Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Login ke KBRT

Berjuang Tanpa Suara: Anak SMP di Trenggalek Korban Bully dan Ayahnya yang Tak Pernah Menyerah

  • 23 Jul 2025 08:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Pagi itu, cahaya matahari mulai menembus sela-sela dinding rumah kayu di lereng perbukitan Kecamatan Bendungan. Udara sejuk masih bertahan di antara sempitnya ruang dan tanah lembab yang menjadi alas utama rumah kecil itu.

    Di salah satu sudut, seorang anak laki-laki duduk diam menatap langit-langit. Pandangannya kosong, tetapi dalam diamnya, ada cerita yang belum selesai.

    Anak laki-laki itu—Inisial N, kini duduk di bangku kelas 2 SMP. Usianya 14 tahun, namun ia telah melewati beban mental yang tak biasa dialami teman sebayanya. Ia bukan hanya bertarung dengan penyakit yang mengharuskannya menjalani operasl, tetapi juga menghadapi kenyataan lebih pahit: ia pernah jadi korban bully di sekolahnya sendiri.

    “Dulu itu pas kelas 1 SMP saya dibully. Teman-teman ada yang ngatain, bahkan sempat nyindir soal sakit saya. Saya jadi minder banget waktu itu,” ujar N lirih.

    Awalnya, N tidak menceritakan apa yang ia alami. Ia hanya bilang sakit kepada ayahnya agar tidak masuk sekolah selama seminggu. Namun setelah tekanan batin itu makin berat, ia akhirnya jujur kepada sang ayah.

    “Saya nggak kuat waktu itu. Ya bilangnya ke bapak, terus akhirnya bapak yang ke sekolah. Setelah itu teman saya minta maaf, baru saya sekolah lagi,” kenangnya.

    Dirinya memiliki penyakit sejak lahir. Karena Bully, N meminta untuk operasi, meski ayahnya berusaha mencarikan uang untuk perawatan medis. Operasi pertama dijalani N pada Februari 2025. Ia dirawat selama hampir seminggu, lalu kembali harus operasi menjelang Ramadhan tahun yang sama.

    Semua itu dijalani tanpa jaminan pembiayaan penuh dari negara. Meski sempat terdaftar sebagai peserta KIS sejak kelas 5 SD, prosedur pengajuan operasi dengan KIS memakan waktu berbulan-bulan. Keluarga akhirnya memilih jalur mandiri.

    Ayah N, M (38), adalah seorang petani. Ia bercerita dengan suara yang bergetar saat mengenang bagaimana ia harus mengupayakan biaya operasi anaknya yang hampir mencapai Rp50 juta.

    “Waktu itu saya udah nggak mikir apa-apa lagi. Pokoknya anak saya harus disembuhkan. Meski nggak ada bantuan, saya tetap usaha,” tuturnya.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Ia tahu benar bahwa anaknya bukan hanya sakit secara fisik, tetapi juga hatinya terganggu karena perlakuan teman-temannya.

    “Saya baru tahu pas dia enggak mau masuk sekolah. Dia bilang sakit, tapi lama-lama ngaku juga kalau dibully. Ya saya langsung ke sekolah, ngomong ke gurunya soal kondisi anak saya,” lanjutnya.

    Sejak peristiwa itu, sebagai bapak, dia tidak lagi membiarkan anaknya berjuang sendiri. Ia berusaha hadir di setiap celah hidup anaknya, mendampingi saat kontrol, memastikan tak ada lagi luka yang harus ditanggung sendirian.

    Kini, N mulai pulih. Luka batin itu memang belum benar-benar sembuh, tapi ia sudah kembali ke kelas, sudah kembali tersenyum walau tipis, dan yang paling penting: ia berani kembali sekolah.

    Hari Anak Nasional 23 Juli 2025, seolah menjadi pengingat bahwa tidak semua anak di negeri ini punya ruang aman untuk tumbuh. Masih banyak anak seperti N, yang selain berjuang melawan penyakit, juga harus menghadapi ketidakadilan dalam bentuk cemooh dan perlakuan diskriminatif.

    Bapak N berharap, tidak ada lagi anak-anak yang harus menahan derita ganda seperti anaknya.

    “Anak saya nggak salah. Dia cuma ingin sekolah kayak anak-anak lain. Saya minta siapa pun yang lihat anak lain beda, jangan langsung ngecap atau mengejek. Karena mereka enggak tahu apa yang sedang ditanggung,” tegasnya.

    N sendiri tak lagi takut. Ia ingin terus belajar, menyelesaikan SMP dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena cita-citanya ingin menjadi dokter.

    “Saya pengen jadi Dokter yang bisa bantu orang lain juga. Karena saya juga pernah ngerasain ditolong,” ucap N sambil tersenyum pelan.

    Dari rumah kecil di Kecamatan Bendungan itu, cerita tentang luka dan keberanian tumbuh bersama harapan baru. Senyum tipis mulai terlihat, meski soal ekonomi harus menjadi pil pahit kaum marjinal.

    Kabar Trenggalek - Feature

    Editor:Lek Zuhri

    ADVERTISEMENT
    BPR Jwalita