Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Ketika Demokrasi tanpa Oposisi

Arena Parfum

Oleh: Saiful Mustofa

Menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Republik Indonesia periode 2024-2029 pada tanggal 20 Oktober 2024, muncul kekhawatiran tentang bagaimana dan seperti apa arah Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Kekhawatiran itu tentu saja menjurus pada kemungkinan bagaimana jika tidak ada oposisi pada kabinet besar Prabowo-Gibran? Seperti periode kepemimpinan sebelumnya, para elit politik di negeri ini seperti menunjukkan gelagat ke arah itu, baik yang terang-terangan maupun yang (masih) malu-malu. 

Betapapun belum begitu jelas, tapi beberapa media menyoroti bahwa mereka sudah (tampak) menjalin komunikasi—untuk tidak menyebutnya konsolidasi. Lantas bagaimana jika sebuah negara demokrasi memang tidak menghendaki adanya oposisi? Seberapa penting oposisi dalam sebuah sistem kenegaraan memainkan peranannya? Siapakah akhirnya yang harus memainkan peranan itu?

Harus dipahami bahwa secara terminologi, “oposisi” dan “oposisi politik” merupakan dua term yang berbeda. Oposisi merujuk pada pengertian sebuah “pandangan yang berbeda” dan tidak terlembagakan. Dalam konteks demokrasi, hal ini menjadi semacam lisensi bahwa setiap warga negara mempunyai hak sama untuk bersuara dan berpendapat. 

Sedangkan oposisi politik berarti muncul kubu (minoritas) yang memilih “berseberangan” secara struktural atau sering disebut juga sebagai oposisi struktural. Biasanya kubu minoritas ini memilih “vis a vis” dengan partai koalisi pemenang. 

Namun menurut hemat saya, baik oposisi maupun oposisi politik sesungguhnya tidak sekadar pihak yang “melawan” atau “berseberangan” kepada kekuasaan. Sebab oposisi merupakan unsur penting dalam demokrasi. 

Oposisi boleh dibilang merupakan “penyeimbang” kekuasaan yang kehadirannya sesungguhnya menjadi unsur penting dalam sistem demokrasi khususnya di Indonesia. Demokrasi tanpa oposisi bisa menimbulkan apa yang disebut Thomas Hobbes sebagai “leviathan” atau kekuasaan absolut tanpa kontrol. 

Salah satu filsuf kelahiran Austria, Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies (1962) juga mengatakan hal serupa. Baginya demokrasi bukan hanya soal “siapa yang berkuasa,” melainkan lebih pada bagaimana kekuasaan itu dijalankan dan dibatasi untuk mencegah penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Sehingga kritik dan kontrol terhadap kekuasaan adalah aspek fundamental untuk mencegah terjadinya totalitarianisme.

Negarawan, Begawan dan Kaum Intelektual

Dalam menyikapi kemungkinan dinamika politik Indonesia ke depan dibutuhkan seorang negarawan. Ia berbeda dengan politikus. Seorang negarawan adalah mereka yang sudah melampaui (beyond) level politikus dan tak silau lagi dengan iming-iming kekuasaan. Sebab seluruh jiwa dan raganya dicurahkan hanya untuk kepentingan bangsa dan negaranya tanpa babibu

Konsep ini mungkin terdengar utopis. Namun dalam situasi demokrasi seperti sekarang ini, wacana tentang negarawan tetap harus didengungkan. Dalam tradisi Jawa, konsep negarawan barangkali mirip dengan begawan. Ia merupakan manifestasi dari pribadi yang berbudi luhur. Ia merujuk pada kualitas seseorang yang tidak hanya kuat dalam dimensi spiritualitas melainkan juga sarat dengan kebijaksanaan. 

Serat Chentini misalnya, memberikan proyeksi bahwa begawan adalah hasil dari tempaan dan tahapan transformasi diri menuju kesadaran yang lebih tinggi. Ia selain menjadi jujukan untuk dimintai petuah juga sebagai pendidik yang pandangannya menentramkan dan menyejukan.

Namun jika di Indonesia sudah tak ada lagi sosok negarawan maupun begawan maka tugas itu harus diemban oleh kaum intelektual. Kaum intelektual organik—dalam istilah Gramsci—lebih tepatnya adalah mereka yang memiliki kesadaran penuh untuk tidak hanya duduk di menara gading atau berlindung di balik bayang-bayang dunia imajiner dan “kegagahan” dunia akademik. 

Mereka yang utama memikul beban sebagai warga yang peduli (concerned citizen) pada masa depan bangsa dan negaranya. Sebab harus disadari bahwa hampir semua kebijakan publik itu ditentukan oleh dan di “meja politik.” 

Sehingga menjadi wajar jika setiap penentuan kebijakan publik itu harus dikawal, dikritisi dan terus dievaluasi. Dalam konteks inilah kaum intelektual (organik) haruslah menjadi pelopor. 

Sebab di balik label “kaum intelektual” itu melekat dan menyiratkan tanggungjawab yang berat. Mereka seyogianya tak hanya menjadi orang yang tercerahkan melainkan juga mencerahkan (al-hadina al-muhtadien). 

Sebagai kaum yang lahir dari kelas terdidik, ia juga memiliki tanggung jawab untuk ikut mendidik masyarakat tentang bagaimana seharusnya negara ini dijalankan.

Apalagi ketika tiga pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) lumpuh, maka kaum intelektual (organik) juga harus menjadi orang pertama yang berteriak lantang. Ia tak boleh diam jika terjadi penyelewengan kekuasaan.

Sebab mereka tidak terikat dengan conflict of interest sebagaimana politisi yang masuk dalam koalisi atau pejabat negara yang berutang budi kepada penguasa.

Sehingga jika negarawan, begawan maupun kaum intelektual (organik) itu memainkan peranannya dengan baik maka sesungguhnya mereka bisa lebih “ampuh” ketimbang tiga pilar demokrasi di atas tadi. Negarawan menjadi penjaga marwah konstitusi, begawan sebagai “pengerem” sekaligus ladang kebijaksanaan, dan kaum intelektual (organik) beperan sebagai pendidik yang kritis.

Dengan kata lain, masyarakat melalui debat dan diskusi harus dididik tentang isu-isu politik. Agar mereka lebih memahami posisi dan meningkatkan kesadaran serta partisipasi dalam (wacana atau ruang praktik) politik. 

Hal demikian mirip dengan pendapat Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) yang menyoroti pentingnya diskusi publik dalam pembentukan opini dan partisipasi warga. Sehingga masyarakat bisa menjadikan dirinya seperti apa yang ia sebut sebagai “vita active” (“hidup aktif”).

Ya, pada akhirnya ketika pemimpin negara mengatakan bahwa Indonesia tidak mengenal model “oposisi” dan lebih tepat dengan sistem “gotong royong” maka itu sama halnya dengan alarm tanda bahaya. Sebab demokrasi tanpa oposisi sama dengan membiarkan praktik oligarki.

Penulis adalah dosen dan Direktur Diskursus Intitute: Center for Religious & Cultural Studies

Editor:Tri
Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.