Lahirnya buku Menjadi Anak Merdeka “Catatan Pengasuhan dan Pendidikan yang Memerdekakan Jiwa Anak” bukan sebatas upaya orang tua (baca: penulisnya) dalam mendokumentasikan aktivitas pembelajaran dan catatan tumbuh kembang anak berjiwa merdeka melalui pagelaran wayang.
Buku yang hari ini sampai di tangan pembaca, tidak lain merupakan daya ikat atas pengalaman menarik dari pasangan suami istri Sunarno-Ulya, sebagai orang tua dari dalang cilik "Madjid Panjalu".Buku ini memuat catatan pengasuhan sebagai sebuah refleksi diri bahwa fase
tumbuh kembang anak adalah guru terbaik bagi perjalanan menjadi orang tua. Ngangsu kawruh sebagai orang tua dalam proses
parenting adalah upaya tumbuh bersama anak-anak, melalui pengasuhan, penerapan dan pendidikan.Dalam konteks pendidikan, Ki Hadjar Dewantara mengibaratkan pendidik sebagai paman tani yang menyiapkan lahan yang subur, mengupayakan benih yang bagus, serta merawatnya dengan baik.Sedangkan menurut Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomanteraman, pengasuhan adalah momong yang tak lain adalah tujuan terciptanya anak hidup bahagia. Atau dalam istilah psikologi disebut dengan
subjective psyhological well being bagi masa depan anak yang bahagia.Proses dan kesadaran untuk tumbuh dan berkembang ini, selain memberi ruang atas hak anak, juga upaya memberikan bekal kemandirian dan pengembangan diri bagi anak dengan wawasan mengenai kompleksitas kebutuhan jaman.Sebagaimana kita sepakat bahwa perkembangan jaman membutuhkan pendidikan berwawasan global dengan piranti kesadaran subjek pendidikan. Hal tersebut artinya sebuah upaya untuk mengedepankan anak sebagai subjek kehidupan yang aktif, baik dalam kerangka berpikir maupun bertindak.
Media Pembelajaran Wayang
[caption id="attachment_34935" align=aligncenter width=719]
Pagelaran wayang yang dimainkan oleh dalang cilik Madjid Panjalu/Foto: Dokumen Sunarno[/caption]Membincang mengenai perjalanan menjadi orang tua dari seorang dalang cilik, buku ini menjelaskan mengenai pemilihan wayang sebagai media pembelajaran. Wayang dimaknai oleh pasangan Sunarno-Ulya sebagai sebuah karya lisan yang memiliki kekuatan literasi, di samping sebuah tawaran pada pelestarian budaya adiluhung. Hal tersebut dapat terpenuhi karena pertunjukan
wayang dengan dalang cilik dapat menumbuhkembangkan literasi pada anak usia dini.
Media wayang menurut Novan Ardy, mampu menstimulasi fungsi bahasa pada anak usia dini karena beberapa hal; (1) Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan anak; (2) Bahasa merupakan alat untuk menjalin komunikasi anak dengan orang lain; (3) Bahasa merupakan alat yang dipergunakan oleh anak untuk hidup bersama dengan orang lain di sekitarnya (Novan Ardy, 2014).Berangkat dari buku ini dan pengalaman yang ditulisnya, kita dapat mengambil satu poin mengenai pengimplementasian pendidikan alternatif dengan pola asuh keluarga yang mengedepankan pentingnya karakter anak, di samping upaya mempertahankan budaya bangsa.Sehingga melalui
pagelaran wayang, dalang cilik sedang belajar berproses dalam pembentukan karakter anak untuk mampu tampil percaya diri. Yaitu sebuah keberanian untuk tampil dengan kemampuan bercerita, serta potensi lain untuk tumbuh menjadi dalang dalam pemaknaan umum.Kusumadilaga menjelaskan bahwa seorang dalang memiliki 7 (tujuh) macam kemampuan dasar, yaitu: (1)
Amardawagung, maksudnya mahir dalam bidang gending, tembang, dan suluk, (2)
Amardibasa, artinya paham berbahasa pedalangan dan pengucapannya, (3)
Awicarita, maksudnya ahli bercerita, (4)
Paramakawi, artinya menguasai bahasa kawi, (5)
Paramasastra, maksudnya ahli dalam bidang kesusastraan, (6)
Renggep, maksudnya memiliki semangat tinggi, dan (7)
Sabet, maksudnya lihai memainkan gerak wayang.
Meminimalisir Superioritas Orang Tua
[caption id="attachment_34936" align=aligncenter width=797]
Cover Buku Menjadi Anak Merdeka/Foto: Bening Rua Pustaka[/caption]Selain kemampuan yang telah dijelaskan di atas, menjadi dalang juga berpotensi memiliki kemampuan lain seperti; ilmu karawitan (musik), ilmu bahasa dan sastra (linguistik), ilmu drama (teater), ilmu tari (gerak), ilmu jiwa (psikologi), dan ilmu suara (retorika).Pemaknaan pagelaran wayang oleh dalang cilik dimaknai sebagai proses belajar sambil bermain. Melalui pagelaran wayang,
anak-anak mendapatkan informasi mengenai pola pikir umum terhadap pemecahan masalah (mencangkup abstraksi, fleksibilitas, dan kombinasi). Sehingga, anak-anak dapat merangkai potongan-potongan perilaku tersebut secara bersama-sama untuk membentuk pemikiran dan tindakan baru (Brian Sutton-Smith, 1997).Konteks anak-anak belajar sambil bermain dalam bentuk permainan ataupun pertunjukan adalah proses belajar bagi anak untuk berhubungan dengan orang lain, utamanya bagaimana anak mampu berpikir secara abstrak.Pernyataan ini secara substansi memiliki kesamaan makna dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara (2004) bahwa permainan anak adalah bentuk pendidikan. Permainan secara praktik merupakan kerja fisik namun sejatinya adalah latihan bagi panca indera.Menurut Ki Hajar Dewantara, latihan panca indera adalah pendidikan lahir ke dalam batin, pekerjaan lahir untuk mendidik batin, yaitu terpenuhinya aspek pikiran, rasa, kemauan, nafsu, dan lain sebagainya.Permainan anak sebagai pendidikan pada akhirnya dapat dijadikan sebagai pendekatan pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti. Dalam pemahaman Ki Hajar Dewantara, yang dikutip oleh Yudi Latif (2020) dalam bukunya pendidikan yang berkebudayaan, budi memiliki arti pikiran, perasaan, dang kemauan; pekerti artinya tenaga dalam konteks ini pendidikan sangat berperan dalam pembentukan kebudayaan.Perlu adanya kesadaran bersama bahwa mendidik anak tidak serta merta memposisikan
orang tua menjadi superior atas anak. Hubungan antara orang tua dan anak dalam pengasuhan menempatkan rasa empati dan rasa peduli akan jiwa anak yang merdeka.Dalam pagelaran wayang yang dimainkan oleh dalang cilik, konteks anak belajar sambil bermain telah terpenuhi. Hal tersebut juga telah memenuhi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam proses pembelajaran.Aspek kognitif dalam pagelaran wayang yang dimainkan anak terpenuhi dalam penekanan intelektual, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir anak dalam menangkap cerita yang diperolehnya.Aspek afektif terpenuhi pada perasaan anak yang menikmati dengan bahagia, seperti minat yang diasah dan pembawaan sikap dalam berkomunikasi dengan penontonnya. Sedangkan pada aspek psikomotorik, dapat terpenuhi dengan kemampuan anak bertindak setelah menerima pengalaman belajar yaitu proses pertunjukan.
Catatan Redaksi:Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kabartrenggalek.com.