Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Refleksi Kasus Pencabulan di Ponpes Trenggalek: Pentingnya Penerapan Peraturan Menteri Agama

Kubah Migunani
Sepekan terakhir, masyarakat dihebohkan dengan kasus pencabulan di ponpes Trenggalek yang dilakukan kiai dan anaknya kepada 12 santri. Berdasarkan pantauan Kabar Trenggalek per Minggu, 17 Maret 2024, berita tentang kasus pencabulan ini terus ramai dibaca setiap harinya.Belum lagi dengan ramainya komentar di media sosial seperti WhatsApp, Facebook, hingga Instagram yang turut membahas kasus pencabulan ini. Tingginya pembahasan di kalangan masyarakat dan arus pemberitaan media, mendorong pemerintah serta aparat penegak hukum untuk menindak tegas kasus tersebut.Pada Jumat, 15 Maret 2024, Polres Trenggalek menahan dan menetapkan kiai serta anaknya sebagai tersangka kasus pencabulan. Kapolres Trenggalek, AKBP Gathut Bowo Supriyono mengatakan, kedua tersangka melakukan tindakan pencabulan kepada 12 santri dengan cara bujuk rayu lalu memegang bagian vital dari tubuh korban. Mirisnya, kedua tersangka mengakui perbuatan cabulnya sudah dilakukan sejak tahun 2021.Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin (Mas Ipin), turut menyatakan keberpihakannya kepada para korban. Saat diwawancarai awak media, Mas Ipin juga menyatakan pihak yang salah bukan lembaganya (ponpes) tapi orang di dalam lembaga tersebut.Mungkin di satu sisi, pernyataan Mas Ipin benar. Tapi di sisi lain, masyarakat patut bertanya, sebenarnya sejauh mana sih tanggungjawab ponpes dalam kasus pencabulan ini?Tentunya, masyarakat geram dengan kasus pencabulan di ponpes sebagai satuan pendidikan di lingkup Kementerian Agama. Tapi sebagai bentuk refleksi dan evaluasi, masyarakat perlu tahu bahwa sejak 5 Oktober 2022, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, sudah menerbitkan peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.Tepatnya, aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022. Jika peraturan ini benar-benar diterapkan dan disosialisasikan kepada seluruh ponpes di Trenggalek, tentunya kasus pencabulan terhadap 12 santri bisa dicegah, atau paling tidak segera ditangani. Sebab, tindakan pencabulan sudah dilakukan sejak 2021.Siapa yang bertanggungjawab untuk menjalankan peraturan tersebut? Dalam pasal 6 dan pasal 8 PMA no. 73 tahun 2022, disebutkan bahwa satuan pendidikan wajib melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.Dalam PMA no. 73 tahun 2022, upaya pencegahan kekerasan seksual bisa dilakukan melalui sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya, dan kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.Sementara di pasal 7, disebutkan dalam melaksanakan pencegahan kekerasan seksual, satuan pendidikan dapat bekerjasama dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, orang tua atau wali keluarga peserta didik.Lalu, dalam upaya penanganan kekerasan seksual, satuan pendidikan wajib melakukan tindakan melalui pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, hingga pemulihan korban.Sedangkan, kasus pencabulan di ponpes Trenggalek baru terungkap setelah masyarakat menceritakan apa yang dialami korban, saat forum sosialisasi yang dilakukan Dinsos Trenggalek. Bahkan, laporan tentang pencabulan itu sudah diidentifikasi dan diobservasi oleh Dinsos Trenggalek selama 2 bulan, sebelum kasus ini mencuat ke masyarakat.Melihat konteks tersebut, bisa diasumsikan bahwa masyarakat yang menceritakan tindakan pencabulan itu kemungkinan tidak mengetahui adanya Peraturan Menteri Agama tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kemungkinan lain, masyarakat tahu peraturan itu, tapi tidak berani melaporkan kepada pihak ponpes, karena pelakunya adalah kiai dan anaknya.Gerak cepat aparat penegak hukum dan sikap Bupati Trenggalek dan dalam menangani kasus pencabulan di ponpes ini memang patut diapresiasi. Mas Ipin mengatakan, ke depannya pihaknya akan melakukan asesmen secara acak, seperti survei untuk mengetahui adanya perundungan atau tindakan kekerasan seksual dalam satuan pendidikan di Trenggalek.Alangkah baiknya, rencana asesmen itu harus dibarengi dengan sosialisasi dan penerapan masif Peraturan Menteri Agama tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sehingga, ketika terjadi kasus kekerasan seksual lagi (semoga tidak terjadi, amiinn), Mas Ipin tidak sekedar menegaskan bahwa Trenggalek sudah deklarasi ponpes yang ramah anak.Deklarasi ponpes ramah anak haruslah sumbut dengan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang dilakukan secara maksimal. Upaya yang maksimal itu tentunya mengacu pada PMA no. 73 tahun 2022.Peraturan itu penting untuk dijalankan dengan baik. Sehingga, kedepannya masyarakat bisa terlibat untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Masyarakat juga mengetahui bahwa korban berhak mendapatkan pelindungan, pendampingan, serta pemulihan.Sesuai pasal 11 ayat (3), perlindungan kepada korban, saksi, pelapor, mauoun anak berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku, meliputi pelindungan atas kerahasiaan identitas; penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan; penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan.Kemudian, jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi peserta didik; jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan pada Satuan Pendidikan yang bersangkutan; dan/atau pelindungan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Selain itu, dalam pasal 12 ayat (3), korban, saksi, dan anak pelaku kekerasan seksual mendapatkan pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, dan layanan rehabilitasi. Sedangkan dalam pasal 14 ayat (3), korban berhak mendapatkan pemulihan dalam aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial.Demikianlah pentingnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Semoga kita bisa merefleksikan pentingnya peraturan ini serta mengevaluasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di ponpes.Semoga ke depannya di Trenggalek tidak terjadi lagi kasus kekerasan seksual dalam ponpes. Mari bersama-sama melawan kekerasan seksual dan menciptakan ruang aman di ponpes. Sebab, santri itu ingin belajar ngaji, bukan dicabuli.
Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.