KBRT – Harga kelapa di Kabupaten Trenggalek mengalami kenaikan sejak awal Ramadan, Maret 2025 lalu. Kondisi ini memengaruhi pola konsumsi masyarakat, yang mulai beralih ke santan instan.
Muriti (55), ibu rumah tangga asal Desa Sukorame, Kecamatan Gandusari, mengaku sudah hampir dua bulan jarang membeli kelapa.
“Jarang beli kelapa karena mahal, lebih sering beli sayur matang yang praktis atau masak yang tidak pakai santan seperti bikin osengan dan sambal,” ujarnya.
Muriti menyebut, terakhir kali ia membeli kelapa besar seharga Rp 15.000. Dengan kondisi keluarga yang tidak banyak anggota, ia bisa menghemat satu kelapa untuk tiga kali masak. Meski demikian, ia enggan beralih ke santan instan karena menurutnya rasa masakan menjadi kurang enak.
Situasi serupa dirasakan Puji Rahayu, pedagang bumbu dapur dan sembako asal Kelurahan Sumbergedong, Kecamatan Trenggalek.
“Ya sekarang tidak banyak yang beli, intinya keluarga yang masak pakai kelapa semakin sedikit,” kata Puji.
Puji mengatakan, kelapa yang ia dapat dari petani di Dongko terakhir dipatok Rp 14.500 per butir. Dengan harga itu, keuntungan yang ia peroleh hanya sekitar Rp 500 per butir.
Ia menilai harga kelapa tetap tinggi karena banyak pohon kelapa dalam kondisi tidak produktif. Tiga pohon kelapa miliknya bahkan sudah rusak akibat serangan hama kumbang.
Kondisi serupa juga dialami petani kelapa di Dongko dan Pule, pemasok utama kelapa ke pasar Trenggalek.
“Dulu beli untuk jualan sampai 60 butir lebih, sekarang beli 30 butir saja sudah keberatan karena mahal. Bayangkan beli 70 butir saja uangnya sudah jutaan rupiah,” ungkapnya.
Menurut Puji, di lingkungannya kini semakin banyak ibu rumah tangga yang beralih ke santan instan karena lebih murah. Sementara itu, kelapa lebih banyak dibeli oleh pedagang sayur matang maupun penjual jajanan.
“Kelapa dengan ukuran kecil paling murah ya Rp 9.000 atau Rp 10.000, kalaupun naik turun tak sampai 500 perak,” tambahnya.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor:Zamz