Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Calon Tunggal Bukan Akhir Perlawanan Melawan Dominasi Politik

Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia menjadi sorotan. Pada tahun 2024, sedikitnya 41 daerah, termasuk Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, menggelar pemilu dengan satu pasangan calon kepala daerah. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang makna demokrasi. Proses yang seharusnya memberikan rakyat kebebasan memilih pemimpin dari berbagai calon justru mengalami distorsi. Apakah masyarakat benar-benar bebas memilih, atau hanya diarahkan mengikuti kehendak elite politik?

Munculnya calon tunggal sering kali mencerminkan dominasi partai atau koalisi tertentu, di mana kandidat lain sulit bersaing. Ini kerap dianggap sebagai strategi elite untuk meminimalkan potensi kekalahan dan mempertahankan kekuasaan. Dengan dukungan koalisi besar, ruang bagi calon alternatif tertutup, menghentikan potensi ide baru atau pendekatan berbeda dalam kepemimpinan. 

Praktik ini seringkali diperkuat oleh manipulasi citra di media, di mana calon tunggal digambarkan sebagai sosok penyelamat yang tak tergantikan. Sampai-sampai harus ada tokoh masyarakat lokal yang disegani, rela bersimpuh, menyentuh kaki Bupati Trenggalek, sosok yang digadangnya untuk kersa jumeneng di periode berikutnya, setelah sebelumnya santer tersiar isu bahwa calon bupati petahana tersebut hendak dicalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur.

Kiranya patut dicurigai serangkaian cerita drama melankolis yang dipertontonkan tersebut, tak lebih hanya bagian dari upaya framing untuk mengarahkan opini publik bahwa sosok petahana ini adalah satu-satunya calon yang layak maju sebagai calon kepala daerah, kersa jumeneng meneruskan kepemimpinannya karena kehendak rakyat. Pun sejatinya publik tahu bahwa orang-orang yang terlibat dalam drama kolosal itu, berapapun jumlahnya, tidak mewakili kehendak keseluruhan masyarakat Trenggalek. 

Keberadaan calon tunggal dapat dimaknai sebagai kegagalan partai politik di Trenggalek dalam proses kaderisasi. Partai-partai tidak mampu mengajukan calon yang kompetitif untuk bersaing ide, visi, dan misi melawan petahana. Padahal, salah satu fungsi utama partai adalah mengagregasi kepentingan masyarakat.

Partai politik seharusnya menawarkan alternatif kepemimpinan. Namun, fenomena calon tunggal menunjukkan bahwa partai cenderung bermain aman daripada menghadapi risiko kekalahan. Akibatnya, rencana strategis untuk kesejahteraan masyarakat tidak terlihat dalam proses politik. Partai lebih berfokus pada upaya mempertahankan kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Partai, yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat, kehilangan peran utamanya dalam demokrasi lokal.

Di negara demokratis seperti Indonesia, fenomena calon tunggal tidak hanya merusak keseimbangan demokrasi, tetapi juga mencerminkan lemahnya pendidikan politik. Banyak warga tidak memahami pentingnya kompetisi dalam pemilu dan tidak mempertanyakan mengapa hanya ada satu calon. Pendidikan politik yang memadai akan menciptakan masyarakat yang lebih kritis; namun, hal ini masih jauh dari kenyataan. 

Pemilu dengan calon tunggal merusak dinamika demokrasi, menjadikannya sekadar formalitas. Masyarakat kehilangan pilihan nyata, dan pemilu berubah menjadi proses administratif tanpa substansi. Pemimpin yang terpilih tanpa pesaing tidak terdorong untuk menawarkan program yang lebih baik atau mendengarkan aspirasi rakyat, yang berpotensi menghasilkan kepemimpinan tidak akuntabel. Fenomena ini harus menjadi perhatian serius karena mengancam kedaulatan rakyat.

Dalam praktik pemungutan suara, calon tunggal nantinya akan diadu dengan kotak kosong. Kotak kosong bukan sekadar opsi tambahan dalam surat suara, tetapi memiliki makna politik yang signifikan. Ini memberikan kesempatan bagi pemilih untuk menolak calon yang ada dan melawan dominasi politik. Meski calon tunggal sering kali berhasil memenangkan suara mayoritas, kotak kosong di masa lalu pernah tercatat sukses menjadi simbol perlawanan publik. 

Contohnya, dalam Pilkada 2018 di Makassar, pasangan Munari Ariffudin dan Rachmatika Dewi, yang didukung koalisi 10 partai, kalah melawan kotak kosong. Pasangan calon kepala daerah tersebut hanya mendapat suara 46,77%, sementara kotak kosong unggul dengan perolehan suara 53,23%. Kemenangan kotak kosong di Makassar waktu itu mengejutkan banyak pihak dan memicu perdebatan politik yang meluas, sekaligus menunjukkan bahwa perlawanan publik melalui kotak kosong bukanlah sekadar protes simbolis, tetapi dapat membawa dampak nyata pada hasil pemilu.

Dukungan untuk kotak kosong juga pernah terjadi pada Pilkada Kabupaten Pati pada tahun 2017 lalu. Meskipun pada akhirnya jumlah dukungan kotak kosong di Kabupaten Pati tidak mampu menghalangi calon tunggal melenggang menduduki kursi kekuasaan, gerakan masyarakat melawan dominasi calon tunggal mampu tercermin sebagai upaya masyarakat untuk menolak kekuatan politik besar yang mendominasi. 

Fenomena itu menunjukkan kepada kita bahwa meskipun calon tunggal didukung oleh koalisi kuat, suara rakyat melalui kotak kosong tetap dapat menjadi kekuatan penyeimbang. Kotak kosong menegaskan bahwa calon tunggal bukan akhir dari perlawanan. Kotak kosong adalah simbol demokrasi yang lebih dinamis, di mana publik bisa menolak calon yang tidak mewakili kepentingan mereka.

Editor: Tri

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *