Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Partai Politik Trenggalek yang Nyalinya Setipis Rambut Dibagi 7 Kali

Kubah Migunani

Mochamad Nur Arifin maju lagi di Pilkada Trenggalek 2024, meroket tanpa hambatan. Pada Rabu, 28 Agustus 2024, ia mendaftarkan diri ke KPU Trenggalek, berpasangan dengan Syah Natanegara.

Ipin-Syah membawa rekomendasi dari delapan partai politik, antara lain Partai Gerindra (4 kursi), Partai Golkar (5 kursi), Partai Hanura (2 kursi), PKS (6 kursi), PKB (11 kursi), PAN (1 kursi), PDIP (13 kursi), dan Demokrat (3 kursi). Total 45 kursi DPRD Trenggalek berhasil mereka kuasai, posisinya nyaris tanpa oposisi.

Meski putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon kepala daerah, komposisi Ipin-Syah tersebut telah menghilangkan kesempatan partai-partai lainnya untuk mengusung calon melawan Ipin-Syah.

Keberhasilan Ipin maju lagi sebagai petahana tanpa lawan boleh dikatakan sebagai wujud kepiawaiannya dalam politik, sehingga mampu menjinakkan seluruh parpol di Trenggalek. Namun di sisi lain, ini juga meninggalkan catatan kelam, menunjukkan kegagalan partai-partai dalam pengkaderan. Mereka, seolah kehilangan nyali sebagai insan politik yang seharusnya bermental petarung.

Sebelumnya, memang ada perlawanan. Cahyo Handriadi berpasangan dengan Soeripto (Carito) melalui koalisi sandal jepit sempat mendaftarkan diri ke KPU dengan mengantongi ratusan ribu dukungan sebagai calon perseorangan. Namun, pada akhirnya, upaya mereka tumbang karena jumlah dukungan yang memenuhi syarat tidak cukup.

Ketua KPU Trenggalek Istatiin Nafiah mengatakan bahwa dari hasil rekapitulasi verifikasi faktual, dukungan yang diserahkan pasangan Carito tidak memenuhi batas minimal 44.075 dukungan.

"Verifikasi faktual dukungan tahap pertama yang memenuhi syarat 8.324 dan tahap kedua 31.747, sehingga total MS 40.071," kata Istatiin Nafiah, Rabu (22/8/2024).

Partai Politik Trenggalek Gagal dalam Pengkaderan

Untuk melaju menjadi penguasa daerah, ada dua kendaraan yang bisa dipakai, yaitu partai politik dan jalur perseorangan.

Tanpa nyali yang kuat, kedua kendaraan ini tidak mudah diraih, mustahil bisa lolos menjadi calon bupati. Misalnya dalam konteks Trenggalek, untuk bisa maju sebagai calon perseorangan harus mengantongi 7,5% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu sebelumnya.

Calon independen harus mengumpulkan KTP pendukung, diwujudkan dalam form B1.KWK. KTP ditempelkan dalam form tersebut, kemudian dilengkapi dengan biodata penduduk. Form yang sudah lengkap kemudian discan atau difoto dan file digitalnya diberi nama sesuai dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), lalu diunggah ke sistem yang telah disediakan oleh KPU. Dari sini, KPU akan melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.

Proses panjang nan berbelit ini membuat banyak bakal calon perseorangan gagal mendaftarkan diri ke KPU sebagai calon bupati. Belum lagi, jika ada intervensi dari kelompok tertentu untuk menggagalkan pencalonan independen.

Adanya verifikasi faktual ke masyarakat seharusnya menjadi sinyal bagus bagi demokrasi. Namun di sisi lain, ini juga menunjukkan sisi lemah, seperti jika kelompok tertentu menggerakkan tokoh desa untuk mengintervensi warga agar tidak mendukung calon perseorangan.

Kendaraan partai politik pun juga sulit digapai tanpa materi yang cukup—uang yang bisa dipakai untuk "belanja partai." Perlu diketahui bahwa desas-desus soal belanja partai dengan uang bukan lagi rahasia, tapi sudah menjadi pengetahuan umum.

Alih-alih membimbing kader politik untuk menjadi sakti dalam berpolitik, saat ini di Trenggalek partai-partai lebih memilih "mentransaksikan" partainya ketimbang memperjuangkan ideologi mereka sendiri. Namun, pernyataan tersebut tidak berlaku bagi PDIP, karena berhasil mengusung kadernya sendiri, yakni Ketua DPC Mochamad Nur Arifin.

Trenggalek dan Bumbung Kosong: Wujud dari Politik Transaksional

Politik transaksional adalah praktik di mana hubungan antara aktor politik didasarkan pada pertukaran atau transaksi yang bersifat pragmatis. Merujuk pada film The Godfather, ada adegan bagus untuk menggambarkan keadaan ini, yaitu “Saya akan memberinya sebuah tawaran yang tak bisa ditolak," kata Vito Corleone saat menginginkan sesuatu.

Dalam konteks ini, keputusan politik, dukungan, atau suara sering kali diperoleh melalui tawaran imbalan yang tidak bisa ditolak, baik dalam bentuk materi, jabatan, atau keuntungan lainnya. Praktik ini sering terjadi di berbagai level pemerintahan, mulai dari pemilihan umum hingga kebijakan publik.

Dalam politik transaksional, pragmatisme sering mengalahkan idealisme. Keputusan diambil bukan berdasarkan prinsip atau visi jangka panjang, melainkan atas dasar keuntungan jangka pendek. Kondisi ini cenderung memperkuat ketergantungan pada kekuasaan.

Pihak-pihak yang memiliki sumber daya lebih besar sering kali dapat memanipulasi situasi untuk mendapatkan keuntungan lebih besar. Tentu saja ini dapat merusak kualitas demokrasi, karena keputusan politik tidak lagi didasarkan pada aspirasi dan kepentingan rakyat, melainkan pada keuntungan pribadi atau kelompok.

Praktik ini sering kali berujung pada korupsi, karena imbalan yang diberikan sering melibatkan penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Karena fokus pada keuntungan jangka pendek, politik transaksional dapat menyebabkan stagnasi dalam pembuatan kebijakan yang inovatif dan berkelanjutan. Kebijakan yang diambil sering kali bersifat populis dan tidak berorientasi pada kemajuan jangka panjang.

Memuluskan calon kepala daerah melawan bumbung kosong bisa disebut sebagai kemunduran demokrasi bagi partai politik. Meski ada yang sangat diuntungkan, yakni PDIP Trenggalek, yang jika Mas Ipin terpilih lagi, baik eksekutif (pemkab) maupun legislatif (DPRD) akan dikuasai partai berwarna merah, memudarkan warna partai lain menjadi putih abu-abu.

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.