Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Dasar Hukum Penahanan Tak Berlaku, Tiga Petani Pakel Banyuwangi Harus Bebas

Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal 14 dan 15 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Kamis (13/03/2024). Kedua pasal itu tentang larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Pencabutan tersebut berdampak pada kasus kriminalisasi terhadap warga yang kritis, seperti konflik agraria di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.Tiga petani Pakel Banyuwangi yang dikriminalisasi yaitu Suwarno (Kepala Dusun Durenan), Untung (Kepala Dusun Taman Glugo) dan Mulyadi (Kepala Desa Pakel). Mereka divonis penjara 5 tahun 6 bulan atas tuduhan menyebarkan berita bohong terkait kepemilikan tanah di Desa Pakel, yang mana hingga hari ini masih bersengketa dengan perkebunan PT Bumisari.Harun, Ketua Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP), mengatakan seharusnya tiga petani Pakel dibebaskan setelah MK mencabut pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Ia menyayangkan penahanan terhadap para pejuang agraria tanpa dasar hukum."Pasal 14 dan 15 itu sudah dihapus, dan yang dituduhkan kepada Pak Suwarno, Pak Untung, juga Pak Mulyadi itu adalah dasarnya itu pasal 14 dan 15. Pasalnya sudah dihapus ya ketiga pejuang pakel ini harus segera dibebaskan. Harus bebas. Kenapa kok masih ditahan?" ujar Harun saat ditemui Kabar Trenggalek.Harun juga kecewa dengan Mahkamah Agung (MA) yang tak kunjung memberi respons terkait tuntutan pembebasan tiga petani Pakel. Mengingat, selama bulan ramadhan kemarin, para petani di Desa Pakel mendapat serangan dari PT Bumisari. Selain itu, di momen Idul Fitri, tiga petani Pakel tidak bisa berkumpul dengan keluarganya."Apalagi ini di bulan ramadhan kan ada dampak terhadap keluarga. Keluarga juga butuh [tiga petani Pakel] untuk menafkahi anaknya, cucunya, istrinya. Hari Raya Idul Fitri enggak ngumpul di rumah," ucap Harun.Harun berharap, tiga petani Pakel harus segera dibebaskan setelah MK mencabut pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Para petani di Desa Pakel tak ingin terus dipermainkan oleh pemerintah atas konflik agraria tersebut."Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa pasal 14 dan 15 UU nomor 1 tahun 1946 itu sudah dicabut, tapi sampai saat ini ketiga warga Pakel ini belum juga dikeluarkan. Ya harapannya cepat-cepat dikeluarkan. Jangan mempermainkan masyarakat kecil," tandas Harun.[caption id="attachment_71522" align=aligncenter width=1280]hgu-pt-bumisari-bpn-banyuwangi-sumber-konflik-agraria-pakel Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Banyuwangi/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)[/caption]Sebelumnya, Harun menjelaskan sumber konflik agraria di Pakel adalah Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumisari yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi. HGU itu berlaku mulai 2019 hingga 2034.Harun mengkritisi HGU yang diterbitkan tahun 2019 itu berkebalikan dengan pernyataan BPN Banyuwangi tahun 2018. Melalui surat nomor 280/600.1.35.10/II/2018 tanggal 14 Februari 2018, BPN Banyuwangi menyatakan HGU PT Bumisari tidak ada di Pakel.“Akar dari semua permasalahan di Pakel ini ya HGU yang diterbitkan oleh BPN Banyuwangi tahun 2019. Padahal sebelumnya tahun 2018 itu, BPN Banyuwangi menyatakan di Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumisari,” ujar Harun.Harun menyampaikan, penerbitan HGU PT Bumisari tahun 2019 itu tidak dikoordinasikan secara transparan dengan petani Pakel. Selain itu, petani Pakel mempertahankan tanahnya dengan dasar Surat Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor: 188/402/KEP/429.011/2015, tanggal 5 Agustus 2015, tentang Batas Desa Pakel.Petani Pakel juga memiliki dasar dari Surat Ijin Membuka Tanah atau akta 1929, yang dikeluarkan oleh Bupati Banyuwangi ke 11, Raden Adipati Aria Mohamad (RAAM) Notoadisoerjo, pada 11 Januari 1929.[caption id="attachment_70791" align=aligncenter width=1280]kronologi-serangan-petani-pakel-pt-bumisari-banyuwangi Segerombol sekuriti PT Bumisari dan diduga preman bayaran sempat menyerang petani Pakel/Foto: Dokumentasi RTSP[/caption]“Karena ada dasar akta 29 itu, kemudian warga membuka hutan. Jadi hutan itu yang buka bukan dari Belanda atau perkebunan Bumisari. Yang membuka untuk lahan pertanian itu warga. Tanam jagung, dan apapun yang bisa dimakan oleh warga pada zaman itu,” terang Harun.Dampak dari HGU PT Bumisari yang diterbitkan BPN Banyuwangi membuat petani Pakel tak kunjung mendapatkan hak untuk mengelola tanah di desanya. Pada bulan suci ramadhan ini, tepatnya tanggal 2 hingga 14 Maret 2024, petani Pakel mengalami berbagai intimidasi dan kekerasan fisik.“Dampak dari HGU untuk yang pada bulan puasa Ini kan sangat besar, dengan adanya penyerangan oleh PT Bumisari, rakyat diintimidasi, mau dibacok, ada yang dipukul sampai pingsan. Itu adalah sebuah bentuk dampak dari HGU yang dikeluarkan oleh Pertahanan Banyuwangi. Itu nyawa taruhannya warga itu,” tegas Harun.Harun menceritakan, ratusan pekerja maupun satpam PT Bumisari membawa senjata tajam untuk menebangi tanaman milik petani Pakel. Pekerja dan satpam juga mengintimidasi dengan menyabitkan senjatanya kepada petani Pakel yang mempertahankan tanah.“Negara itu juga harus hadir. Karena kami selaku warga Indonesia juga butuh perlindungan, butuh aman hidup di Indonesia ini. Kalau sebagian warga yang berkonflik dengan perkebunan kemudian orangnya juga mau dibacok, terus negara ini diam, di mana ketentraman dan keamanan warga Pakel?” ucap Harun.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *