KBRT - Sepinya aktivitas jual beli di Pasar Pon Trenggalek pasca-Lebaran dan selesainya musim pernikahan kembali dirasakan pedagang jajanan tradisional. Suparmi (63), warga Kelurahan Kelutan, menjadi salah satu yang terdampak.
Sejak pagi hingga siang, dagangannya seperti alen-alen, tempe keripik, hingga rengginang nyaris tak tersentuh pembeli. Saat ditemui, Suparmi mengaku hanya segelintir orang yang mampir ke lapaknya untuk sekadar bertanya.
“Sejak dibangun Pasar Pon, sekarang jadi adem. Semuanya ikut adem,” ujarnya lirih, menggambarkan suasana pasar yang menurutnya semakin lesu.
Menurut Suparmi, kondisi sepi seperti ini bukan hal baru. Ia menyebut, penurunan jumlah pembeli selalu berulang setiap tahun, terutama setelah Lebaran dan saat memasuki bulan Jawa Selo dan Suro—dua bulan yang dalam adat Jawa dianggap tidak baik untuk menggelar pernikahan.
Padahal, menurutnya, momen pernikahan merupakan masa panen bagi pedagang jajanan seperti dirinya. Setiap hajatan biasanya membutuhkan beragam jajanan tradisional untuk suguhan tamu maupun isi besek.
“Kalau musim pernikahan ramai, sudah pasti jajanan saya ikut laku,” jelasnya.
Kini, Suparmi hanya menata dagangan dalam jumlah sedikit di kiosnya. Ia mengaku sudah hafal pola pasar, dan menyesuaikan stok sesuai dengan perhitungan yang ia yakini berdasarkan pengalaman.
“Saya berjualan sejak tahun 1986. Sepi ramainya pasar saya sudah hafal, karena selalu berulang tiap tahun,” tegasnya.
Selain bulan Selo dan Suro, bulan Maret juga menjadi masa-masa sulit bagi Suparmi. Ia menjelaskan bahwa pada bulan tersebut, daya beli masyarakat cenderung menurun.
“Biasanya pada Maret, penghasilan banyak orang tambah seret. Langganan saya dari kalangan pegawai negeri juga jarang beli,” katanya.
Suparmi juga menuturkan bahwa dirinya tidak berjualan dari rumah dan tidak menguasai penjualan daring. Selama ini, ia hanya bergantung pada pembeli yang datang langsung ke pasar.
“Saya buka di Pasar Pon setiap hari. Di rumah juga tidak jualan. Apalagi jualan online, saya tidak bisa,” tuturnya.
Meski menghadapi berbagai keterbatasan, Suparmi merasa lebih tenang karena anak-anaknya kini telah memiliki pekerjaan tetap. Ia pun mulai dibantu anaknya untuk menutup lapak setiap sore.
“Ya, namanya berdagang, terkadang kalau sepi begini ya terpaksa merugi dan makan modal,” tandasnya.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor:Zamz