Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account
ADVERTISEMENT
Fighter 2024

KPA: Hukum Hak Guna Usaha di IKN Lebih Buruk dari Zaman Kolonial

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai hukum Hak Guna Usaha (HGU) di Ibu Kota Nusantara (IKN) lebih buruk dari zaman kolonial. Sebab, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.75/2024 tentang Percepatan IKN, yang memberikan hak istimewa kepada para investor melalui konsesi HGU selama 190 tahun dan HGB selama 160 tahun.Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika, mengatakan pemerintahan saat ini seperti ahistoris akan sejarah kelam bangsa ini di bidang agraria pada masa kolonial. Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870 yang memberikan konsesi atas tanah paling lama 75 tahun. Penerapan UU ini mengakibatkan terjadinya perampasan tanah dan kemiskinan yang akut masyarakat yang berada di sekitar konsesi."Sungguh ironis, justru di alam kemerdekaan dan di masa Reformasi ini, UUPA kembali dikhianati dengan membuat aturan yang lebih buruk dan lebih jahat dibandingkan kebijakan produk kolonial di masa lalu," ujar Dewi melalui rilis KPA.Dewi menyebutkan, di zaman kemerdekaan, Agrarische Wet dicabut melalui UUPA 1960. Saat itulah mulai didorong usaha-usaha pembaruan paradigmatik politik dan hukum agraria secara fundamental. Usaha landreform ini bertujuan memulihkan sistem agraria Indonesia yang mengalami krisis akibat dirampas dan dieksploitasi oleh pemerintahan kolonial."Apa yang dilakukan Presiden bersama jajarannya ini di IKN kami nilai sebagai sebuah pembangkangkan terhadap konstitusi dan demokrasi. Sebab dilakukan secara diam-diam dan menerabas berbagai aturan yang ada di atasnya," ucap Dewi.Dewi menyoroti, periode September tahun 2023, Pemerintah dan DPR secara senyap, jauh dari pantauan publik mengesahkan Revisi UU IKN dengan memasukan beleid HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun dengan alasan untuk memantik minat investor untuk masuk ke IKN.Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) mengatur HGU maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 25 tahun bila memenuhi syarat. Untuk HGB, undang-undang ini mengatur haknya maksimal 30 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 20 tahun. Angka ini jauh berbeda dengan HGU dan HGB yang ada di IKN.Selain itu, UUPA 1960 sudah mengatur bahwa perpanjangan hak hanya dapat dilakukan sepanjang pemilik hak masih memenuhi syarat sesuai aturan UUPA 1960. Perpres ini terbukti melanggar Pasal 28 sd. 40 UUPA.Sebab UU tersebut tidak pernah memandatkan pemberian HGU, HGB dan Hak Pakai dengan perpanjangan dan pembaruan hak dalam satu siklus pemberian hak."Parahnya, Perpres 75/2024 kebablasan dengan menjamin pemberian hak dalam dua siklus; 2 x 95 tahun untuk HGU, 2 x 80 tahun untuk HGB dan HP. Inilah pelanggaran fundamental terhadap UUPA," terang Dewi.Menurut Dewi, Presiden Joko Widodo bersama jajarannya telah mengingkari serajah dan prinsip kemerdekaan bangsa ini di bidang agraria yang telah digariskan oleh para pendirinya (the founding fathers).UUPA 1960 sebagai payung hukum agraria nasional merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pasal 33 UUD 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia.Dewi mengatakan, alih-alih menjalankan UUPA 1960 ssecara konsekuen, Presiden Joko Widodo bersama jajarannya kembali lagi mempetieskan UUPA sebagai modus politik untuk menerbitkan UU sektoral pro pemodal, khususnya bagi pembangan IKN."Pemerintah saat ini layaknya penjelmaaan Orde Baru. Sebab jelas-jelas mengabaikan keberadaan hukum agraria tertinggi setelah UUD 1945, dan yang masih hidup di republik ini, yaitu UUPA 1960," ungkap Dewi.Putusan MK telah menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sekaligus di muka (pemberian hak, perpanjangan dan pembaruannya) berupa 95 tahun HGU, 80 tahun HGB dan 70 tahun Hak Pakai melanggar Konstitusi.Putusan MK ini berkaitan dengan amar putusan atas permohonan judicial review organisasi masyarakat sipil terhadap UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.Penggunaan konsep “siklus pemberian” dalam Perpres 75/2024 ini sama saja makna, maksud dan tujuannya dengan konsep “di muka sekaligus” dalam UU Penanaman Modal."Artinya, sama-sama bertujuan memberikan, memperpanjang dan memperbaharui HGU/HGB/HP sekaligus dalam satu siklus pemberian hak," terang Dewi.Perpres 75/2024 merupakan turunan dari UU No.21/2023 tentang Perubahan atas UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara.UU tersebut merupakan hasil dari UU Cipta Kerja. Pembangunan IKN oleh Otoritas juga akan ditopang oleh UU Pengadaan Tanah dan UU Penanaman Modal hasil perubahan UU Cipta Kerja.Termasuk beberapa aturan turunannya, misalnya PP 19/2021 tentang Pengadaan Tanah; PP 18/2021 tentang HPL dan Hak Atas Tanah; PP 64/2021 tentang Bank Tanah; dan PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.Dengan demikian, lanjut Dewi, sebagaimana UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat, maka Perpres ini pun bersifat inkonstitusional. Oleh sebab itu pelaksanaan Perpres ini bersifat melawan konstitusi."Isi Perpres ini juga merupakan kebijakan yang bersifat strategis dan akan berdampak luas. Lebih-lebih Perpres ini juga menyebabkan kontradiksi hukum dengan banyak putusan MK lainnya," ujarnya..Kurang lebih satu dekade terakhir, Catatan Akhir Tahun KPA melaporkan bahwa bisnis di sektor perkebunan dengan masalah HGU-nya menjadi penyebab konflik agraria tertinggi setiap tahunnya.Dewi memaparkan, dari 2.939 letusan konflik agraria di era Pemerintahan Jokowi (2015-2023), 1.131 letusan konflik agraria adalah akibat penguasaan dan perpanjangan HGU oleh perusahaan perkebunan. Belum lagi persoalan HGU expired dan tanah terlantar yang jumlahnya jutaan hektar dan tidak kunjung ditertibkan oleh pemerintah."Sistem perkebunan dan pemberian/pencabutan HGU di Indonesia dikenal buruk; sarat dengan perampasan tanah petani dan masyarakat adat; sarat juga kekerasan dan pelanggaran HAM," ucapnya.Menurut Dewi, situasi ini ditopang oleh ketertutupan informasi HGU, ditambah proses-proses pelepasan dan tukar-guling kawasan hutan berkutat pada kepentingan ekspansi sawit."Dengan sistem ekonomi- politik agraria-kehutanan yang semacam ini, maka tidaklah mengherankan pusat-pusat perkebunan monokultur di Indonesia, seperti bisnis sawit menjadi epistentrum konflik agraria," tandas Dewi.