Prigi Arisandi, aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetland Conservation (ECOTON), menyoroti persoalan limbah plastik di Trenggalek. Saat berkeliling di Trenggalek pada Rabu (13/12/2023) , ia dan timnya menemukan sungai di Trenggalek dengan tumpukan sampah.Salah satunya, Prigi mendapati tumpukan sampah itu di sekitar Jalan Manikoro No. 3, Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak. Tepatnya di sebelah Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Raudhatul Athfal (RA) Al-Hidayah Karangrejo."Kondisi seperti ini banyak kami jumpai di sungai-sungai Trenggalek. Salah satunya di Karangrejo ini, kami menemukan timbunan sampah di sungai, di badan air. Sungai menjadi sumber kehidupan tapi di sini berfungsi jadi tempat sampah," ujar Prigi melalui video yang diunggah di akun Instagram-nya @prigi.arisandi.Prigi dan tim ECOTON menjumpai banyak sampah yang didominasi jenis sachet. Menurutnya, sachet merupakan salah satu jenis sampah plastik sekali pakai. Sachet juga tidak bisa didaur ulang karena termasuk jenis sampah yang berlapis-lapis."Selain itu kami juga menemui banyak sekali jenis sampah styrofoam kemudian tas kresek. Apabila dibiarkan dia akan terfragmentasi menjadi mikroplastik dan dia akan mengalir sampai ke sungai Brantas," ucap Prigi.Prigi menekankan pemerintah untuk membuat regulasi supaya bisa mengurangi penggunaan plastik sekali. Selain itu, masyarakat juga harus mengurangi pola konsumsi plastik sekali pakai sebagai packaging, seperti kresek dan sachet."Kemudian industri harus mem-packaging atau mendesain sistem delivery mereka agar tidak kemudian mengirim produk dalam bentuk sachet. Mereka juga bertanggung jawab untuk mengelola sampah yang tidak bisa diolah secara alami," terang Prigi.
Dampak Sampah Plastik Sekali Pakai
[caption id="attachment_59342" align=aligncenter width=1280] Tumpukan sampah plastik di sungai Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek/Foto: Prigi for Kabar Trenggalek[/caption]Saat ditemui Kabar Trenggalek, Prigi menjelaskan dampak dari pola hidup masyarakat yang terbiasa dengan plastik. Selain mencemari lingkungan, kebiasaan memakai plastik juga berbahaya bagi kesehatan."Makanan kotak dengan plastik itu juga resiko kesehatannya tinggi. Jadi kalau dibungkus plastik, dibungkus sachet, itu kan ada kontaminasi bahan-bahan aditif. Jadi dari biji plastik menjadi wadah plastik itu kan ada banyak ada sekitar 14.000 bahan tambahan," jelas pendiri Yayasan ECOTON itu.Prigi menyampaikan, sampah plastik sudah berbahaya bahkan sebelum dibuang ke sungai. Ketika mengonsumsi makanan dengan kemasan plastik, ada potensi gangguan hormon. Ia menyebutkan salah satu temuan di ECOTON, anak perempuan di sekolah dasar (SD) sudah menstruasi lebih awal."Anak-anak SD ini sudah mulai mens, padahal itu kan belum matang sebenarnya. Karena asupan senyawa pengganggu hormon yang ada di plastik itu," kata Prigi.Saat sampah plastik dibuang ke alam, lanjutnya, ada kemungkinan menjadi mikroplastik. Perlu diketahui, mikroplastik berasal dari sampah-sampah plastik yang dibuang ke sungai. Sampah plastik itu tidak terurai dan hilang, tetapi hanya akan terpecah menjadi mikroplastik.Mikroplastik yang telah menumpuk atau terakumulasi di lingkungan akan mempengaruhi kesehatan lingkungan beserta biota yang ada di dalamnya. Bahaya mikroplastik yaitu dapat menyerap dan mengangkut bahan kimia beracun di lingkungan menuju rantai makanan manusia.Oleh karena itu, sebagai upaya mitigasi limbah sampah plastik, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek harus menyediakan tempat sampah di desa-desa. Sebab, tanpa tempat sampah, dampak limbah sampah yang dibuang itu akan sulit dikontrol."Tempatkan tempat sampah di banyak tempat, apalagi di tepi sungai. Jangan sampai orang itu membuang sampah ke sungai. Kalau sudah di sungai, sampah kan enggak terkontrol kan ke mana-mana gitu," jelas Prigi.Menurut Prigi, Pemkab Trenggalek juga harus membuat regulasi di setiap desa untuk menyediakan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Konsep TPST menggunakan reduce, reuse, recycle (3R). Kemudian, pemerintah harus membuat aturan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai.Kritik yang disampaikan Prigi juga berdasarkan pengalaman jelajah sungai di penjuru Indonesia pada tahun 2022. Prigi dan tim ECOTON menjalankan Ekspedisi Sungai Nusantara.Salah satu hasil penjelajahannya, mereka mendapatkan data bahwa hanya 40% masyarakat Indonesia yang mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah dari pemerintah kabupaten/kota.Hasil Ekspedisi Sungai Nusantara juga menunjukkan komposisi sampah paling banyak 60% adalah sampah organik dapur. Seharusnya, pemerintah bisa menyelesaikan persoalan sampah di tingkat rumah tangga."Indonesia itu menjadi negara terbesar kedua yang menyumbang sampah plastik ke lautan. Makanya itu, pemerintah [pusat] punya target 2030 kita tidak boleh lagi menggunakan sampah, menggunakan plastik sekali pakai. Nah, mestinya di desa itu harusnya selesai [terkait penanganan sampah]," tandas Prigi.
Ikuti Breaking News dan Berita Pilihan kami langsung di ponselmu.