Mengenal eFPeTe
Didik lahir pada tanggal 8 Juni 1965. Lelaki berusia 56 tahun itu berasal dari Desa Sugihan, Kecamatan Kampak, Trenggalek. Ia adalah alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) angkatan 1984. Pada tahun 2007, bersama kedua temannya, Fajar dan Yustina, mendirikan eFPeTe. Mereka bertiga mencari dan mendatangi satu per satu ke rumah para mahasiswa alumni seni di berbagai kampus yang berasal dari Trenggalek.Didik dan teman-temannya juga menggandeng Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Trenggalek. Harapannya, para pengajar seni di sekolah-sekolah yang ada di Trenggalek bisa diajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan kesenian. Pada tahun 2007 juga, eFPeTe melakukan pameran seni rupa yang pertama.Pada tahun 2010, pameran seni rupa yang diadakan eFPeTe mulai mendapatkan dukungan anggaran oleh Pemkab Trenggalek. Pada setiap Hari Jadi Trenggalek, dan beberapa kegiatan seni lainnya, eFPeTe selalu diajak untuk berkontribusi.“Memang sangat minim sekali anggaran pada waktu itu. Tapi, paling tidak kami sudah merasa senang ketika kegiatan kami sudah diagendakan oleh Pemkab Trenggalek,” kata Didik.[caption id="attachment_6201" align=aligncenter width=960] Lukisan 'seje rogo tunggal roso' karya Saga, perupa eFPeTe/Foto: Alvina Nur 'Asmy - nggalek.co[/caption]Baca juga: Alam Terancam Rusak, Inilah Daftar Desa di Trenggalek yang Masuk Konsesi Tambang Emas PT SMNMelalui berbagai kegiatan kesenian yang dilakukan, eFPeTe juga terus mencari anggota baru untuk bergabung dengan eFPeTe. Saat ini, anggota eFPeTe ada 54. Didik mengatakan, dengan bergabungnya para perupa muda di Trenggalek, ia lebih semangat lagi untuk berkegiatan kesenian.Selain pameran seni rupa, eFPeTe juga melakukan berbagai kegiatan seperti belajar bersama, diskusi seni, dan berkunjung ke berbagai tempat (seperti pasar dan tempat lainnya) untuk melukis bersama. Kemudian, ada juga agenda pameran seni rupa yang bertajuk MARS. Didik mengatakan MARS #1 sudah dilakukan pada Maret 2020.“Kebetulan kami juga membuat agenda yaitu MARS #1 pada Maret awal 2020. Pada waktu itu kan awal-awal Corona di Trenggalek. Ya kami masih bisa secara offline ya. Terus menyusul sebenarnya agenda kami ke MARS #2 pada tahun 2022 nanti,” ujar Didik.Didik menjelaskan, ke depannya ia dan perupa Trenggalek lainnya ingin menjadikan eFPeTe sebagai yayasan.“Ketika jadi yayasan, harapannya nanti kita bisa buka sekolah seni,” jelasnya.Pray For Semeru
Pameran seni rupa ‘sanak kadang’ juga menggalang sumbangan untuk korban erupsi Gunung Semeru di Lumajang. Beberapa lukisan oleh para Perupa Trenggalek dijual kepada pengunjung, kemudian 100% hasil penjualannya akan disumbangkan kepada korban erupsi Gunung Semeru. Didik mengatakan, lukisan-lukisan itu tidak dipatok harga oleh eFPeTe.Konsep dari sumbangan ini diawali dengan menyediakan enam kanvas kosong yang diberi coretan awal oleh anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Trenggalek. Kemudian, coretan awal itu dilanjutkan oleh anggota eFPeTe hingga menjadi lukisan yang menggambarkan erupsi Gunung Semeru.Salah satu dari enam lukisan merupakan karya Didik. Lukisan karya Didik diberi nama ‘Don’t Just Stand By’ yang artinya ‘jangan hanya berpangku tangan’. Lukisan itu menggambarkan sesosok lelaki yang memakai topi putih, seragam biru dan sarung krem. Didik menjelaskan, lukisan itu merupakan kritik kepada orang-orang yang hanya berpangku tangan dan tidak mau bergerak untuk membantu korban erupsi Gunung Semeru.“Jangan hanya berpangku tangan. Ayolah kita bantu saudara kita yang dilanda kesusahan. Memang memakai sarung, karena biasanya gandengannya orang berpangku tangan itu memakai sarung. Orangnya mau gerak saja males,” tandasnya.[caption id="attachment_6203" align=aligncenter width=1280] Jati (kiri), Didik (tengah) dan Saga (Kanan), di ruang lukisan Pray For Semeru/Foto: Alvina Nur 'Asmy - nggalek.co[/caption]Baca juga: Menelusuri Masalah Pendataan Warga Penerima Bansos Covid-19 di TrenggalekSelain lukisan karya didik, ada juga lukisan karya Saga, salah satu perupa anggota eFPeTe. Saga merupakan lelaki asal Desa Jatiprahu, Kecamatan Karangan, Trenggalek. Lukisan karya Saga menggambarkan suasana gunung yang mengeluarkan awan panas.Di tengah lukisan itu ada kepala seseorang yang separuh wajahnya seperti ditutupi bunga. Kemudian, di sekeliling kepala itu ada akar-akar pohon berwarna hitam yang menjalar. Namun, Saga tidak memberikan deskripsi tertulis tentang lukisan itu.“Memang sengaja tidak memberikan deskripsi untuk menghindari komunikasi seperti itu [antara pengunjung dengan deskripsi]. Tapi ini tetap salah satu lukisan kolaborasi untuk Pray For Semeru,” jelas Saga.Ada tulisan aksara jawa di lukisan karya Saga. Tulisan itu adalah ‘seje rogo tunggal roso’. Didik menjelaskan, arti tulisan aksara jawa itu adalah beda raga tapi rasanya sama.“Tulisan aksara jawa itu memiliki makna solidaritas. Raganya secara lahiriah badan kita kan berbeda, tapi kami harapkan rasanya sama. Untuk solidaritas kepada korban erupsi Gunung Semeru,” terang Didik.Sayangnya, tidak ada pengunjung yang membeli lukisan-lukisan itu meskipun eFPeTe tidak mematok harganya. Hal itu membuat Didik kecewa.“Padahal itu adalah hal yang paling ringan ketika nyumbang terus dapat lukisan. Harganya pun kami gak mematok berapa kok. Tapi kenyataannya sampai sekarang gak ada yang mau menyumbang. Ini yang saya sangat sayangkan sekali. Jadi jauh dari harapan,” ujarnya.Kabar Trenggalek - Feature