Obral Hak Guna Usaha di IKN, KPA: Suburkan Korupsi Agraria dan Mafia Tanah
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyoroti keputusan Presiden Joko Widodo yang secara resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.75/2024 tentang Percepatan Ibu Kota Nusantara (IKN).Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika, menyampaikan perpres yang memberikan hak istimewa kepada para investor melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun dan HGB selama 160 tahun itu bisa menyuburkan korupsi agraria- SDA, mafia tanah, spekulan tanah, dan praktik land banking."Perlu dicatat, selama ini pemberian/perpanjangan HGU-HGB serta akumulasi konflik agraria berjalan beriringan dengan praktik mafia dan korupsi agraria. Sayangnya jejaring mafia, perilaku koruptif, kolutif dan nepotisme di seputar pemberian HGU perkebunan relatif jarang dibongkar oleh Satgas Mafia dan KPK," ungkap Dewi dilansir dari rilis KPA.Dewi menilai sistem ekonomi-politik agraria yang koruptif itu memberi dampak kepada berbagai aspek. Seperti ketertutupan informasi HGU-HGB yang masih diterus-teruskan, penerbitan/perpanjangan HGU/HGB yang jarang diumumkan secara adequate ke publik, hingga minus penertiban dan pemberian sanksi kepada pengusaha."Maka obral-obral HGU-HGB lewat penerapan Perpres 75/2024 hanya akan menambah subur praktik mafia dan korupsi agraria yang berkelindan dengan akumulasi kekayaan oleh segelintir kelompok," ujar Dewi.Dwi menjelaskan, para spekulan tanah, korporasi kebun dan pengusaha properti yang selama ini telah sukses mengakumulasi asset kekayaan berupa tanah, akan semakin secured untuk melakukan pencadangan asset tanah (land bangking).Dewi mengatakan, perpres 75/2024 mempertegas kewenangan Otoritas IKN yang begitu luas dan powerfull, termasuk dalam hal pengadaan dan pengelolaan tanah sebagai diatur dalam UU No.21/2023 tentang Perubahan atas UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara."Bagaimana tidak, Otorita IKN adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara," ujar Dewi."Semakin super, sebab terkait agraria (pertanahan-kehutanan-perairan-kekayaan alam), teritorial IKN akan mencakup lebih dari 250 ribu hektar tanah dan 50 ribu hektar wilayah perairan. Belum lagi pengembangan bisnis di seputarnya," tambahnya.Selanjutnya Otorita IKN memiliki kewenangan dan previledge sebagai berikut.: 1) Pengadaan tanah; 2) Penetapan lokasi pengadaan tanah di IKN; 3) Otorita IKN diberi hak pakai dan/atau HPL; 4) Berhak mengikatkan diri dengan setiap individu atau badan hukum atas perjanjian hak atas tanah (HAT) di IKN; 5) Memberikan jaminan perpanjangan dan pembaruan HAT (HGU/HGB/HP) di atas HPL; Memberikan persetujuan atas pengalihan HAT di IKN; Memiliki hak untuk diutamakan dalam pembelian tanah di IKN.Dewi menambahkan, operasionalisasi otorita juga ditopang oleh UUCK alias Perppu CK dan berbagai produk hukum turunannya. Lebih-lebih, konsepsi HPL yang dirancang UUCK/Perppu CK merupakan bentuk HMN yang tidak sesuai UUPA."HPL seolah menjadi jenis hak atas tanah yang baru, dan telah menghidupkan azas Domein Verklaring. Dulu azas ini digunakan pemerintah kolonial untuk mengakuisisi tanah penduduk secara sepihak atas nama kepentingan Negara Hindia Belanda dan atas nama pembangunan," terang Dewi.Oleh sebab itu, dengan mengantongi kewenangan Hak Menguasai dari Negara (HMN) atas tanah melalui HPL, siklus HGU-HGB yang fantastis bagi investor, prinsip good-land governance yang masih menjadi pekerjaan rumah besar."Ketertutupan informasi HGU-HGB selama ini, serta sanksi bagi investor IKN yang tidak jelas, maka potensi abuse of power oleh Otorita semakin terbuka lebar," ucap Dewi.Menurut Dewi, pemerintah harus menjalankan Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 yang telah menegaskan kembali prinsip dasar HMN. Bahwa HMN merupakan kewenangan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan atas tanah sesuai pasal 33 ayat 3 UUD 1945.Perpres No.75/2024 ini menawarkan empat bentuk kerugian kepada masyarakat yang terdampak nantinya, yakni uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, serta bentuk lainnya yang disepakati oleh kedua belah pihak.Akan tetapi, beleid ini bisa berujung petaka bagi masyarakat, sebab memasukkan klausul bahwa Badan Otoritas IKN diperkenankan memilih jalur konsinyasi dengan masyarakat jika tidak ada bentuk ganti kerugian yang disepakati."Sejarah membuktikan, dalam setiap kasus pengadaan tanah, pemerintah selalu mengintimidasi masyarakat terdampak dengan jalur konsinyasi apabila mereka tidak setuju nilai ganti kerugian atau menolak digusur oleh proyek pembangunan," terang Dewi."Sebab itu, pasal ini membuka lebar potensi praktik-praktik manipulatif terhadap proses ganti kerugian tanah masyarakat yang terdampak proyek pembangunan IKN," imbuhnya.Proses pengadaan tanah di IKN dilakukan melalui dua mekanisme, yakni secara langsung dan pelepasan kawasan hutan. Adanya mekasnime pelepasan kawasan hutan berpotensi menambah tingkat deforestasi secara besar-besaran di Kalimantan, khususnya di IKN."Sebab UU IKN memperbolehkan hal itu terjadi agar investor dapat memperoleh HGU," kata Dewi.Apa capaian dan satus pelaksanaan Reforma Agraria (RA) sepanjang 9 tahun terakhit di Kalimantan Timur?Sebagaimana diketahui, pemerintahan Jokowi berjanji menjalankan RA seluas 9 juta hektar untuk memperbaiki ketimpangan dan menuntaskan konflik agraria. Sumber tanah untuk rakyat dalam kerangka reforma agraria adalah berasal dari HGU dan HGB bermasalah.HGB bermasalah itu seperti konsesi expired, terlantar, maupun yang bersifat tumpang-tindih dengan tanah masyarakat, hingga wilayah konflik agraria. Reforma Agraria juga mencakup koreksi terhadap klaim-klaim negara atas kawasan hutan, dari proses pelepasan dan perubahan batas kawasan hutan."Apa jadinya apabila pembangunan IKN dijalankan tanpa pemahaman krisis dan data agraria yang lengkap dan akurat? Sayangnya sampai dengan hari ini, Pemerintah belum pernah menyajikan laporan capaian dan hasil evaluasi pelaksanaan reforma agraria di Kalimantan Timur secara utuh dan terbuka," tandas Dewi.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow