KBRT – Kawasan alun-alun Kabupaten Trenggalek secara hukum ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan bukan kawasan yang diperuntukkan bagi aktivitas Pedagang Kaki Lima. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penataan dan Pengelolaan RTH.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, dan Perdagangan (Komidag) Trenggalek, Saniran, menegaskan bahwa hingga kini tidak ada ketetapan resmi yang menyebutkan kawasan alun-alun sebagai lokasi yang sah bagi pedagang kaki lima (PKL).
“Kebetulan di alun-alun belum ada diperuntukkan untuk PKL. Yang ada, alun-alun itu bagian dari RTH. Kesimpulannya memang bukan peruntukan,” ujar Saniran saat ditemui Kabar Trenggalek.
Dalam kerangka hukum, Saniran merujuk Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 yang mengklasifikasikan lokasi PKL menjadi tiga: lokasi permanen, lokasi tidak permanen, dan lokasi bukan peruntukan. Kawasan alun-alun termasuk kategori terakhir, yakni bukan peruntukan bagi aktivitas PKL.
Sementara itu, terkait eksistensi kelompok pedagang yang mengatasnamakan paguyuban, Saniran menjelaskan hanya ada satu yaitu, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Cabang Trenggalek, yang telah memiliki legalitas dan pengukuhan dari Gubernur Jawa Timur hingga masa berlaku 8 Oktober 2025.
“Secara resmi paguyuban PKL ditampung dalam APKLI. Legalitas asosiasi ini sudah ada akta notaris, pengesahan Kemenkumham, dan dikukuhkan oleh Gubernur,” terangnya.
Meski demikian, legalitas organisasi tidak serta-merta mengubah status Kawasan alun-alun trenggalek menjadi tempat berjualan.
Saat ini, dasar legalitas berjualan pedagang hanya berupa Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diterbitkan melalui sistem OSS (Online Single Submission). Namun, dalam NIB tersebut tidak tertulis lokasi usaha secara spesifik.
“Kalau PKL alun-alun legalitas yang kami punya adalah NIB, dan di sana tidak menyebutkan lokasi perdagangan di mana,” kata Saniran.
Ia juga menambahkan terkait adanya paguyuban selain APKLI tetap sah. Ia mengumpamakan dengan kegiatan sosial keagamaan yang tidak selalu memiliki SK formal.
“Boleh-boleh saja menyebut paguyuban. Pasal 28 menjamin berserikat dan berkumpul. Seperti jamaah yasinan, diba’an, tidak bisa langsung disebut ilegal,” tandas Saniran.
Kabar Trenggalek - Politik
Editor:Lek Zuhri