Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Login ke KBRTTulis Artikel
ADVERTISEMENT

Layar Bawah Bukit, Menghidupkan Sinema Rakyat Trenggalek Dari Desa

Layar Bawah Bukit sukses gelar pemutaran 30 film keliling desa-desa di Trenggalek. Hadirkan kembali suasana layar tancap dan ruang diskusi warga.

  • 28 Jul 2025 08:00 WIB
  • Google News

    KBRT – Di antara rumput lapang dan semilir angin malam, sebidang layar putih berdiri tegak. Di hadapannya, ratusan pasang mata duduk lesehan, berselimut jaket dan tawa. Inilah Layar Bawah Bukit, program pemutaran film keliling yang digagas oleh Kabul Culture Space menyapa beberapa desa di Trenggalek dengan cerita dari layar lebar.

    Tercatat 30 film telah diputar selama program ini bergulir. Dari film dokumenter, fiksi pendek, hingga kisah sosial yang menyentuh – semuanya dikemas dalam suasana khas layar tancap, yang dulu menjadi hiburan utama warga desa sebelum era gawai dan internet mengambil alih.

    Di Lapangan Desa Nglongsor, Kecamatan Tugu, pemutaran ke-6 menjadi salah satu momen paling meriah. Sekitar 400 penonton datang berduyun-duyun sejak sore hari. Anak-anak berlarian, orang tua gelak tawa, dan para remaja duduk bersama di tikar panjang.

    Film-film seperti Pulang, African Roots: The Hearts of Little Black Sheep, Spiral, Bersama Membangun Negeri, hingga Almarhum Ayah atau Istri menjadi menu utama malam itu.

    Tak hanya menonton, warga juga diajak berdiskusi selepas film berakhir. Momen ini menjadi ruang terbuka untuk berbagi perspektif, bertanya, atau sekadar menyampaikan kesan. Dari sinilah, Layar Bawah Bukit Trenggalek tak sekadar memutar film—tetapi juga membangun ruang dialog sinematik di tengah masyarakat.

    ADVERTISEMENT

    Menurut Yanu Andi P., perwakilan dari Kabul Culture Space, kegiatan ini bukan hanya soal menonton film. Tapi bagaimana film menjadi jembatan antara warga, budaya lokal, dan pengalaman kolektif.

    “Layar Bawah Bukit adalah cara kami membawa kembali suasana nonton bareng di ruang terbuka, yang penuh tawa dan refleksi. Film bukan hanya tontonan, tapi percakapan,” jelas Yanu.

    Dampaknya pun terasa nyata. Selama pemutaran, pelaku UMKM lokal turut menjajakan makanan dan minuman. Dari jagung bakar, cilok, kopi seduh, hingga camilan khas desa—semuanya laris manis. Ekonomi kecil hidup, dan warga saling menyapa dalam suasana hangat.

    "Desa Nglongsor menjadi desa terakhir sebelum pemutaran puncak digelar di Gedung Bhawarasa dan Pasar Pon. Sebuah penutup yang simbolik—usi kami keliling ke akar rumput," ujarnya.

    Layar Bawah Bukit membuktikan bahwa di tengah gelombang digital, menonton bersama di bawah langit terbuka masih punya tempat di hati. Dan mungkin, justru di situlah film menemukan maknanya yang paling jujur.

    Kabar Trenggalek - Sosial

    Editor:Lek Zuhri

    ADVERTISEMENT