yang memakai topi putih, seragam biru dan sarung krem. Didik menjelaskan, lukisan itu merupakan kritik kepada orang-orang yang hanya berpangku tangan dan tidak mau bergerak untuk membantu korban erupsi Gunung Semeru.“Jangan hanya berpangku tangan. Ayolah kita bantu saudara kita yang dilanda kesusahan. Memang memakai sarung, karena biasanya gandengannya orang berpangku tangan itu memakai sarung. Orangnya mau gerak saja males,” tandasnya.[caption id="attachment_6203" align=aligncenter width=1280]Jati (kiri), Didik (tengah) dan Saga (Kanan), di ruang lukisan Pray For Semeru Jati (kiri), Didik (tengah) dan Saga (Kanan), di ruang lukisan Pray For Semeru/Foto: Alvina Nur 'Asmy - nggalek.co[/caption]Baca juga: Menelusuri Masalah Pendataan Warga Penerima Bansos Covid-19 di TrenggalekSelain lukisan karya didik, ada juga lukisan karya Saga, salah satu perupa anggota eFPeTe. Saga merupakan lelaki asal Desa Jatiprahu, Kecamatan Karangan, Trenggalek. Lukisan karya Saga menggambarkan suasana gunung yang mengeluarkan awan panas.Di tengah lukisan itu ada kepala seseorang yang separuh wajahnya seperti ditutupi bunga. Kemudian, di sekeliling kepala itu ada akar-akar pohon berwarna hitam yang menjalar. Namun, Saga tidak memberikan deskripsi tertulis tentang lukisan itu.“Memang sengaja tidak memberikan deskripsi untuk menghindari komunikasi seperti itu [antara pengunjung dengan deskripsi]. Tapi ini tetap salah satu lukisan kolaborasi untuk Pray For Semeru,” jelas Saga.Ada tulisan aksara jawa di lukisan karya Saga. Tulisan itu adalah ‘seje rogo tunggal roso’. Didik menjelaskan, arti tulisan aksara jawa itu adalah beda raga tapi rasanya sama.“Tulisan aksara jawa itu memiliki makna solidaritas. Raganya secara lahiriah badan kita kan berbeda, tapi kami harapkan rasanya sama. Untuk solidaritas kepada korban erupsi Gunung Semeru,” terang Didik.Sayangnya, tidak ada pengunjung yang membeli lukisan-lukisan itu meskipun eFPeTe tidak mematok harganya. Hal itu membuat Didik kecewa.“Padahal itu adalah hal yang paling ringan ketika nyumbang terus dapat lukisan. Harganya pun kami gak mematok berapa kok. Tapi kenyataannya sampai sekarang gak ada yang mau menyumbang. Ini yang saya sangat sayangkan sekali. Jadi jauh dari harapan,” ujarnya.
Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *