WALHI: Tata Kelola Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia Mundur
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkapkan sebut tata kelola perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia mundur. Salah satunya, karena ada regulasi yang tidak dijalankan dengan baik.Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI, menyebutkan sejak sejak tahun 2022 lalu, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah melakukan diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove."Sampai sejauh ini, pembahasan RPP ini masih belum begitu masif dilakukan dan mengundang berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat pesisir baik laki-laki maupun perempuan," kata Parid dalam rilis di laman WALHI.Berdasarkan kajian WALHI yang tercantum dalam dokumen "Kertas Posisi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia", RPP Mangrove, memiliki sejumlah catatan serius."Pertama, RPP ini belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Dengan kata lain, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun oleh masyarakat belum terlihat dalam RPP ini. Lebih jauh, tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara," terang Parid.Kedua, RPP ini tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif. Terdapat sejumlah pasal yang jelas-jelas melegalkan perusakan ekosistem mangrove, khususnya Pasal 16 dan 18. Kedua pasal ini melegalkan konversi ekosistem mangrove."Ketiga, RPP ini sangat terlambat jika melihat UU induknya, yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan kata lain, setelah UU itu disahkan pada 2009, baru 14 tahun kemudian ada aturan turunan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove," jelas Parid.Keempat, RPP ini memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. RPP ini seharusnya menggunakan sanksi pidana jika merujuk kepada UU 32 Tahun 2009. Namun sayangnya, RPP malah menggunakan sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove."Dari sini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU 32 Tahun 2009, tetapi merujuk kepada UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi," ucap Parid.Kelima, RPP ini tidak menempatkan mangrove dalam konteks mitigasi bencana yang melibatkan masyarakat lokal. Hal ini penting ditegaskan mengingat masyarakat lokal–baik laki-laki maupun perempuan–memiliki pengetahuan dan pengalaman lapangan karena mereka bersentuhan setiap hari dengan ekosistem mangrove."Pada titik ini, pendekatannya semestinya bukan hanya bersifat akademis dan teknokratis yang dilakukan di belakang meja, melainkan juga pendekatan berbasis pengetahuan lokal," tegas Parid.Keenam, pada tahun-tahun politik elektoral seperti saat ini, RPP Perlindungan dan Pemberdayaan Ekosistem Mangrove disusun tidak benar-benar untuk melindungi keberadaan mangrove dan masyarakat pesisir."Sebaliknya, RPP ini memperlihatkan pemerintah Indonesia ingin melakukan kampanye ke dunia internasional, dengan tujuan untuk mendapatkan pendanaan iklim," kata Parid.Dari berbagai catatan tersebut, Parid menjelaskan tata kelola mangrove setelah tahun 2020 di Indonesia mengalami kemunduran serius dibandingkan dengan sebelum tahun 2010.Pada Tahun 2007 dan 2009, Indonesia punya undang-undang yang melindungi mangrove dan menetapkan sanksi pidana lingkungan kepada pelaku perusakannya. Kedua undang-undang itu adalah UU No. 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014 dan UU No. 32 Tahun 2009."Namun, saat ini setelah tahun 2020, sanksinya hanya berupa sanksi administrasi bagi perusak mangrove. Lahirnya UU Cipta Kerja, termasuk UU Minerba merupakan gerak mundur perlindungan mangrove di Indonesia," ungkap Parid.Parid menegaskan kampanye perlindungan dan pengelolaan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di berbagai forum internasional, termasuk penyusunan peta mangrove, tak akan memperbaiki ekosistem mangrove dalam jangka menengah maupun jangka panjang.“Apalagi jika mangrove dijadikan objek perdagangan karbon. Ini merupakan kemunduran yang sangat besar,” tandas Parid.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow