KBRT – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti tata kelola keuangan dan sistem penganggaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek yang dinilai masih menyimpan celah penyimpangan.
Temuan itu disampaikan dalam rilis portal resmi KPK usai Audiensi dan Koordinasi Terkait Upaya Pencegahan Korupsi di Tata Kelola Pemkab Trenggalek di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/10/2025) lalu.
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) III-1 Wilayah Jawa Timur, Wahyudi mengungkap sejumlah temuan penting yang mengindikasikan potensi pelanggaran pada pelaksanaan APBD dan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) tahun anggaran 2024–2025. Ia menilai transparansi dan efisiensi anggaran menjadi kunci utama untuk mencegah praktik korupsi di daerah.
“Setelah memproses sejumlah data publik dan pemerintah, kami menemukan masih ada indikasi penjatahan dalam usulan pokir,” ungkap Wahyudi.
KPK mencatat, persoalan lain yang harus segera dibenahi meliputi ketidaksesuaian data antara SIPD dan kertas kerja TAPD, usulan lintas dapil oleh anggota DPRD, hingga pengajuan pokir di luar waktu yang ditentukan. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serta ketidakefisienan penggunaan anggaran.
“Saya minta agar organisasi perangkat daerah (OPD) menyusun kertas kerja verifikasi dan validasi pokir secara cermat, lengkap, dan sejalan dengan visi-misi kepala daerah,” tegas Wahyudi.
Selain masalah pokir, KPK juga menyoroti pengelolaan hibah dan bantuan sosial (bansos). Berdasarkan temuan lapangan, terdapat duplikasi penerima bantuan, lembaga pengusul yang tidak relevan, hingga pencairan dana sebelum proposal diajukan.
“KPK bahkan menemukan satu lembaga tercatat menerima hibah sebanyak 26 kali. Sementara, ada penerima bansos yang mendapatkan bantuan dua kali dengan nominal berbeda,” ujarnya.
Khusus untuk bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), KPK menemukan Pemkab Trenggalek mengalokasikan Rp33 juta untuk 10 penerima tanpa dasar Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang mengatur standar biaya. KPK meminta agar Bupati segera menetapkan regulasi tersebut agar distribusi bantuan lebih akuntabel.
Di sisi lain, pola pengadaan barang dan jasa juga disorot. Lembaga antirasuah menemukan satu penyedia memenangkan banyak paket berulang, sementara 596 pekerjaan senilai Rp45 miliar justru dikerjakan penyedia dari luar Trenggalek. KPK menilai kondisi itu menunjukkan lemahnya partisipasi pelaku usaha lokal dan potensi in-efisiensi belanja publik.
Sebagai solusi, KPK merekomendasikan konsolidasi paket sejenis—misalnya pembangunan jalan usaha tani senilai Rp4 miliar—agar efisien dan hasil pekerjaan lebih berkualitas. Wahyudi juga menekankan perlunya pengawasan lebih ketat dalam penggunaan e-purchasing, terutama untuk proyek kompleks seperti pembangunan jembatan.
“OPD perlu segera menindaklanjuti hasil audit maupun pengawasan Inspektorat,” tandasnya. Ia menambahkan, Pemkab juga harus mematuhi Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, termasuk memperkuat mekanisme mini kompetisi, analisis harga, dan negosiasi agar harga proyek terbentuk wajar dan akuntabel.
Menanggapi temuan itu, Ketua DPRD Trenggalek, Doding Rahmadi, menyatakan siap menindaklanjuti rekomendasi KPK dan memperbaiki sistem usulan pokir.
“Dari hasil pertemuan ini, kami akan memperbaiki pokir. OPD teknis juga akan memverifikasi dan memvalidasi agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, menegaskan pentingnya memperkuat sistem pengendalian internal di tiap satuan kerja perangkat daerah (satker).
“Saya berharap setiap satker punya manajemen risiko internal yang lebih baik dan segera mengambil langkah konkret,” tegasnya.
Kabar Trenggalek - Hukum
Editor:Zamz