Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Mangrove di Jawa Timur Semakin Kritis, Degradasi 841 Hektare Setiap Tahun

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur menyoroti ancaman terhadap mangrove di Jawa Timur. Komitmen pemerintah dalam pemulihan kawasan mangrove dipertanyakan.Dalam Peta Mangrove Nasional 2021, Provinsi Jawa Timur menjadi wilayah dengan luasan mangrove terbesar di Pulau Jawa dan Bali. Total hutan mangrove 27.221 hektare tersebar di sepanjang pesisir utara dan selatan. Komposisinya, 47,26% merupakan mangrove kerapatan lebat, 46,08% mangrove kerapatan sedang dan 6,66% mangrove kerapatan jarang.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wim Giesen dalam "Indonesian mangroves: an update on remaining area and main management issues", mangrove di Jawa Timur pada tahun 1985 memiliki luas sebesar 57.500 hektare. Artinya, ada degradasi sebesar 30.279 hektare dalam kurun waktu 36 tahun. Apabila dihitung, kawasan mangrove di Jawa Timur mengalami degradasi sebesar 841 hektare setiap tahun."Merujuk pada hasil pemantauan WALHI Jawa Timur di dua tempat yakni Madura dan Surabaya. Kami memperkirakan pada wilayah Madura pada 2023 terdapat penurunan kawasan mangrove sekitar 3000 – 5000 hektare, hal ini dapat dilihat dari semakin berkurangnya sebaran hutan bakau di empat kabupaten di Madura," ujar Lucky Wahyu Wardhana, Staf Kampanye dan Jaringan WALHI Jatim.Dari total 15.118,1 hektare yang tersebar di empat kabupaten, kini tersisa sekitar 10.000 Ha saja. Merujuk pada hasil riset yang dikeluarkan oleh program studi kelautan Universitas Trunojoyo Madura dari total 15,118,1 hektare sebesar 6.324 hektare (41,8%) kawasan mangrove dalam kondisi rusak.Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur mencatat kawasan mangrove di Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) dan temuan lapangan WALHI Jawa Timur, mengungkapkan keadaan mangrove di Surabaya terus mengelamai penyusutan. Sebelumnyabkawasan mangrove seluas 3.300 hektare pada 1978 menyusut menjadi 2.504 pada 2020, dan diperkirakan kini tersisa 1.500- 2000 hektare."Penyusutan ini terjadi akibat alih fungsi kawasan mangrove menjadi perumahan. Sampai saat ini pun alih fungsi lahan menjadi masalah utama degradasi kawasan mangrove yang ada di Jawa Timur," ucap Lucky.Kendati berbagai upaya pemulihan dan pengelolaan mangrove telah dicanangkan oleh pemerintah provinsi, pemerintah kota dan kabupaten namun nyatanya degradasi kawasan mangrove masih terus terjadi.WALHI Jawa Timur menelaah lebih dalam kesalahan mendasar pada level kebijakan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur hasil dari integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K). Mereka menilai RTRW di level daerah yang berantakan ditambah regulasi yang tumpang tindih menjadi faktor utama sulitnya pelaksanaan pemulihan dan perlindungan kawasan mangrove."Sebagai contoh penetapan kawasan strategis nasional (PSN) seperti di Surabaya yang baru-baru ini ditetapkan sebagai kawasaj Proyek Starategis Nasional (PSN) waterfront city, sangat bertentangan dengan status kawasan lindung pesisir, karena akan memicu degradasi pesisir serta rusaknya kawasan mangrove di Surabaya," kata Lucky."Apa yang terjadi di Surabaya merupakan bentuk kebijakan salah arah dari pemerintah nasional yang dilegitimasi oleh penataan ruang di daerah. Sehingga lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada pemulihan kawasan pesisir," tambahnya.WALHI Jawa Timur menilai, implikasi dari bermasalahnya aneka regulasi ini menyebabkan banyak sekali penerbitan izin pembangunan secara sembarangan di kawasan mangrove yang seharusnya menjadi kawasan lindung. Salah urus pada level kebijakan ini ditanggulangi dengan program yang tidak tepat sasaran, seringkali fokus pemerintah ada pada penanaman kembali (reboisasi) hutan mangrove."Masalahanya adalah alih fungsi kawasan mangrove terus terjadi setiap tahun artinya penanaman kembali hanya jadi kebijakan tambal sulam padahal yang dibutuhkan adalah menghentikan alih fungsi kawasan mangrove terus berlangsung," terang Lucky.Oleh karena itu, untuk menangani masalah mangrove, WALHI Jawa Timur menegaskan bukan hanya dibutuhkan komitmen yang serius oleh pemerintah, namun perlu ada kesadaran ekologis serta pemahaman yang menempatkan pelestarian lingkungan sebagai hal utama dalam kebijakan pembangunan."Kehendak politik dalam penataan ruang sehingga praktik alih fungsi kawasan mangrove bisa dihentikan, dan regulasi yang ketat dalam pengelolaan kawasan lindung dengan prinsip penanggulangan bencana dan krisis iklim," imbuh Lucky.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *