Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Kiai di Trenggalek dan Anaknya Cabuli 12 Santri, ForMujeres Tekankan Pentingnya UU TPKS

Kiai salah satu pondok pesantren di Trenggalek dilaporkan ke polisi karena melakukan pencabulan kepada 12 santri. Tak hanya kiai, anak (gus) dari pemilik pondok itu juga dilaporkan atas kasus pencabulan.Kasatreskrim Polres Trenggalek, AKP Zainul Abidin, menyebutkan, saat diinterogasi, kiai di Trenggalek dan anaknya sudah mengakui perbuatan cabul itu. Sedangkan tindakan pencabulan itu sudah dilakukan sejak 2021 hingga 2024.Merespons kasus pencabulan ini, Tsamrotul Ayu Masruroh, aktivis Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres), menekankan pentingnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk mewujudkan keadilan bagi korban."Pentingnya penanganan kasus kekerasan seksual dengan menggunakan instrumen UU TPKS ini adalah bisa memberikan kemudahan bagi para korban kekerasan seksual dalam hal pembuktian, pengakuan korban, dan pesan elektronik bisa sebagai alat bukti yang valid," ujar Ayu saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.Ayu menyampaikan, dalam UU TPKS terdapat ancaman pidana bagi pelaku dan semua orang maupun lembaga yang memberikan perlindungan kepada pelaku kekerasan seksual. Selain itu, ada restitusi dari pelaku ataupun dari negara untuk memulihkan kembali kondisi mental, sosial, dan perekonomian korban."Adanya larangan memeriksa atau memproses laporan korban dengan serampangan. Dan juga ada ancaman pidana bagi petugas, polisi, jaksa, hakim jika tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam UU TPKS," ucap Ayu.Ayu menekankan supaya penanganan kasus pencabulan oleh kiai di Trenggalek dan anaknya tidak sekedar menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab, dalam beberapa kasus lainnya, aparat penegak hukum luput untuk menggunakan instrumen hukum UU TPKS."Dengan UU TPKS ini, korban kekerasan seksual bisa lebih mudah mendapatkan akses keadilan. Hal ini berbanding terbalik jika menggunakan UU KUHP, yang menyulitkan korban untuk mendapatkan keadilan," terang Ayu.Ayu mencatat, kasus pencabulan terhadap santri pondok pesantren di Trenggalek ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Sebelumnya di tahun 2021, seorang ustad di salah satu pondok pesantren Trenggalek mencabuli 34 santri.Oleh karena itu, Ayu menilai, terjadinya kasus pencabulan yang dilakukan kiai di Trenggalek dan anaknya, mengindikasikan kurangnya perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek ataupun beberapa pengurus pesantren."Pemerintah ataupun pengurus-pengurus pesantren di Trenggalek tidak mempunyai perhatian lebih dan tidak mengambil pelajaran dari kasus kekerasan seksual yang sebelumnya telah terjadi," ujarnya.Ayu mengatakan, kurangnya perhatian dan evaluasi terhadap penanganan dari pemerintah berpotensi membuat kasus kekerasan seksual terus terjadi berulang kali. Bahkan, kasus yang harusnya menjadi pelajaran malah dilupakan karena dianggap sebagai aib."Pemerintah dan para pengurus pesantren belum bisa mencegah, mungkin mengabaikan, tidak mau tahu, dan justru menganggap bahwa kasus kekerasan seksual adalah aib yang tidak boleh banyak diumbar dan dibicarakan. Kasus tersebut ditutup rapat-rapat, dilupakan, kemudian peristiwanya tidak pernah menjadi pelajaran," tandas Ayu.