Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Kuliner Malam Trenggalek: Sepiring Kebahagiaan Nasi Lodeh Tewel di Warung Tumbas

Saat suntuk sedang melanda, urusan asmara jadi memuakkan, dan banyak agenda tak sesuai rencana, maka ngadem keluar rumah selalu jadi opsi solusi.Bersama seorang kawan, aku berniat mendatangi sebuah pameran seni. Nahas, kami melewatkan informasi jam buka.Hari menjelang maghrib, akhirnya kami memutuskan melakukan ekspedisi kuliner malam Trenggalek.Menyusuri jalanan Trenggalek sehabis hujan memang selalu menyenangkan. Hawa dingin, kabut tipis menyelimuti sawah di tepian kota, dan uar aroma air hujan menyentuh tanah kering menyeruak ke mana-mana.Saat kami melaju melewati Jl. Diponegoro Trenggalek, tepat di seberang Plaza Kharisma, tiba-tiba kawanku menunjuk warung angkringan langganannya.“Itu ada lodeh tewel enak,” motor yang kami tumpangi masih melaju pelan. Tanpa pikir panjang kusahut dengan instruksi putar balik. Ia menurut saja.Usai parkir dan melepas helm, aku mengedarkan pandang. Banner bertuliskan ‘Warung Tumbas’ menempel di muka gerobak angkringan. Lalu aku tergelitik membaca upaya promosi pemilik warung ini.Terbentang standing banner dengan muatan ‘Menjual Nasi Demi Sesuap Nasi; Sedia Nasi Lalapan, Nasi Lodeh Tewel, Nasi Bakar’.Kami berdua langsung duduk menghadap jalan raya, memesan dua porsi menu andalan nasi lodeh tewel juga minuman.Kawanku yang memang sudah beberapa kali mampir itu berinteraksi hangat dengan Mugi, pemilik warung. Laki-laki 41 tahun berperawakan agak tambun itu sumringah dan humoris.Tak berselang lama, es teh dan kopi menghampiri meja kami. Dua piring nasi lodeh tewel dengan lauk telur dadar dan tempe keripik segera menyusul. Tak mau menunda, suapan pertama membuat aku tersenyum dan manggut-manggut.[caption id="attachment_62317" align=aligncenter width=1280]kuliner-malam-trenggalek-nasi-lodeh-tewel-warung-tumbas2 Sepiring Nasi Lodeh Tewel yang di jual di Warung Tumbas/Foto: Alvina NA (Kabar Trenggalek)[/caption]Gurih perpaduan rempah-rempah itu meresap sedap dalam potongan nangka muda yang lunak. Menjadi makin sempurna karena ada sensasi renyah dari tempe keripik. Enak juga batinku.Sepiring nasi lodeh tewel yang ada di hadapanku lekas tandas. Aku sempat keheranan mengapa Mugi dan istrinya, Suprihatin, berjualan nasi lodeh tewel berkonsep angkringan di tengah kota sejak 2011 silam.“Dulu di sini yang jualan malam hari itu jarang. Kalau ada menunya mie goreng, nasi goreng, sate. Saya merasa udah jenuh makan kayak gitu, akhirnya saya memutuskan jual menu tradisional, nasi tewel, kan harganya terjangkau. Ternyata jalan juga,” tutur Mugi padaku.Benar saja, sepiring nasi lodeh tewel dibanderol dengan harga 6000 rupiah, 9000 rupiah jika ditambah lauk telur. Belum lagi menu minuman seperti kopi dan susu yang dibanderol hanya 3000 rupiah. Benar-benar terjangkau. Dengan uang 10.000 rupiah kau sudah bisa membeli kebahagiaan yang dijual Warung Tumbas.Sembari aku dan kawanku menghabiskan sisa minuman, aku menanyakan mengapa ia memilih ‘Tumbas’ untuk nama warung miliknya. Sembari mengaduk kopi pesanan, Mugi menjelaskan nama tumbas adalah bahasa Jawa yang memiliki arti ‘beli’.Ia terinspirasi saat mengingat anak-anak kecil di sekitar rumahnya yang membeli di warung. Saat penjual tak berada di warung, mereka akan memanggil ‘tumbas, tumbas’. Tercetuslah nama ‘Warung Tumbas’.“Ya, harapannya kayak namanya, banyak yang beli [jualannya],” ungkap Mugi.Mugi juga menceritakan menu yang ia jual ini disajikan berbarengan dengan makanan khas Trenggalek, tempe keripik. Bahkan, warung kecil yang buka mulai pukul 4 sore hingga pukul 3 dini hari ini akan mengembangkan sajian menu andalannya.“Yang masak istri saya. Menunya nanti akan saya tambah lagi dengan ciri khas Trenggalek, nasi thiwul. Jadi nanti pakai nasi thiwul, lodeh tewel, ikan laut, dan kulupan,” imbuhnya antusias.Keunikan yang terjadi tak berhenti sampai di situ. Mugi bercerita bahwa ia pernah mendapat pelanggan unik. Orang-orang yang tengah mabuk. Itu merupakan tantangan tersendiri baginya.“Mereka teriak-teriak, minta cepat, padahal semua butuh proses. Tetap kami layani, pokoknya ndak bikin kecewa pelanggan. Tapi, ya, harus berani minta [bayar] kalau sudah selesai,” bapak satu anak itu terkekeh mengingat ragam pelanggannya. Ia juga pernah mendapati seseorang menjarah dagangannya.“Saya tinggal ke kamar mandi sebentar, pas kembali lha kok dagangan saya laris, ternyata lauk-lauknya diambil orang gila,” imbuh Mugi santai dan kembali tertawa jenaka.Meski menghadapi sedemikian rupa tantangan, Mugi merasa pekerjaan yang ia lakoni saat ini semua untuk keluarganya. Kini, Mugi dan Suprihatin merasa cukup atas hasil dari warung milik mereka.“Gimana, ya, kalau bilang cukup ya cukup tinggal pola hidup kita lah,” tandas Mugi bersyukur.Aku mengamini apa yang Mugi sampaikan, juga tak sabar menunggu menu baru yang digagas Warung Tumbas. Mencoba kuliner baru dan menemukan yang sesuai dengan selera lidah adalah sebuah keberuntungan. Jika ditambah bertemu penjual yang ramah itu kusebut kebahagiaan. Bahagia karena mendadak dunia terasa baik-baik saja.Aku memutuskan membagikan pengalamanku karena tak mau mati kelebihan bahagia. Beranjak malam, aku dan kawanku berpamitan dan pulang dengan riang gembira.