KBRT - Siang itu, suasana asrama Pondok Pesantren Modern di Watulimo, Trenggalek, tampak tenang. Namun, di balik keteduhan halaman pesantren, ada denyut semangat yang tak pernah padam dalam diri Azzam Fairuz Shofa (15).
Pelajar kelas 9 ini tak hanya tekun menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, tapi juga menjadi taring di atas matras pencak silat. Santri berprestasi asal Kecamatan Watulimo ini sudah mengantongi empat gelar kejuaraan silat di berbagai level—kabupaten, provinsi, hingga nasional.
Berbadan ramping dengan tinggi 158 cm, Azzam adalah sosok yang kalem dalam keseharian. Namun, di atas arena tanding, ketangkasannya tak bisa diremehkan.
Sejak duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah (MI), ia telah mencetak prestasi: Juara 2 UMS Cup 2020, Juara 2 Jatim Open 2022, Juara 3 Sumpah Mukti Majapahit, dan yang terbaru, Juara 1 Kejuaraan Wilayah Jawa Timur pada bulan lalu.
“Awal mula kenal silat karena ikut-ikutan sejak kelas 3 SD sampai sekarang,” ujar Azzam saat ditemui di pondoknya.
Ketertarikan itu awalnya tumbuh dari kebiasaan menonton teman-temannya berlatih di sekitar rumah. Namun, dorongan dari orang tua menjadi api yang mengobarkan semangatnya hingga kini. Azzam awalnya menapaki dunia silat lewat kategori seni. Namun, atas saran orang tua, ia beralih ke kategori tanding hanya setahun kemudian.
Kini, setiap pekan Azzam berlatih empat kali di bawah bimbingan pelatih Tapak Suci di Muhammadiyah Boarding School (MBS) H. Suyoto Watulimo.
“Kalau sudah mendekati pertandingan, biasanya latihan setiap hari,” katanya.
Namun perjalanan menuju podium tidaklah mudah. Cedera dan kelelahan sudah menjadi teman karib dalam latihan maupun pertandingan.
“Dukanya ya sakit, capek. Pernah cedera ankle, rasanya sakit banget. Biasanya ditunggu sekitar tiga hari baru sembuh,” ujarnya lirih, namun tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.
Berada di kelas berat 60 kilogram, Azzam punya ritual khusus menjelang pertandingan. Bukan hal mistik, tapi bentuk kedisiplinan diri: menjaga pola makan, tidak menyentuh mie instan atau es, dan tentu, doa.
“Sebelum tanding saya tidak makan es, makan mie, melihat timbangan, mempersiapkan alat, pemanasan, kemudian berdoa,” ucapnya.
Di luar lapangan, Azzam tetap bersinar. Ia adalah santri yang kini telah hafal 9 juz Al-Qur’an. Jadwalnya padat—dari mengaji, belajar, hingga berlatih. Tapi ia menjalaninya tanpa mengeluh. Jika ditanya pelajaran favorit, jawabannya singkat: PJOK. Namun cita-citanya tak sesederhana itu. Azzam ingin menjadi dokter.
“Jadi atlet itu menyenangkan, tapi saya ingin jadi dokter. Karena bisa membantu orang,” ungkapnya.
Perjalanan Azzam menjadi inspirasi bahwa prestasi tidak dibatasi ruang dan waktu. Pondok pesantren bukan sekadar tempat mengaji, melainkan juga bisa menjadi pusat lahirnya atlet berprestasi. Dan bagi Azzam, perjuangan di atas matras maupun di atas sajadah adalah dua sisi yang saling melengkapi.
Ketika anak-anak seusianya mungkin masih bingung memilih arah, Azzam telah menancapkan panji: menjadi hafiz sekaligus jawara.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz